Part 2

787 229 39
                                    

Hari ini kulihat awan begitu terang. Orang-orang sedang suka berbisik di seberang jalan hanya untuk berbicara masa depan. Sekolahku tak jauh dari rumahku yang usang, mungkin berjarak dua kilo meter saja, sehingga bagiku cukup berjalan kaki saja, selain sehat tentunya.

Bagiku orang-orang di sekolah hanya untuk memuaskan hasrat dipikiran saja. Tentu aku juga berpikir sama tentang diriku ini. Seorang remaja yang optimis melihat masa depan dan tentu dengan semangat membara.

Tak banyak teman sekolah yang dekat denganku, aku memang kurang menarik untuk diajak bercanda. Bercanda bagiku sebuah kebiasaan yang tak ada gunanya. Tentu ini bukan hal yang baik untukku.

Aku pernah berpikir jika kehidupan sosial ini juga butuh orang lain. Dan orang lain itulah yang kelak akan membantuku. Ya seperti siang ini, dimana tenggorokanku terasa kering kerontang. Aku haus saja, cuaca menyengat yang menyakitkan.

Di samping kendaraan bermotor, di depan plang dan tiang listrik jalanan aku bergumam dalam hati. Sebagai remaja yang masih percaya harapan, maka aku lebih banyak tersenyum meski kenyataan tak seindah harapan itu.

Mataku mengarah ke berbagai sudut jalanan, melihat beberapa temanku yang juga berjalan kaki menuju rumahnya masing-masing. Tepat saat aku diam, menggaruk tenggorokan, tangan putih mulus dan berbulu tipis itu menawarkan sebotol air mineral kepadaku.

"Haus kan? Minumlah saja, aku tak tega melihatmu menggaruk tenggorokan yang tak bersalah itu," ia sodorkan minuman itu dan perlahan aku tatap wajahnya.
"Apa aku sangat menyedihkan bagimu?" Aku ambil air mineral itu dan seketika meneguknya tanpa banyak kata.
"Yup betul sekali!" Ia malah tersenyum sambil menutup bibirnya yang mungil itu dari hadapanku.
"Bukankah membantu manusia adalah tugas mulia dari manusia?" Ia kembali mengoceh sambil memandang wajahku lekat.
"Tapi kau tak kenal aku!" Melepas dahaga ternyata membuatku semangat lagi.
"Terimakasih sebelumnya," pelan-pelan kusimpan botol itu ke dalam tasku, ia tak sadar sebab ia sedang sibuk melihat keadaan siang ini.
"Hei!"
"Oh ya! Maaf aku sedang menunggu ayahku! Daritadi belum muncul-muncul seh!" Ia sedikit melirik ke mataku dengan sesekali senyum manis yang hadir.
"Oh, rumahmu jauh?" Tanyaku dengan sedikit malu.
"Ya tak jauh-jauh amat seh, tapi memang ayahku tak ingin anaknya capek dan kepanasan!" Ia kembali melirik dan seketika menanyakan botol air mineral yang tadi aku minum.
"Botolnya mana ya?"
"Ada di tasku, hmmm boleh kah aku simpan?" Ia terheran dan wajahnya semakin mendekat saja di hadapan mataku.
"Kenapa kamu simpan? Ada alasan khusus kah?" Matanya benar-benar indah, bulat dan harum tubuh yang menggoda.
"Sangat spesial bahkan!" Hanya itu yang bisa kujawab, dan ia terdiam sejenak sambil memperhatikan kedua mataku yang grogi.
"Ya simpan saja lah! Toh hanya botol air mineral kan! Lain kali bawa air minum ya, udara akhir-akhir ini cukup menyengat!" Ia lalu mengibas rambutnya yang bergelombang dengan sedikit keringat muncul di tengkuknya yang jenjang itu.
"Oh Tuhan begitu manisnya," gumamku di dalam hati, terpesona oleh kemanisan gadis ini.
"Siapa namamu?" Aku memberanikan diri, menanyakan namanya.
"Pita gora! Panggil saja pita hhee..."
"Sepertinya itu ayahku! Sudah ya? Kita satu sekolah kok, tenang saja! Lain waktu kita bisa bercengkrama lebih lama, ingat jangan lupa bawa air minum sendiri!

Ia lalu berlari menuju ayahnya yang ada di ujung jalan itu. Dari kejauhan aku semaki bingung dengan keadaan ini. Rasa gairah dan tentu gejolak hati yang berdetak kencang.

Pita namanya, dan ternyata aku dan dia satu sekolah, oh aku punya alasan khusus untuk menjadi rajin dan semangat bersekolah akhirnya.
Ia tampak makin menjauh, saat motor tua milik ayahnya mengembalikan dirinya ke rumah, dan aku kembali berjalan sambil meremas-remas botol minuman pemberiannya.

*

Wajah itu masih terngiang-ngiang di sudut malam ini. Rumahku yang kecil dan kumuh ini menjadi alasan jika hidup memang menyedihkan. Tapi berkat tatapan itu, setidaknya aku punya nafas panjang dan harapan akan masa depan.

Aku lingkari jendela kamarku, di sampingku banyak buku-buku fiksi milik ayah. Ayah dahulu adalah seorang penulis novel yang gagal. Mungkin karena dia lah, diriku juga senang menulis.

Tak jauh dari jendela ada tumpukan mainan masa kecilku, aku adalah anak tunggal yang jadi harapan besar buat keluarga. Dan setelah duduk di kelas tiga ini, harapan mereka padaku semakin besar. "Kau harus membahagiakan ayah dan ibumu ini, Nak! Jangan macam-macam, belajar yang tekun agar kau menjadi anak kebanggaan ibu dan ayah!" Kira-kira begitulah harapan mereka padaku.

Harapan itu justru menjadi beban untukku. Keluarga yang sederhana, dan dalam pandangan mereka diriku ini sosok anak yang berbakti. Padahal tak pernah sedikitpun omongan mereka aku laksanakan, kecuali salat kepada Tuhanku.

Tapi ada alasan lain saat ini. Kedua mata manis dan gelombang rambut itu membuat ku mengubah pikiran ini. Tujuan yang jelas dan harapan itu perlahan muncul lagi.

Pita gora, kira-kira itu namanya. Perempuan yang tiba-tiba datang memberikan bantuan disaat uang yang tepat sekali. Aku pandangi botol minuman ini, meski sudah keriput karena aku remas daritadi.
"Sungguh memabukkan harum tubuh itu, sungguh tergoda aku oleh manis wajahnya, dan sungguh aku tak bisa diam untuk bahagia bertemu dengan mu besok!"

Aku lempar kerikil batu yang ada di jendela kamarku. Berdebu, dan senyum sumringah kadang datang tiba-tiba. Aku punya alasan untuk kembali hidup, sebab sepertinya dia adalah adik kelasku.

Jarang aku melihatnya, bahkan belum pernah aku melihatnya selama ini. Atau apakah aku yang terlalu katrok di sekolah. Masak iya perempuan manis seperti dia tak aku kenal. Lagi-lagi aku tersenyum dan menyenderkan kepalaku di kaca jendela.

Malam semakin dingin. Ayah dan ibu sudah terlepas dari mimpinya sendiri. Dan di depanku gedung-gedung perkantoran semakin tumbuh berkembang, bersama kebisingan manusia modern. Aku hidup di masa ini, masa yang dipenuhi kosakata hampa.

Kurebahkan tubuh ini seketika, dan berharap esok akan lebih baik dari hari ini. Pita wajah itu kembali datang, aroma tubuhnya menendang dadaku dan matanya membuatku terlelap dalam tidur di malam yang panjang ini.

Sudahlah, mungkin ini adalah jalan Tuhan, masa depan yang suram atau harapan cinta pertama yang datang. Aku rebahkan doa malam, biar Tuhan yang menentukan semuanya. Apakah Tuhan akan membuatku bahagia atau sebaliknya?

Setidaknya aku telah bangun dari mimpi buruk ku. Tubuh ini setengah hilang dalam kesadaran dan tiba-tiba bibir itu melumat ku di tengah malam. Pita, oh segalanya tentangmu saat ini. Mungkin inilah cinta pertama dan memang sangat menggairahkan bagiku.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang