PROLOG 🥃

1.6K 259 35
                                    

"Mengapa kita selalu memikirkan cinta? Jika di sekitar kita keadilan sudah tak ada"

Seperti hari-hari sebelumnya, malam ini terasa sangat sunyi sekali. Ayah dan Ibu sudah tertidur pulas di dalam kamarnya, pasti mereka sedang membayangkan jika gejolak cintanya kembali datang membara. Oh, sungguh aku sudah tak menemukan gairah dalam hidup ini. Ya, pagi sekolah siang pulang, lalu tidur sore dan sore sampai malam aku lewati dengan membantu ibu berjualan di tokonya.

Aku bukanlah anak dari keluarga mampu, ayahku hanya buruh kantoran yang gajinya pas-pasan. Setiap gajian, uangnya tak bakal lebih dari dua minggu. Habis dan lenyap begitu saja. Sedangkan ibuku adalah seorang yang sangat semangat, tapi terkadang ibu lupa jika semangat saja tak cukup. Manusia harus bisa berpikir sehingga tak melulu dimanfaatkan orang lain. Dan memang, ibuku sangat sering dimanfaatkan oleh tetanggaku, yang sudah aku anggap manusia-manusia tak penting.

Sedangkan aku adalah anak tunggal yang masih duduk di bangku sekolah yang juga tak terkenal, yaitu SMK Nerjuna, sekolah yang amat tertinggal dari fasilitas dan dari segi kompetensi anak-anaknya, sehingga aku tak terlalu berharap dengan masa depanku. Masa depanku biar menjadi takdir Tuhan saja. Ya, begitulah aku, sosok lelaki yang terlalu pesimis dengan dirinya dan keadaannya sendiri.

Malam ini aku sempat berpikir untuk lepas dari dalam lingkungan ku sendiri. Aku merasakan kebosanan hidup yang sangat luar biasa, kebencian muncul hampir setiap hari. Melihat anak-anak yang mampu materi berjalan di hadapanku, aku seperti ingin memukulnya dan mengatakan kepadanya jika hidup itu keras dan tak seenak hidupnya itu.

Tapi buat apa? Toh aku hanyalah lelaki biasa yang hidup dari keluarga yang juga biasa. Malam ini udara malam tiba-tiba memaksaku menarik selimut kumal pemberian ibu sewaktu aku kecil. Di depanku jendela kamar tiba-tiba bergetar, seakan mengiyakan dengan apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.

"Lara? Se-lara namamu ternyata!" aku tersenyum sinis, mendengar gumam hatiku yang menyayat ini. Tak pernah aku pikirkan di umurku yang masih tujuh belas tahun, aku sudah meniadakan harapanku sendiri. Ya harapan tak butuh mimpi lagi. Dan keadaan keluargaku adalah jawaban mengapa aku harus pesimis dengan segala ini. Entahlah, mungkin besok mimpiku kembali datang lagi.

Tiba-tiba suara burung hantu terdengar kecil di sekitar telingaku. Burung itu memberiku kabar jika malam sudah sangat larut sekali. Sunyi, harapan dan mungkin kepastian harus aku tetapkan malam ini.

"Baiklah, aku harus meniadakan harapan dan mematikan cita-cita sejak malam ini!" entah apa yang aku pikirkan. Setelah itu mataku mengantuk, tubuh ini hilang seketika ditelan dinginnya malam. Begitulah kira-kira, aku Lara Sapteru seorang lelaki remaja yang telah meniadakan harapan dan mimpinya malam ini. Enyah!

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang