Part 32

82 38 0
                                        

Pengorbanan cinta itu adalah kebiasaan yang selalu diyakini oleh pujangga yang sedang mabok karena cinta



Waktu terus berlalu begitu cepatnya, sedangkan hati dan kegundahan jiwaku begitu genting rasanya. Ibu semakin parah saja, hampir setiap malam ibu berteriak meminta ayah kembali datang menemani hidupnya. Kata tetangga bahkan ada yang bilang jika Ibu diguna-guna orang lain. Aku tak percaya akan hal itu, sebab bagiku ilmu hitam hanyalah lelucon saja, tak ada bukti nyata dan ibu selama ini tak punya masalah dengan orang lain, apalagi sampai membenci nya seperti ini.

Jadi omongan tetangga tak pernah ku gubris. Hanya lewat saja ke dalam telinga dan membiarkan ibu menyelami apa yang ia rasakan di dalam hatinya. Ia hanya bisa mengatakan namaku saja, tanpa ada kalimat penerus selanjutnya. Dan setiap malam ibu menangis, menjerit bahkan terkadang berteriak seperti orang kesetanan. Tetangga menjadi risih juga takut mendengar teriakan dan kesakitan dari ibu.

Bahkan ada yang mengusulkan jika ibu harus dibawa ke rumah sakit jiwa untuk ditempatkan di sana saja. Aku menolak keras, sebab harta yang aku punya saat ini hanyalah ibu seorang, dan aku tak bakal tega melihat ibu berkumpul dengan orang-orang gila di sana.

"Coba bawa ibumu ke rumah sakit jiwa, Ra? Kami tetanggamu ini jujur merasa terganggu dengan teriakan ibumu hampir setiap malam! Anak-anak kami bahkan tak bisa fokus belajar dan ada juga yang ketakutan! Semoga kau paham maksud kami nak Lara!"

"Iya kasihan ibumu itu! Seharusnya ia dapat perawatan yang baik, ditempatkan ditempat yang juga baik Lara! Jangan egois memikirkan keinginanmu sendiri, kami tetangga juga terganggu dengan apa yang telah ibumu alami saat ini," lalu suara ibu menjerit keras, terdengar sampai di luar halaman rumahku. Tetanggaku ini sontak ketakutan dan berlarian menuju ke rumahnya masing-masing.

"Coba pikirkan nasib kami juga Ra, kasihan ibumu!" mereka malah membuatku bingung dengan keresahan yang mereka alami. Tapi memang mereka tak salah, sebab hak mereka juga merasakan kenyamanan hidup berdampingan seperti ini. Aku hanya bisa diam, menundukkan kepala dan masuk ke dalam rumah lagi. Menenangkan jiwa ibu yang entah sedang mengalami apa saat ini.

Teriakan itu masih saja terdengar, ibu menjerit dengan sesekali tertawa kecil di antara lampu kamarnya yang hidup redup. Tak jauh dari ibu ada beberapa foto yang yang terpampang meesra dengan beberapa lukisan ayah yang mempesona. Aku melihat ibu dari depan pintu, memikirkan apa yang ibu rasakan dan pikirkan.

Lalu ibu menatap ku seakan ia sadar jika aku ini adalah anaknya sendiri. Ia menatap ku tajam dengan lurus menghadap sejengkal wajah ku yang muram. Di samping ada segelas teh hangat tawar yang selalu menjadi minuman kesukaannya sekarang ini.

"Ada apa, Bu?" tanyaku pelan.

"Kau siapa? Kenapa bisa kau masuk ke rumah ini dengan santai? Kau siapa?" mendengar ucapan ibu barusan, hatiku hancur lebur. Tapi tak bisa aku marah dengan ibu, keadaannya adalah takdir dari Tuhan untuk keluargaku ini.

"Aku Lara, Bu! Aku anak ibu dan ayah satu-satunya, aku juga anak kebanggaan ayah dan ibu! Ibu ingat tidak?"aku mencoba menyadarkan ingatan itu kembali.

"Lara katamu? Lara siapa ya?"

"Lara anak ibu satu-satunya!"

"Aku tak mengenal mu! Keluar cepat dari hadapanku! Atau aku akan teriak kencang sebentar lagi!" aku langsung buru-buru keluar dari kamar ibu, dan menutup pintunya rapat-rapat.

Lemas rasanya mendengar kenyataan ini, aku ter tunduk lesu di depan televisi di ruang tamu. Tak sepatah kata pun dapat ku ucap lagi. Semuanya menjadi kosong dan penuh misteri, keadaan ini membuatku semakin terpuruk, sehingga aku tak sempat menerka-nerka masa depanku. Atau bahkan memikirkan kelulusan ku yang sebentar lagi.

Apa yang ada di dalam pandanganku semuanya bentuk ke sinisan. Acara wisuda nanti, bahkan kesempatan yang tak bakal dapat kumengerti lagi. Semuanya menjadi kosong, dan begitu pula malam ini yang mencoba melukis kenangan jauh lebih indah. Aku merebahkan tubuhku di sofa ruang tamu. Menghadap jendela yang menembus halaman-halaman rumah di depan. Ku pegang keningku, berharap kecupan Pita datang menjengukku malam ini.

"Aku dan kamu adalah cinta yang sesungguhnya," kata-kata itu tiba-tiba datang seketika. Ucapan Pita ketika ia kucium di samping rumah ini.

"Apa kau masih ingat akan ucapanmu sendiri Pit? Kau bukanlah sosok pengkhianat seperti itu! Kau adalah orang baik-baik dan aku selalu percaya dengan dirimu!"

Bagaimana bisa ku lupakan kenangan itu. Lembaran hangat dan kisah menantang seperti ombak dalam lipatan air laut. Semua itu tergambar jelas setiap malam di kepalaku. Sosok Pita dengan kepolosannya dengan kecantikannya dan juga dengan harum tubuhnya yang memabukkan. Semua tak bakal dapat ku lupakan, bahkan ketika ia berkata kasar kepadaku di taman itu.

Semua tak membuatku marah, aku hanya merasa kecewa dan bersedih dengan sikap Pita kepadaku. Semua memang karena Angga, ia masuk dan mengacaukan semuanya dengan seketika. Malam ini aku kelelahan, besok pagi adalah hari yang seharusnya membuatku bahagia. Kelulusanku dari sekolah, tapi melihat Ibu seperti itu, membuatku sangsi. Aku seperti tak mempunyai apa-apa lagi.

Seperti kabar jika Pita sudah pindah rumah. Semuanya memuncak begitu saja, menjadikan keikhlasan sebagai simponi kehidupan yang mati. Aku tutup ke dua mataku, menahan kantuk yang sebenarnya tak bisa kutahan lagi. Samar-samar suara ibu terdengar, ia seperti menangis kecil. Aku sudah terbiasa dengan ini semua, aku tak peduli dan seketika mata ini terpejam dan terlelap ke dalam ilusi yang melelahkan.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang