Part 4

456 203 36
                                    

Sore itu bulan dan matahari melukis rindu. Aku terbangun duduk di samping pohon di depan rumahku. Tempat ini menjadi tempat favoritku, sejak dulu masih kanak-kanak, di tempat inilah aku himpun imajinasi, dan cita-cita setinggi mungkin.

Tapi saat ini, tempat ini lebih mirip tempat berduka bagiku. Merenung apapun yang telah terjadi, seperti tentangnya. Tentang ke dua mata dan sikap yang membuatku mabuk dibuatnya.

Ibu sedang di dalam rumah, ayah seperti biasa belum pulang dari kerjaannya. Di masa-masa seperti ini, mungkin aku selalu berharap lebih kepada hidup ini. Hidup yang memang selalu aku inginkan, seperti anak-anak kaya kebanyakan.

Hal itulah yang membuatku menjadi sinis. Aku tak punya teman baik, teman baik ku hanyalah diriku sendiri. Tapi sejak kedatangannya, hidup ini lebih berarti. Pita yang tegar, Pita yang manis dan pita yang selalu memberiku semangat pagi.

Jadilah aku punya tujuan hidup. Sekolah menjadi lebih semangat, dan tentunya aku ingin membuka lagi cita-citaku setinggi langit.

Dengan wajah yang tersenyum manis, kuratapi dedaunan yang jatuh di batang pohon itu. Di sebelahku kicau burung seperti obat yang menyejukkan hati. Rumahku memang menyejukkan, orang-orang di sini lebih suka menghabiskan waktu, hanya untuk bercengkrama dan menceritakan segalanya di masa lalu.

"Jangan kau anggap hidup mu yang paling menyedihkan ya?" Kata-kata itu ku ingat betul. Pita lalu mencubit ke dua pipiku sambil menggandeng telapak tanganku secara berbarengan.

Bagaimana bisa aku tak mabuk kepayang olehnya. Sikapnya yang manja, sorot matanya yang luas dan harum tubuhnya yang memabukkan sangat membuatku ketagihan olehnya.

Ia lebih mirip bidadari dari surga, daripada sesosok manusia biasa. Sore ini tak ada lagi yang sedang ku kerjakan. Hanya melamun dan menunggu azan magrib tiba. Lalu ibu keluar, dengan wajah sedikit gusar.

"Ayahmu kok belum datang ya?"
"Mungkin lagi lembur Bu!" Ayah memang biasanya selalu pulang tepat waktu. Dan sore ini ayah belum sampai ke rumah.
"Ibu jadi kepikiran, nak?" Ku lihat raut wajah ibu ketakutan, dan ia langsung membalikkan badan. Menanti ayah yang tak kunjung pulang.

Melihat raut wajah ibu seperti itu, hatiku resah gelisah. Tak ingin ku bayangkan sesuatu buruk terjadi pada ayah. Sebagai buruh bangunan, pekerjaan ayah memang beresiko tinggi, apalagi di umurnya yang sudah menua ini.

Sebagai anak tunggal, hal inilah yang membuatku malu dan gusar. Tanggung jawabku ke depannya bakal besar. Membiayai ayah dan ibu, juga menentukan nasib hidupku sendiri yang masih seperti ini.

Cahaya langit nampak berwarna jingga. Awan-awan, membentuk gelombang spiral, yang sangat menarik untuk dipandang. Tapi ayah belum kunjung datang. Suara azan berkumandang pelan dan merdu. Aku pun jadi ikut kepikiran.

"Ibu telpon nomor ayahmu tapi tak aktif nak? Hmmm... Ibu punya firasat tak baik sore ini," ibu mondar-mandir keluar dari ruang tamu.

Aku yang tak bisa melakukan apapun juga bingung, akhirnya keluar dengan inisiatif sendiri menuju tempat ayah bekerja.

"Lara mau ke tempat ayah bekerja Bu!"
"Iya nak? Hati-hati di jalan, ibumu ini ketakutan!" Segeralah aku bergegas keluar, karena tak punya sepeda motor, maka aku hanya memakai sepeda biasa. Sepeda yang ayah belikan saat aku naik ke SMA.

Bergegaslah diriku menyusuri jalanan kota yang rumit. Suara azan sudah berhenti. Orang-orang malah pada sibuk dengan urusan sendiri. Tempat kerja ayah masih lumayan jauh, sedangkan tubuh sudah berkeringat basah sekali.

Siapa yang tak bakal takut sore ini? Pikiranku melayang-layang, menuju batas yang tak bisa aku rasakan. Sepanjang jalan, kendaraan lalu lalang, melintasi jalanan kota. Cahaya senja semakin tenggelam, bersama bulan yang sebentar lagi datang.

Sudah tak ku ingat sesaat wajah Pita jika keadaan seperti ini. Sempat ku dengar jika ayah memang banyak yang membencinya. Bukan karena kejahatannya, tapi karena kebaikan ayah, sehingga orang-orang iri kepadanya.

Nafasku tersengal, detak jantung berburu dengan keringat yang bercucuran. Dingin udara malam sudah tak membuatku ragu lagi. Ku masuki pagar tempat ayahku bekerja. Ada satpam yang menjaganya, sedang menonton televisi.

"Pak?" Ku gedor pagar itu begitu kerasnya.
"Iya? Tunggu! Ada apa ya?" Tubuhnya yang gempal, membuatku tak selera melihatnya.
"Aku anak dari Pak Karta, ayahku belum nyampek rumah sampai sekarang? Mungkin bapak tahu ayah pergi kemana? Soalnya ibu khawatir, Pak?"

Mendengar ucapanku barusan, bapak satpam langsung gelisah. Ia antara tak paham dengan yang aku ucapkan, atau jangan-jangan ia tahu sesuatu dari ayahku? "Gini nak? Ayahmu tadi pulang sekitar jam setengah lima, dengan teman-temannya, sudah itu saja yang bapak ketahui!"
"Hanya itu pak?"
"Iya hanya itu nak? Justru bapak ini, ikut kepikiran mendengar ayahmu belum sampai rumah!" Dengan sangat hati-hati, ku memundurkan langkah.

Aku ingat aku satu teman kerja ayah. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Kenapa tak bertanya kepadanya? Lalu buru-buru, aku pergi meninggalkan kebingungan ini. Dan mengucapkan terimakasih pada bapak satpam ini.

"Terimakasih pak? Doakan ayahku tak kenapa-napa," ia hanya tersenyum. Menutup pagar itu kembali, dan membiarkan diriku menyusuri jalanan kota yang penuh debu ini.

Tubuhku sudah terasa kaku. Nafas semakin tersengal, saat bintang-bintang menyusuri langkah hidupku ini. Jalan-jalan kota sudah tak menarik lagi bagiku.

Wajah manis Pita sudah memudar dalam ingatanku. Keberadaan ayah adalah tujuan utamaku malam ini. Kemana seh ayah? Gerutu ku dalam hati sambil mengayunkan sepeda tua ini dengan rasa sabar.

Rambutku kaku karena udara malam. Tak sedikit kurasakan getir teramat dalam. Kebencian apa yang merasuki hatiku saat ini. Sampai aku tersadar jika orang-orang, sedang berjalan menuju rumahku.

Aku semakin bingung. Sampai tangan itu memegang pundak ku. Ku tolehkan wajahku, ternyata adalah teman lamaku Saro.
"Kau harus bersabar dan kuat ya?" Aku tak menjawab, sebab masih bingung dengan keadaan ini.
"Semoga ayahmu diterima disisi Tuhan yang maha adil," mendengar itu aku langsung kaku dan diam seribu bahasa.
"Ayahmu ditemukan meninggal di aliran sungai desa sebelah, mayatnya mengapung dan untungnya masih ada warga yang berhasil menemukan mayat ayahmu Lara."
"Apa kau bilang?"
"Ayahmu meninggal lara?"

Seketika aku melempar sepedaku. Berlari menuju rumah dengan rasa yang tak pernah dapat ku percaya. Malam ini, semua menjadi sampah.

Air mata menetes deras, aku teringat akan ibu. Bagaimana ibu bisa menerima ini semua? Detak jantungku seperti terasa membeku. Aku tak ingat siapa saja yang memeluk dan berkata sabar terhadap diriku dan ibu.

Malam ini tubuhku melayang, lepas dan sempat ku pandang ibu yang mencoba tegar menerima keadaan ini.

"Ibu?"
"Harus sabar dan menerima semuanya dengan lapang dada anakku!" Setelah itu ia menangis dan aku pun pingsan dalam pangkuannya yang penuh kehangatan ini.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang