Part 26

137 75 0
                                    

Jika perpisahan adalah takdir
Maka melupakanmu adalah sebuah keharusan

Matahari telah mulai terbenam. Aku isyarat kan untuk menyudahi obrolan ini. Sebab aku tak ingin terlalu lama berada di luar rumah, melihat keramaian yang tak kunjung berhenti.

Aku benci keramaian, sebab bagiku keramaian adalah sumber sagala penyakit. Mulai otak buntu, pusing kepala dan segala yang berbentuk keruwetan hidup.

Ku tengadahkan kepalaku, dan berdiri untuk mengajaknya pulang.

"Aku ingin pulang, capek dan sepertinya kita lanjutkan saja obrolan ini di rumah!" ia sedikit kecewa, sambil berdiri meninggalkan perpustakaan ini.

"Sepertinya aku harus bisa tahu bagaimana kau membangun moodmu itu kawan," aku memang orang yang tak bisa diukur moodnya. Sangat mudah datang, dan sangat mudah pergi.

"Cukup bersabar saja, apa kita pamit ke senja?" mendengar kata-kata ku barusan, ia tertawa kecil.

"Kenapa harus pamit ke dia? Apa alasanmu kawan?" aku diam, tak ingin menjawab pertanyaan menjebak ini.

"Bukan apa-apa! Kita sudah bicara dengannya, aku sudah mengenalnya dan etikanya aku juga harus pamit kepadanya bukan?"

"Sebuah alasan klasik bagi cowok yang sedang kasmaran!" ia tertawa keras, sambil berjalan menuju ke tempat senja.

"Cepat katakan kawanku," aku gugup, wajahnya benar-benar mirip dengan Pita kalau dilihat-lihat.

"Terimakasih atas kunjungannya, semoga memuaskan dan bisa berkunjung lagi!" senyumnya sungguh mempesona.

"Tempat yang bagu, buku-buku nya bahkan diluar dugaan ku, kapan-kapan aku bakal berkunjung kesini lagi!" senja hanya tersenyum dan membiarkan kita berdua pergi meninggalkannya.

"Dia canggung kepadamu senja!" temanku ini kurang ajar memang, dengan sikapnya yang tengil, wajar banyak cewek yang tak mau dengannya.

Aku pun pergi, meninggalkan tempat ini dengan rasa yang sedikit legah. Tapi masih banyak yang ingin kuketahui lagi. Semuanya tentu tentang kekasih pertamaku Pita.

*

Udara malam mengemas luka. Aku terpaku di hadapan wajahku sendiri. Keadaan yang ramai tadi pun kembali sunyi.

Hanya tinggal suara-suara jangkrik yang menggantung di sekitar hatiku. Keadaan yang lagi-lagi membuat ku menjadi manusia tak punya harapan hidup.

Aku duduk di depan televisi yang menyala pudar. Suaranya tak kencang, dan terkesan mengenang segalanya di masa kecilku.

Ayah dan ibu mungkin menangis melihatku seperti ini. Harapan satu-satunya atas kebanggaannya ternyata gagal. Semuanya sudah berlalu setelah kejadian diluar nalarku tiba.

Apa yang dikatakannya hampir membuatku pingsan. Tentang angga yang kurang ajar, dan tentang pilihan Pita yang meninggalkan diriku ini.

"Apa aku harus menerima pilihannya? Meskipun ia menganggapnya pengorbanan? Pengorbanan tak perlu untuk menyakiti hati siapapun, Pita salah memaknai hidupnya sendiri! Dengan membiarkan aku menikmati takdir yang ia pilih sendiri!" aku geram, kucakar kulit sofa yang aku duduki ini.

Ada semacam amarah yang tak dapat aku terima. Meskipun aku kasihan akan dirinya, tapi akibat dirinya pun aku merasakan sakit bertahun-tahun.

Ia egois dengan pilihannya. Ia hanya memikirkan hidupnya dan tak peduli dengan apa yang akan terjadi kepadaku.

"Apa kau benar-benar mencintaiku? Jika kau mencintaiku maka kau tak pantas menelantarkan cinta ku ini! Berarti kau hanya peduli dengan nasibmu! Dengan keadannmu yang mungkin saat ini bahagia!"

"Kau hanya peduli akan sikap dan keluargamu! Tak seharusnya kau pergi, menghilang seketika tanpa kabar seperti ini! Maka alasan apapun yang ku dengar, menjadi bulsyit! Apa yang ia katakan padaku tadi sore, semuanya hanya bualan dari fakta yang harus aku terima!"

Napasku tersengal, seluruh amarah dan emosi seperti menyatu ke dalam ruang paling hampa di dalam hatiku ini.

Ruang yang tak bakal semua tahu, kecuali Tuhan yang menjadi tempat ku mengadu.

"Kau bukan mencintaiku jika kenyataannya seperti itu Pit! Kau hanya peduli dengan nasibmu kedepannya, kau hanya peduli dengan ayah dan ibumu! Maka angga pun juga pasti tertawa melihat kau kalah seperti ini!" kenyataan apa yang harus ku terima selain melampiaskannya malam ini.

Ku banting remot televisi sampai hancur. Ku matikan lampu ruang tamu. Membiarkan air mata jatuh perlahan, menembus ulu hatiku ini.

Tak ada yang perlu dicabik, selain hatiku sendiri. kenyataan yang ia ceritakan sore ini, adalah kenyataan yang harus ku terima. Tapi dengan lapang dada, ku tak bisa menerima semuanya.

Aku berdiri, menghampiri meja tulisku di sudut kamarku. Dengan hati yang begitu sakit, dan air mata yang mengalir ku tuangkan semuanya dalam tulisan.

Lampu baca pun ku hidupkan. Membiarkan amarah ini, terkenang ke dalam tinta kenangan.

Sungguh apa yang harus aku terima dan aku sanggupi dari kenyataan mu? Aku tak akan pernah peduli Pit. Kenyataan yang nyata adalah kau pergi meninggalkan seorang cowok yang sedang cinta kepadamu.

Kau meninggalkannya, dengan keadaan yang menyedihkan. Dimana ayahnya meninggal dan ibunya yang kesakitan. Kau egois, kau hanya peduli dengan apa yang akan terjadi kepadamu sendiri.

Aku tak bisa menerima semuanya. Apapun kesedihanku, apapun kesedihanmu bagiku sebuah fakta yang menyedihkan. Mungkin saat ini kau sudah bahagia, sudah merasakan kebebasan akibat belenggu ini.

Kau masih punya ayah dan ibumu, kau tak pernah mau menemui ku lagi. Walau itu sekejab saja. Sudah hampir dua tahun dari kejadian itu Pit. Sesungguhnya aku memendam cinta ini, dan berharap kau kembali dengan keadaan seperti apapun itu.

Aku masih mencintaimu, sungguh hatiku masih mengharapkan mu. Mungkin aku bodoh, tapi kebodohanku itulah yang membuatku bangga, dan membuat diriku mempunyai cinta yang sesungguhnya.

Kau seharusnya tahu Pit. Tak semua cinta itu mudah dilupakan. Dan tak semua kenangan itu adalah kebahagiaan. Semuanya kau limpahkan kepadaku.

Maka apa yang harus kuterima saat ini? Kau tahu bukan? Jika aku selalu menyimpan kepercayaan, jika kau bakal menemui ku dengan keadaan diriku sekarat. Dan disaat itulah kau akan paham letak kesalahanmu Pit.

Aku hanya manusia biasa, jadi air mataku ini adalah kebiasaan saja. Kau boleh merasakannya dari kejauhan. Aku yakin kau merasakannya malam ini. Merasakan kepahitan hidupku!

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang