Part 43

45 28 0
                                    

Kebaikan akan selalu dianggap buruk oleh kebaikan yang lain. Begitu juga kejahatan tak akan selalu dianggap jahat oleh kejahatan yang lain

Orang-orang sedang bergemuruh membicarakanku yang sedang linglung di tempat tidur rumah sakit ini. Penglihatanku menjadi buram dan beberapa orang seperti berbentuk aneh di dalam pandanganku sekarang ini. Aku sudah tak bisa mencium apapun, selain kematian yang semakin mendekat saja rasanya.

Begitu bayangan hitam menyeruak dan membisiki membuatku takut akan segala yang bakal terjadi selanjutnya. Ku gerakkan kakiku, berusaha agar semua darahku tak membeku dan mencoba menggerakkan mulutku yang mati rasa. Apa yang ku minum tadi? Aku sepintas lupa jika baunya lebih mirip obat bius ketimbang alkohol yang mengenakkan bagiku.

Semua gelisah, dan aku sadari jika kedua tanganku gemetar, mencoba berpaling dan bergoyang seperti irama musik kesetanan. Ingin rasanya berteriak dan meminta tolong pada mereka jika dadaku terasa sangat sakit sekali. Lalu seorang dokter datang, menatap dan melihat sorot kedua mataku yang linglung.

"Ia keracunan!" aku sudah yakin jika yang aku minum tadi bukanlah alkohol.

Dan segera dokter itu seperti membiuskan sesuatu kepadaku. Tubuhku melayang-layang, ng menjadi kapas yang terbang mengangkasa. Aku rasakan getir, dan seketika semua harapan menjadi hitam. Kenikmatan surga yang seolah datang menimpaku sekejab ini. Perlahan suara dan wajah dokter itu hilang, bersama orang-orang yang menyelamatkanku dari kematian ini. Sepintas wajah itu, apakah benar itu? Entahlah, sebelum aku tahu jawabannya, tubuh ini menutup mata dalam bentuk yang sungguh sederhana.

Rasanya aku seperti melihat masa lalu. Masa-masa sekolah dimana Pita sedang menatapku dari kelasnya. Wajah manisnya begitu menggoda dengan lirikan mata yang bulan mengembang. Aku yang berjalan dari samping kelasnya hanya tersenyum berusaha ingin menyatakan cinta kepadanya.

Dengan tubuh agak kurus dan tak terawat, aku berteriak memanggil namanya yang membuat Pita malu dibuatnya. Ia melempar sekertas tulisan kepadaku, kita akan bertemu nanti selepas pulang sekolah ya? Kira-kira itu tulisannya, betapa bahagia hati ini ketika cewek yang kita taksiri mengundang untuk bertemu dengan kita? Dengan semangat pula aku membawa kertas itu dan menyusuri kelasku dengan wajah yang sumringah sekali.

"Ini kan?"

Aku melihat diriku sendiri dari balik bayangan ini. Ke dalam dunia mimpi yang nyata bagiku. Dunia yang selalu aku ingin ubah alur ceritanya. Disaat aku kebingungan, Indra tampak datang menepuk pundakku, kebiasaannya yang memang menjengkelkan. Kita berdua begitu akrab dan saling berbahagia menjalin cerita satu sama lainnya. Aku menunjukkan tulisan Pita yang mengajakku untuk bertemu.

"Kawanku sudah tahu rasanya jatuh cinta!" ia berteriak sambil menjambak rambutku begitu kencangnya.

Karena guru yang tak datang ke kelas, maka kita berdua bercanda bebas mengekspresikan segalanya ke dalam nuansa biru muda. Indra menunjukkan jika ia benar-benar sahabat terbaikku pada waktu itu. Kenapa aku harus membencinya? Kenapa pula aku harus ego dengan segala keinginanku saat ini? Sedangkan sejak dulu hanya Indra yang bisa paham bagaimana sakit hatiku terpendam hanya untuk Pita seorang.

Aku lalu berjalan menuju ruang atas sekolah ini. Tubuh ini seperti berada dalam dunia yang begitu mistis sekali. Kembali ke masa lalu dengan memberikan kesan jika tak ada orang yang benar-benar niat untuk menjauhi dan berbuat jahat kepadaku ini. Indra adalah kawan sejati, dan Pita adalah cinta pertamaku yang tak bakal bisa terulang lagi.

"Kau kemana botol mineral itu, Ra?"

"Kenapa kau tanyakan itu?"

"Apa masih kau simpan dengan baik? Atau jangan-jangan justru kau cium-cium tuh botol mineral?" ia lalu tertawa manis dengan lesung pipi yang begitu imut sekali.

"Semua tentangmu selalu aku jaga, apalagi barang yang kau berikan pertama kali kepadaku? Pastinya aku jaga dengan sangat baik Pit! Apa kau senang mendengarnya? Atau jangan-jangan kau malah malu?"

"Untuk apa aku harus malu?"

"Karena aku!"

"Kenapa denganmu? Apakah ada yang salah? Kau bukan setan kan? Kau cowok yang manis dan baik hati kok?"

"Kau yakin mengatakan hal itu kepadaku barusan?"

"Lara? Keyakinan itu adalah bukti yang harus kau tanam sendiri, kalau kau yakin makin yakin saja! Jika tidak maka aku yang harus meyakinkanmu sekarang!"

"Dengan apa?"

"Apa kau ingin tahu sekarang atau nanti?" aku tak bisa menjawabnya dan Pita pun paham jika situasi saat itu tak memungkinkan untuk ku melakukannya.

Sekejab kenangan itu menyeruak ke dalam otakku yang sedang menangis di atas sini. Jauh di bawah sana, diriku sedang berjalan berdampingan dengan Pita. Bel sekolah berbunyi tanda pulang dan dengan bahagia pula aku pun berjalan dengannya. Pemandangan yang sangat syahdu dan menyakitkan hatiku.

Kenangan-kenangan ini layaknya hujan dengan rasa sesak yang begitu dalam. Rasanya ingin kembali kemasa ini, tak ingin menyusuri hal lain selain keindahan tanpa beban. Ku lihat tawaku dulu, dengan bahagia dan bangganya aku menggandeng tangannya yang begitu lembut sekali.

"Semua hanya sebatas kenangan saja!" aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya rasa sakit yang begitu menyiksaku. Masa depan yang seperti ini, tubuh yang seperti ini adalah ulahku sendiri. Indra ingin yang terbaik untukku dan mungkin Pita ingin aku hidup dengan lebih layak tanpa kehadiran dirinya lagi.

Aku telat menyadari semuanya. Tapi suara ibu membisik tepat di belakang telingaku. Dan ayah tiba-tiba datang, menghampiriku yang sedang bersedih hati.

"Ayah?" dengan mata yang mengembun ayah mengusap air mataku.

"Ayah tak ingin kau seperti ini! Masih ada kesempatan yang ayah dan ibumu berikan kepadamu, Nak? Kau harus berhasil membuat ayah dan ibumu bangga dan bahagia di alam ini! Jaga semuanya tubuhmu juga masa depanmu yang tentunya masih sangatlah cerah itu! Jangan terpuruk ke dalam masa lalu saja, Nak? Kau berhak bahagia, sama dengan Indra dan Pita dan Angga! Kau juga harus memilih jalanmu sendiri dan berbahagialah dengan pilihanmu itu!"

"Aku sudah tahu siapa yang membunuh ayah pada waktu itu!"

"Sudahlah Nak? Biarlah orang itu mendekam dengan penyesalannya yang abadi. Ayah tak ingin kau ikut campur lebih jauh! Ayah sudah menuliskan surat padamu kan? Patuhi ayah dan jalankan semua hidupmu menjadi lebih baik lagi setelah ini! Ayah selalu percaya ke anak cowoku yang satu ini!" ayah lalu mengusap rambutku dan menyuruhku untuk berdiri sebagai cowok yang tangguh.

"Lara?"

"Ibu?"

"Kasih ibu sepanjang masa untukmu, Nak!" ibu tersenyum dan mencium keningku dengan begitu hangatnya.

Apa yang telah aku lakukan selama ini? Hanya membuat mereka berdua semakin sakit di dunia ini. Mereka seharusnya bisa bahagia melihat anaknya sukses dan berhasil menjadi bahagia. Aku harus bangkit dan bangun dari keterpurukan ini.

"Ayah yakin kau pasti bisa, Nak!"

Kata-kata itu terulang begitu cepat sampai cahaya senja datang membingkai ingatan ini lagi. Tubuh yang terbaring lesu dengan selimut tebal yang menutupi tubuhku ini. Aku coba membuka mata lagi, berusaha kuat dengan berharap ada yang bisa membantuku.

"Kau selalu membutuhkan bantuanku kawan!"

"Indra?"

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang