Tiga Puluh Empat

34 20 3
                                    

Move on bukanlah perihal melupakan, melainkan mengikhlaskan apa yang terjadi dalam hidup kita. Sejatinya, manusia tidak bisa benar-benar melupakan seseorang.
Veraldi Nasution

Aras masih tak percaya dengan ucapan adiknya.

Kenapa Dika kembali lagi pada hidup Aras? Apakah mengajak untuk berpacaran lagi?

Kalau itu alasannya, Aras akan menolak saat itu juga.

Sakit rasanya, ketika kita sedang berusaha untuk melupakan seseorang, tetapi orang yang ingin kita lupakan justru kembali datang ke kehidupan kita. Tembok yang kita bangun dengan jerih payah hancur dalam hitungan detik.

Sungguh, Cinta memang tidak adil.

Terlihat Aras sedang kelabakan di kamarnya, tak tahu harus berbuat apa.

"Aras ... cepetan mandi! Gak boleh bikin orang lain menunggu," teriak Anna dari dapur. Mendengarnya, Aras langsung lari ke kamar mandi. Bukan karena takut Dika terlalu lama menunggu, melainkan karena hari semakin siang.

Dengan cepat ia menyelesaikan aktifitas paginya dengan rasa grogi, hingga ia melupakan sarapan paginya. Anna tidak mengingatkan anaknya untuk sarapan, karena ya ... ia tahu persis apa yang Aras alami.

Dan Aras adalah anak yang keras kepala saat menjadi seperti ini.

Tanpa Aras sadari, diam-diam ibunya melihat isi chat WhatsApp dari siapapun, mengintip dalam diam tingkah Aras saat berusaha melupakan Dika, dan lainnya.

Insting seorang ibu memang tidak bisa dikalahkan oleh apapun.

"Aras sayang ... udah kan, siap-siapnya? Sanah berangkat sama Dika," ucap Anna sambil menghampiri Aras. Aras mencium punggung tangan ibunya dan mengucapkan salam.

Ia berjalan menuju ke luar rumah. Tapi tak lama kemudian, tiba-tiba ia mundur dan kembali ke tempat semula.

"Lho, kenapa balik lagi, Ras?" tanya ibunya bingung.

"Aras gak mau sama Dika. Maunya sama ojek aja," jawab Aras sedikit tegas.

Anna—pura-pura—bingung. "Kenapa gak mau? Emang kalian ada masalah, apa?"

"Eh? Enggak sih Bu, tapi kan, ngerepotin ...," cicit Aras. Sungguh ia sangat malu.

Anna tersenyum tipis. Ia menggelengkan kepalanya. "Lebih ngerepotin kalau kamu nolak tawaran dia. Sudah capek-capek Dika kesini, malah kamu tolak."

Skakmat.

Aras takkan bisa memberi alasan apapun lagi.

Mau tak mau, ia harus menerima kehadiran Dika untuk saat ini.

"Ba–baiklah Bu, Aras berangkat sama Dika, ya. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumussalam."

Dengan langkah sangat terpaksa, Aras pergi menghampiri Dika.

Dika yang melihat kehadiran Aras sumringah.

"Hai Aras, yuk berangkat," ajaknya. Ia memberikan satu helm miliknya pada Aras. Cewek itu tidak menjawab sapaan Dika, hanya menerima helm nya saja.

Diperjalanan, tidak ada dialog apapun diantara mereka. Keduanya saling bisu, gengsi untuk mengajak bicara terlebih dahulu. Namun siapa yang tahu, kalau dalam hati masing-masing dari mereka menunjukkan hal yang sebaliknya. Hati mereka berdua penuh dengan obrolan, yang rencananya akan dipakai untuk mengobrol. Jika mereka benar mengobrol.

Merasa tak nyaman dengan situasi yang awkwkard, Dika lalu memulai obrolan.

"Aras, apa kabar?"

Topik obrolannya basi. Itu yang Aras ucapkan dalam hatinya, untuk menjawab pertanyaan Dika.

"Alhamdulillah, baik. Lo sendiri?" Aras menjawab, namun berbanding terbalik dengan apa yang hatinya katakan.

"Syukurlah. Apa di hati lo masih ada gue?"

Salah.

Pertanyaan yang sangat salah untuk situasi seperti ini.

Tubuh Aras tiba-tiba menegang. Pertanyaan itu yang menjadikan ia tak ingin bertemu Dika sebelumnya.

"Maaf, tadi lo ngomong apa? Soalnya kita lagi naik motor, jadi gak kedengeran. Hehe." Aras mencoba pura-pura tak mendengarkan apa yang tadi Dika katakan.

Eh? Bener tadi dia gak denger pertanyaan gue? Alhamdulillah, biarin deh. Diam-diam dia mengembuskan napas lega.

"Eh? Enggak kok, gue gak ngomong apa-apa," jawabnya dengan sedikit rasa canggung.

"Oh ... baiklah."

Mereka berdua kembali bungkam. Netra Aras yang berwarna hitam pekat itu diam-diam melirik pada kaca spion, untuk mengintip bagaimana ekspresi Dika saat ini.

Duh ... Dika kok makin hari makin ganteng, sih? Gimana gue mau move on coba? Aras membatin. Pikirannya sedang berantakan untuk saat ini. Bagaimana tidak? Saat ia sedang berusaha untuk melupakan seseorang, tapi tiba-tiba orang yang dilupakan malah datang kembali. Menawarkan tumpangan pula. Kalau begitu ... apa kabar dengan hati?

"Ras, jangan ngelamun. Bahaya," tegur Dika. Ia mengetahuinya dari kaca spion. Terlihat di sana sikap tubuh Aras yang tidak berubah-ubah.

"Eh? Ma–maaf, gue gak bakal ngelamun," gagap Aras. Aduh, guratan malu nampak terlihat jelas di wajahnya. Pipinya memerah bak tomat. Jari-jemarinya nampak bermain kaku seperti orang gugup. Terlihat sangat betapa malunya dia.

Cowok most wanted itu melirik kaca spion, lagi, untuk mengamati kembali wajah Aras dari depan. Nampak jelas ekspresi gugup dan malunya, yang membuat cowok itu gemas dengan tingkah Aras. Namun tanpa berlama-lama menatap kaca spion, ia kembali memokuskan pandangan dan konsentrasinya pada jalanan. Beberapa menit mereka lalui dengan ekspresi datar dan saling bungkam, akhirnya mereka berdua sampai di sekolah Aras.

Sebenarnya Dika masih ingin berduaan dengan cerek kutu buku itu lebih lama lagi, tapi kenyataan tak berpihak padanya. Terpaksa ia berpisah demi ilmu.

"Aras, sudah sampai. Lo boleh turun," ujarnya.

Aras mengangguk, ia pun turun dari motor Dika. Tangannya merogoh saku roknya, dan mengeluarkan uang dua puluh ribuan. Awalnya Dika bingung, untuk apa Aras mengeluarkan uang. Sampai pada Gadis itu menyerahkan yang berwarna hijau tersebut padanya, ia mengerti. Dika menggelengkan kepala, menolak uang dari Aras.

"Gak usah Ras, gue ikhlas kok, lahir batin malah." Tangannya mendorong pelan uang Aras.

"Ih ... buat beli bensin aja. Gue juga ikhlas ngasih lo duit," balasnya—sok cuek.

Dika menggeleng tegas. Tanpa banyak bicara lagi, ia tancap gas dan pergi meninggalkan Aras. Ia berseru sambil menjauh.

"Gue gak butuh imbalan dari lo, kecuali balasan cinta gue!"
—————————————————————————
To be Continued.

Padahal lumayan ya uang segitu, bisa buat jajan. Tapi ... malah ditolak.

Mending buat aku aja:D

For You:Please Come Back (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang