Part 34

77 38 1
                                    

perjuangan adalah penentu kita untuk berhasil atau tidak dalam menghadapi hidup yang menyusahkan ini

Langkah pagi yang terasa berat sekali bagiku. Kematian Ibu adalah puncak kesengsaraan hidupku ini. Puncak dari segala kesunyian dan ke tidak beruntungan masa depanku.

Untung sebagian teman-teman tadi malam menginap di sini. Mereka berusaha menghiburku sesekali juga mencoba membuatku tertawa sejenak. Tapi itu tak bakal bisa, sebab yang ada di dalam otakku adalah bagaimana menjalani hidup dengan sendiri seperti ini.

Karena aku juga yakin, mereka bakal punya hidup masing-masing, dengan harapan dan cita-cita yang ingin mereka gapai. Aku tak bisa menyalahkan hal itu, karena itu aku harus siap mental menghadapi kesunyian kedepannya ini.

Tadi malam, aku seperti masih bertemu ibu. Sosok ibu yang selalu bergumam tentang ayah dan segala kelucuannya. Aku sempat mengira jika kedatangan Pita ada awal bencana semuanya. Tapi Pita bukanlah penyebabnya, ia hanya menyakiti hatiku. Hanya itu saja.

Pagi ini aku tak berharap banyak. Sebagian temanku juga sudah pulang. Sebagiannya lagi masih tertidur di lantai ruang tamu di depan televisi. Mereka tadi malam ngobrol, sampai menjelang subuh. Dan masih setia menungguku yang melamun di depan televisi rumah.

"Kemarilah kawanku, setidaknya kau jangan diam, jangan membuat dirimu semakin merasa bersalah dan sendiri! Kemari lah!"

"Aku tak ingin apa-apa, aku hanya ingin melamun seperti ini saja," mereka paham sifatku dan tak memaksaku untuk mau dengan ajakan mereka.

"Kami mau pamit dulu, tak apa apa kan?" aku hanya tersenyum sambil berdiri menghampiri mereka.

"Terimakasih sudah mau tidur di sini tadi malam, aku sangat beruntung memiliki kalian," di dalam hati ada penyesalan pernah menganggap buruk mereka.

"Nanti malam kita bakal kesini lagi kok? Tenang saja, untuk beberapa waktu kau tak bakal merasa sendiri! Jangan pernah membuat hatimu sendiri kawan!" aku tersenyum, dan mengantar mereka sampai ke depan halaman rumah.

Mereka menjauh, mengecil dan hilang dengan udara pagi yang begitu menyegarkan. Pemakaman ibu juga sudah selesai. Tinggal lah aku sendiri, sesekali para tetangga mengantarkan makanan kepadaku.

Mereka sungguh baik hati. Semoga tetap seperti ini kebaikan mereka kepadaku.

"Yang sabar ya Nak Lara? Tuhan mungkin punya cara lain untuk membahagiakan Nak Lara?!" aku tak mampu menjawab, menjawab hal ini membuat dadaku terasa sangat sesak sekali.

"Di dalam kehidupan mungkin Nak Lara merasa kesepian! Tapi jauh di dalam hati Nak Lara, ayah dan ibu pasti membuat Nak Lara merasa rindu, di sana mereka hidup selamanya! Menemani Nak Lara sampai kapanpun itu!" kata-kata indahnya tak mampu aku jawab, ku balas lagi dengan senyum dan menerima makanan yang ia berikan padaku.

Cukuplah sudah semua ini. Semua hal yang bernama impian dan harapan. Ku ratapi rumahku sendiri, kusam dan sunyi. Dalam kejauhan kenangan seperti datang begitu saja. Membuatku masuk ke dalam rumah dengan harapan yang tak baik baik saja.

*

Kabar kelulusan sudah tak menjadi penting. Aku harus seperti apa setelah ini? Dengan mencari tumpukan kertas di meja belajar, mulai kucurahkan semua dalam bentuk tulisan.

Kini aku harus paham cara menyalurkan kesunyian ini. Cahaya bulan yang menerpa jendela, sedikit mengubah warna kayu di sekitarnya. Aura kelam datang, dengan kumandang adzan yang mengerikan.

Aku tutup pintu rumah, dengan kabut yang tersita di dalam mata. Semuanya menjadi benar, setiap malam akan seperti ini hidupku. Sampai suara teman-teman datang, menundaku untuk segera menulis apapun yang ada di dalam hati ini.

"Gangguan atau kebahagian kah ini?" aku tak paham, dan membuka pintu rumah agar mereka merasakan kesedihanku ini.

"Aku membawa makanan buatmu nih," ia menepuk pundakku, aku bahagia dengan sapaan ini sekarang.

"Tumben kau tak marah ditepuk pundaknya kawan?"

"Tak ada alasan aku marah saat ini, kalian sudah berbaik hati kepadaku! Terimakasih kawan kawan ku?"

"Kata ibu guru, membantu manusia adalah tugas utama dari manusia bukan?" ucap Andra dengan sumbang.

"Tak hanya manusia, tugas manusia juga harus membantu makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya," indra menghampiriku dan menyuruh kita untuk makan bersama.

"Nikmat bukan?"

"Untuk sesaat kalian adalah kebahagiaan itu!" aku tersenyum kepada mereka, dan mereka malah tertawa keras mendengar katakata bijak ku ini.

D

i balik pagi yang sedang hangat, ku rasakan kebahagiaan di dalam diri mereka. Sesuatu yang membuatku merasakan iri yang teramat dalam. Lalu indra dengan entengnya mengajakku duduk, sambil menceritakan masa depannya kepadaku.

"Sepertinya aku bakal kuliah Ra?"

"Baguslah, itu kan keinginanmu Dra?" aku berusaha menutupi kegelisahan ini.

"Kau bagaimana?"

"Aku?"

"Iya dirimu bagaimana ke depannya? Apalagi dengan keadaan keluargamu yang seperti ini," Indra menundukkan kepalanya, sambil menggaruk-garuk ujungnya.

"Aku sudah tak punya keluarga Dra," sejenak aku menyadari perkataanku sendiri barusan.

"Kita semua ini adalah keluargamu, kau, aku dan teman-temanmu itu adalah keluargamu, jangan sampai kau merasa sendiri di kehidupan ini!"

"Tapi kalian sebentar lagi akan meninggalkan diriku bukan? Dengan harapan baru kalian, dengan cita-cita kalian semua! Dan aku tak menyalahkan itu semua," Indra dengan sejenak, berdiri dan melangkahkan kakinya ke luar rumah.

"Semua manusia punya harapan yang sama Ra! Termasuk kau, termasuk keterpurukan dirimu ini yang harus kau tempuh! Harus kau lalui dengan sekuat tenaga!"

Aku tak bisa menjawab apapun, yang ia katakan benar. Sebab setiap manusia berhak punya harapan itu. Tapi tak setiap manusia, bisa melalui harapan ini dan menganggap semua adalah hal biasa. Aku tahu, semua ini akan berjalan dengan biasa, dengan kata-kata yang tak bisa dijelaskan.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang