Mengikhlaskan seseorang yang kita cintai, adalah seperti cara kesatria di dalam menyelesaikan sebuah permasalahan
Indra duduk di dekat kursi tua yang sering ayahku gunakan. Ia memandanginya dan sesekali melihat ini seperti waktu yang kelam di masa itu.Aku tahu kebaikan Indra ia perbuat hanya untukku. Seorang kawan yang selalu ada disaat lainnya hilang entah kemana. Dan ia pun tahu, jika memang ada yang janggal atas kematian ayahku.
Seseorang memotret pertemuan ayahku dan ayahnya Pita. Di tempat yang tak jauh dari ditemukannya ayahku.
Semua seakan menjadi begitu jelas. Menjadi ucapan dan fakta yang tak bakal bisa dibantah oleh siapapun itu. Dan Indra paham jika hal ini bisa saja membuat hatiku terasa sedih lagi.
"Kau yakin?"
"Yakin apa?"
"Yakin untuk menelusuri ini semua?"
"Aku hanya ingin tahu siapa yang memotret pertemuan ayahku itu, apa aku salah?"
"Tak ada yang salah, tapi apa yakin kau bakal kuat menerima kenyataan yang bakal terjadi?"
"Semacam fakta kah? Atau semacam analogi-analogi baru?"
"Bisa berbentuk fakta yang bakal membuatmu menderita!"
"Lebih menderita jika aku tak tahu siapa pembunuh ayahku sebenarnya," aku sedikit mengancam Indra, seakan diriku sedikit sadar jika ia sudah tau yang aku maksud.
"Kau tak berpikir jika aku yang memotretnya bukan?"
"Aku sudah yakin denganmu, dan jangan kecewakan keyakinan ku ini!"
"Tak bakal ku kecewakan semua yang telah kau percayakan padaku," ia laku berdiri, dan memberiku sesuatu yang tak masuk akal lagi.
"Apa ini?"
"Sebuah kenangan yang Pita titipkan untukmu!"
"Pita? Kapan ia memberikan ini padamu?" aku putar benda kecil ini yang lebih mirip liontin.
"Sudah lama, tapi aku baru ingat akhir-akhir ini," ia lalu membalikkan badannya, dan ijin untuk pulang.
"Nanti malam aku bakal kesini lagi, biarkan otak kita sama-sama istirahat!"
"Aku tunggu kau kawanku," ia menutupnya dan membiarkan diriku kesepian lagi.
Memandang liontin indah ini, seperti sedang memandang keindahan matanya. Lekuk dan manis parasnya membuatku teringat seketika.
Oleh ciumannya yang manis, oleh pelukannya dan oleh kegilaannya kepada cinta.
"Lebih mirip racun kalau begini jadinya!" aku agak kesal, dan menaruh liontin itu di sekitar meja di depanku. Ia anggap jika apa yang dirasakan ini adalah sepasang bayangan yang harus diputar lagi dengan bayang-bayang.
"Semua bakal terbelah dan terungkap, pelan-pelan aku bakal mengetahui rahasia ini semuanya! Entah kematian ayah dan entah kepergian Pita yang masih membuatku kesal sampai sekarang ini!" aku bergumam di dalam hati, seakan hatiku menderita dan melayang-layang bagaikan burung tanpa sayapnya.
"Merebahkan tubuh sesaat adalah jalan menuju pikiran yang jauh lebih menyegarkan!"
*
Hari-hari sudah berakhir tanpa ada ujungnya. Indra masih saja mencari tahu siapa di balik ini semua. Orang yang memotret ayah, dan siapa yang membunuh ayahku.
Niatku untuk mengetahui itu semakin hari semakin berkurang. Apalagi mandad dari ayah yang tak usah mengurusi ini semua. Di dalam surat itu, ayah sudah berpesan.
Jadi aku sedikit sangsi, dan seperti ingin membiarkan ini menjadi misteri. Tapi Indra tak begitu, ia masih saja berusaha dan memberiku kode-kode yang semakin hari semakin tak jelas ujungnya.
"aku rasa cukup Dra!"
"Cukup untuk apa?"
"Dengan apa yang kau lakukan ini, aku sudah tak peduli lagi siapa pembunuh dan siapa yang memotret kejadian itu!"
"Kau yakin? Bukan kah kebenaran harus dicari dan ditegakkan kawan?"
"Tidak semuanya, tidak semua kebenaran harus ditunjukkan!"
"Tapi setidaknya kita tahu sedikit hal dari ini semua," Indra masih memaksaku, dan jujur aku risih mendengar batahannya.
"Yang meninggal itu adalah ayahku! Dan hanya aku yang berhak mengatakan iya atau tidak! Bukan kau, bukan siapapun yang ingin mengetahuinya! Apa yang kau temukan? Apa ada bukti atau petunjuk yang jelas akan kasus ayahku ini? Aku tak mau memperbesar, sebab ini semua semakin membuatku sakit!"
"Aku paham kawanku," indra lalu membereskan barangnya, memasukkan lagi bukti-bukti yang ia cari selama ini.
"Kau tak punya hak atas semua ini, dia adalah ayahku! Semuanya sudah berlalu, aku rasa cukup! Biarkan siapapun yang telah membunuh ayah, ia akan hidup dalam kesengsaraan dan ketakutan yang abadi! Aku jamin itu semua," Indra ketakutan setelah melihat kedua mataku yang memerah.
"Aku tak peduli niat baikmu saat ini, yang ku butuhkan adalah ketenangan! Lebih baik kau buang semua bukti itu! Kita berdua juga tak bakal bisa masuk! Karena aku yakin ini semua juga membawa orang orang penting di dalamnya," Indra lalu memahami satu hal yang membuatnya mengerti.
"Niat baik tak bakal selalu menjadi baik bukan? Kau benar kawanku, itu adalah keputusanmu, dan mungkin ada cara lain yang bakal membuatmu lebih tenang?" ia sambil menyulutkan rokoknya, yang membuat atapatap rumah berkabut.
"Banyak hal, dan tentunya itu caraku sendiri! Bukan siapapun dan tak ada yang bisa ikut campur dengan apa yang ku inginkan ke depannya," ia menawarkan rokok kepadaku.
"Mari kita nikmati kepedihan ini kawan, dan sepertinya aku juga bakal pamit untuk segera kuliah di luar kota. Aku juga punya cita-cita yang ingin ku gapai! Semoga semua akan menjadi baik baik saja kawanku!" ia lalu menyalamiku, seperti sebuah perpisahan dari dua sahabat yang saling mengerti.
"Semoga kau beruntung kawanku!" aku tersenyum dan menghisap rokok ini begitu dalam, seperti kepedihan yang menusuk lain, bagaikan bayang-bayang hitam dalam kehampaan yang abadi.
Indra hanya diam dan tersenyum, sambil kita berdua menatap langit senja yang mulai kemerahan.
"Langit yang indah ya?"
"seperti sebuah kematian, seperti sebuah kesunyian yang abadi!"
"Kesunyian yang bakal tak bisa mengulang kenangan, sebab kita hidup untuk maju melangkah! Bukan untuk tetap kalah kepada apapun yang membuat kita kalah! Kau juga seharusnya punya harapan itu! Kau pasti mempunyainya dan aku ingin kau membuktikan ini semuanya!"
Ia lalu menepuk pundak ku, dan kita berdua saling tertawa, melepas kehampaan yang bakal sering tak terjadi lagi.
Dan aku tahu, aku bakal hidup lebih kesepian. Sunyi dan mati seperti jalan hidupku dengan masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENANGAN (TAMAT)
Roman d'amourAku tahu mencintaimu itu adalah takdir, meski sangat menyakitkan Lara menulis sebuah catatan kisahnya dengan seorang gadis bernama Pita Gora. Gadis dan cinta pertamanya yang membuatnya punya gairah hidup dan membuatnya hancur lebur. #melodylan (ran...