Setengah napasku tersengal pagi ini. Aku benar-benar gugup, gugup untuk bertemu Pita lagi. Dengan seragam kusut ku ini aku beranikan diri ingin menyapanya, bahkan sesekali ingin berbicara lama dengannya.
Aku pandangi botol mineral ini, meski sudah keriput bahkan cenderung tak berbentuk lagi. Tadi malam kumainkan sesuka hatiku. Aku seperti jatuh hati kepadanya, pada pandangan pertama yang begitu spesial bagiku.
Lekat ku pandangi kaca jendela, rambut ku sisir menjadi lebih rapih dari sebelumnya. Ada senyum bahagia berbeda dengan hari yang lain. Setidaknya aku punya pandangan hidup, jika ke depannya cintaku telah hadir dan datang untuk diriku.
Setelah itu aku keluar, menyapa ayah dan ibu yang termenung di depan rumah ini. Mereka sedang kebingungan, biaya hidup ini semakin hari membuat kita menjerit, dan itulah hal yang membuatku termenung lagi.
"Aku berangkat sekolah dulu," sambil mencium telapak tangan mereka, kuberanikan diri menyusuri jalan kota yang tersulut debu.
Sepanjang perjalanan, kendaraan lalu lalang mencari nafkahnya sendiri. Sedang di trotoar jalan bisa kukatakan jika hanyalah aku satu-satunya alasan mengapa hidup harus dipikirkan. Sampai tiba-tiba tangan itu menyentuh pundak ku dengan suara lembut yang menggoda.
"Hei!"
"Ya?" Aku kaget ternyata pertemuan ini tak dibuat-buat, tapi membuat diriku gugup sekali.
"Pita?" Wajah dan kedua matanya bagai embun dan harapan di pagi hari. Harum tubuhnya juga menyeruak menembus rongga paru-paru ku. Oh Tuhan, sungguh malaikat yang indah di hadapanku ini.
" Tak usah gugup seperti itu, aku tak membuatku takut kan?"
"Oh! Maaf, sepertinya aku harus terbiasa dengan keadaan ini sekarang, maaf ya pita?" Aku terlihat seperti lelaki bodoh yang mengenaskan.
"Kau ini sepertinya seorang yang sinis ya? Tatapan matamu ke arah jalan dan caramu memandang sekitar seperti ketiadaan saja bagiku!" Ia mengoceh sambil berjalan menuju ke sekolah.
"Kenapa kau jalan kaki?" Hal ini yang membuatku penasaran.
"Karena ingin segera bertemu kamu!" Lalu ia tersenyum manis, ia tak malu mengakui keinginannya, sangat berbeda dengan diriku ini.
"Bertemu aku? Kenapa ingin?"
"Sepertinya tak ada alasan untuk pertanyaan yang ini," ia lalu memandang wajahku sangat lekat. Betapa kegugupan ini makin membuat diriku jatuh hati kepadanya.
"Jangan pernah sinis terhadap hidup," kata-kata itu terdengar pelan, sepertinya ia tahu masalah hidupku ini.
"Hidup tak butuh rasa sinis, hidup hanya perlu bahagia dan cara bersyukur kepada Tuhan ini, jangan anggap hidupku lebih baik darimu, dan jangan anggap hidup orang lain tak separah dirimu! Itu salah, kita harus berjalan dengan masalah sendiri dan menyelamatkan hati dari penyakit jiwa. Aku ingin kau bisa seperti itu!"
"Kau baru saja mengenalku, bahkan baru kemarin!"
"Aku hanya peduli dengan dirimu dan keadaanmu, selebihnya biar Tuhan menentukan jalanku ini!"
"Hmmm.... Tapi tetap jangan mudah menilai ku seperti itu, kau belum mengenalku lebih dalam!" Mataku memandang wajahnya tajam, hatiku menggebu saat ia sepenuhnya paham kebencian ku terhadap hidup ini.
"Maaf, aku hanya peduli. Dan maaf kalau tak berkenan dengan nasehatku barusan!"Aku tiba-tiba menggenggam telapak tangannya erat. Entah keberanian apa yang aku lakukan. Dan pita hanya diam, seribu bahasa. Kita seperti telah mengenal begitu lama.
Keakraban ini bagai candu dalam hujan. Kita susuri jalan berdua menuju sekolah. "Aku kakak kelas mu pita," ia hanya tersenyum dan menggenggam tangan ku lebih erat.
"Ia aku tahu, dan aku telah lama ingin mengenalmu," setelah itu kita berdua sama diam. Menyerahkan gejolak hati ini kepada Tuhan di pagi hari.*
Apa yang hendak aku rasakan di pagi ini, seperti burung elang yang telah berhasil memakan mangsanya sampai habis. Seperti itulah perasaanku hari ini. Pagi dimana telah kudapatkan senyum manis itu, juga pagi yang telah membuat hatiku bergejolak kencang.Siapa yang tak senang? Aku pun semakin yakin jika hatiku telah jatuh kepadanya seorang. Mata itu, senyum itu dan harum tubuhnya itu membuat detak jantungku tak karuan dibuatnya. Sambil sesekali dapat aku rasakan tubuhnya seolah memelukku dari belakang dengan erat sekali.
Dan benar, ia adalah sosok perempuan yang sudah dewasa sepertinya. Sosok yang tadi menggurui ku tentang masalah hidup dan gejolak jiwa. Ia seolah paham sikap dan watak ku terhadap dunia ini.
Aku memang seorang yang sinis, bagiku manusia ya manusia. Dengan segala keburukan dan kerasukan di dalam wataknya. Sehingga di dalam pikiranku, hanya rindu kedamaian dan rindu kasih sayang yang terpatri saat ini.
Suara ibu guru sudah tak menarik bagiku. Pelajaran yang membosankan. Bagiku tak ada yang lebih membosankan daripada mendengarkan ceramah guru yang itu itu saja. Tak ada yang menarik, sehingga kumainkan pulpen dan sesekali memandang kaca jendela kelas yang menampakkan gedung-gedung tinggi di hadapannya.
"Lara!" Tiba-tiba suara ibu guru membuatku terhentak dari lamunan.
"Iya Bu?"
"Coba jelaskan lagi yang barusan ibu terangkan! Sekarang juga!" Aku hanya diam, mataku perlahan tajam, memandang teman-temanku yang menertawakan ku saat ini.
"Ayo segera jawab lara!"
"Aku tak bisa menjawab Bu," perkataan ku barusan semakin membuat teman-temanku tertawa lepas. Dan ibu guru tak memarahi mereka. Bagiku ini soal moral, dimana menertawakan sesama manusia adalah rasis.
"Ada yang lucu kah?" Aku tatap wajah mereka semua, sambil berdiri menuju arah ibu guru.
"Keluar sekarang juga, lain kali dengarkan kalau ibu sedang menerangkan materi! Paham!?" Sorot mata ibu guru begitu beringas, aku yang cuek hanya berlanjut jalan keluar dari ruang kelas, dibarengi dengan tawa teman-temanku yang brengsek ini.Mengapa harus mendengarkan, ketika tak ada lagi yang menarik untuk didengarkan. Ibu guru sudah salah menilai keinginanku. Aku susuri jalan sekolahan, entah apa yang harus aku lakukan di luar ini.
Sambil menendang kerikil batu, aku dapati si manisku pita sedang belajar sungguh sungguh di ruang kelasnya. Aku termangu, memegang daguku dan menyenderkan tubuhku di tembok sebelah kelas.
Dengan rambut acak-acakan, aku tertawa kecil, melihat wajahnya yang begitu serius mendengarkan pelajaran. "Apakah kau bakal mau dengan cowok kurang ajar ini, Ra? Apa kau tak malu jalan denganku?" Gumamku dalam hati.
Bibirnya seperti menjawab gumamku barusan. Dan hal itu membuatku bahagia sekali. Cinta pertama yang sekejap mengubah semangat hidupku. Ia goyang-goyang kan rambutnya yang bergelombang. Aduhai cantik sekali gadis ini dalam hatiku.
Saat diriku begitu lama melamunkan nya dari kejauhan, tiba-tiba ia melirik ke arah jendela dan melihatku dari kejauhan. Seketika matanya terheran heran. Ia mengerutkan kedua matanya, dan aku pun malu dibuatnya. Dari kejauhan kukatakan, "Aku cinta kamu Pita gora," ia terlihat penasaran, dan sepintas tersenyum mendengar bibirku bergerak tak beraturan.
"Ke sinilah, biar aku ajarkan bagaimana menahan sakit akibat hidup yang tak sesuai dengan harapanku!" Pita semakin lekat memandang tubuhku dari kejauhan, hati kita seakan berpelukan, merasakan gejolak hati yang sama-sama haus kasih sayang.
Setidaknya aku telah melihatnya, kelasnya dan tatapan matanya yang penuh makna kepadaku. Tatapan itu sungguh merumuskan cinta yang tak terucap. Cinta yang tak kunjung dapat dimengerti olehku sendiri. Tapi biarlah, menjadi apa yang seharusnya ada untukku sendiri.
"Belajarlah yang rajin, jangan seperti aku yang kurang ajar ini," aku berkata demikian, berharap ia mendengar dengan hatinya itu. Lalu ia mengangguk, seolah paham dengan apa yang aku ucapkan di dalam hati ini. Sungguh aku telah jatuh hati padamu.Jangan lupa komentarnya ya, vote juga kalau ini menarik bagimu. Saling menghargai karya orang lain oke.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENANGAN (TAMAT)
RomanceAku tahu mencintaimu itu adalah takdir, meski sangat menyakitkan Lara menulis sebuah catatan kisahnya dengan seorang gadis bernama Pita Gora. Gadis dan cinta pertamanya yang membuatnya punya gairah hidup dan membuatnya hancur lebur. #melodylan (ran...