Part 52

26 20 1
                                    

Sebungkus rokok Dunhill yang melekat di saku bajuku telah memperlihatkan sosok ku yang memang pecandu rokok. Rokok bagiku godaan jiwa yang sangat sulit untuk diredamkan, begitu pula imajinasiku yang selalu ada di saat diriku tenggelam ke dalam kenangan. Oh kenangan yang bangsat, kenangan yang bajingan sehingga aku menjadi seperti ini lagi.

Melihat aliran sungai di dalam mobil sungguh mengingatkanku akan kesusahan diriku beberapa tahun yang lalu. Tak ada yang peduli siapa diriku ini, berasal dari manakah diriku dan untuk apa aku menulis sampai saat ini. Tapi semua berubah, menjalar seperti racun yang berkumandang pelan di dalam lubuk hatiku.

Sepasang bocah bermain dengan bocah yang lainnya. Mereka menyusuri sungai dengan kedua orang tua mereka yang menjaganya. Sedangkan cahaya senja menerpa dan memantul di antara aliran sungi yang jernih ini. Di sebelah sungi jernih ini, memang di bangun sebuah taman permainan untuk keluarga. Ya untuk keluarga.

Seperti pertanyaan beberapa temanku yang bertanya, kapan kau akan menikah Lara? Bukannya umurmu sudah sangat cukup untuk menjalin sebuah hubungan ruman tangga? Ya memang benar sekali pikirku. Mereka sangat benar Ketika hanya membahas umurku, tapi tak selalu benar Ketika membahas apa yang sebenarnya ada di dalam lubuk hati yang terdalam ini.

Apa masih tentang Pita? Gadis yang sudah bukan gadis lagi. Gadis yang sudah berumah tangga dan mempunyai seorang anak yang cantik jelita. Apa aku masih mengharapkannya lagi? Padahal perempuan di luar sana sangatlah banyak dan tentunya aku tinggal memilih mereka dari yang terbaik.

Sebegitu mudahnya hidup sekarang. Tapi justru kemudahan itu membuatku sangsi akan diriku sendiri. Aku sudah lupa akan Tuhan dan agamaku, sudah lupa ajaran ayah dan ibu dan sudah lupa bagaimana menghargai perbedaan antara kaya dan miskin. Baru beberapa hari yang lalu aku membuat hati seorang editor di tempat kerjaku, aku memarahinya karena ia masih saja melakukan kesalahan disaat aku sudah memberitahunya berkali-kali.

Bahkan aku menghinanya dengan berkata dasar perempuan miskin, karyawan miskin yang takt ahu kerja dan malu! Perkataanku membuatnya sangat perih dan sakit. Ia lalu lari keluar ruangannya dengan membanjiri tangisnya dan membiarkan diriku tenggelam dalam kekacuan jiwa ini. Orang-orang di sekitarku terlihat jengkel bahkan ada yang takut untuk mendekat denganku lagi.

Sebuah kesalahankah? Bukankah bekerja memanglah harus professional? Aku dituntut untuk sukses seperti ini karena beberapa kekejaman hidup yang telah aku lewati. Apakah aku salah? Beberapa teman baruku berkata jika terhadap perempuan kau harus berbeda sikapmu. Berbeda bagaimana? Bukankah setiap manusia sama Ketika melakukan kesalahan? Apakah perbedaan gender menjadi alas an untuk ia melakukan kesalahan dan mendapat keringanan? Aku rasa tidak, tapi aku menyadari kesalahanku terletak pada kata dan gejolak emosi yang terlalu dalam.

Untuk apa aku melakukan itu? Sepintas aku pandangi lagi kedua bocah yang bermain dengan temannya yang lain. Mereka tiba-tiba saling menangis dan satunya lagi dengan beringas memukul bocah yang menangis itu. Dan tiba-tiba kedua orang tua mereka menghampiri dan malah membuat menangis bocah yang tak menangis barusan. Terjadilah beberapa bocah menangis dan orang tua mereka saling bertengkar satu sama lani, menyalahkan yang harus disalahkan.

Seketika keadaan menjadi tak sendu lagi. Seakan seperti virus yang menjalar tiba-tiba dan merasuk ke dalam ingatan dan kenagan yang lainnya. Aku teringat masa -masa kelam itu, masa-masa yang tak pernah aku inginkan lagi. Oh Tuhan apakah aku benar-benar harus mencarinya lagi? Sosok bibir mungil itu, rambut bergelombang itu, mata sayu itu dan senyum manis itu seperti merasuki kebodohanku sekali lagi.

Lalu aku tolehkan wajahku ke hadapan arus sungai yang lainnya, mencoba menghindari percekcokan bodoh para orang tua itu. Di jalan ini aku dapati hal lain. Ketenangan dan jauh lebih tenang dari keinginanku. Dan dari kejauhan aku dapat melihat sama-samar, sosok perempuan dewasa termenung, di dekat aliran sungai di samping pohon beringin yang besar yang menutupi kesejukan ini. Bukankah itu Pita ucapku di dalam hati yang bodoh itu.

"Pita?" aku semakin yakin dan seketika berdiri membuka pintu mobil dan membiarkan rokok Dunhill ku terbang menghirup udaranya lagi.

"Ternyata Tuhan memang baik kepadaku, kau ada di sini! Disaat diriku memang sedang membutuhkanmu!" sekejab aku hilang kesadaran dan pergi bersama hembusan angin yang membasahi hati ini.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang