Part 31

72 39 5
                                    

Saat kau membenciku, disaat itu pula aku semakin yakin, jika kau juga mencintaiku


Hari-hari telah berlalu begitu cepatnya. Di depan mata sudah terlukis hidup yang begitu menakutkan bagiku sendiri. Tak sama dengan teman yang lain, aku menganggap gerbang kelulusan ini seperti neraka saja.

Tak ada kebahagiaan, sebab yang terlihat dari seluruh raga hanyalah tawa sandiwara dan ketentuan hati yang itu saja.

Aku menerawangnya, sambil berharap jika takdirku tak seburuk seperti yang aku pikirkan saat ini. Di depan kelas ini, dapat kulihat teman-temanku bahagia, kita semua tinggal menunggu hasil pengumuman. Dan setelah tu menentuka nasib sendiri masing masing.

"Kenapa melamun saja?" tanya Bayu yang tiba-tiba mengajakku untuk ngumpul dengan teman-teman yang lain.

"Aku berbeda dengan kalian, kau pasti tahu maksudku bukan?"

"Semuanya sama kawanku, antara kau dan kita semuanya sama! Yang membedakan hanya perasaanmu saja kawan! Jangan menganggap semua ini menyedihkan, sesekali kau harus tertawa dan masa bodoh dengan hidupmu!" ia lalu menepuk pundak ku keras sekali. Aku tak suka perlakuannya barusan.

"Sudahlah, jangan ganggu aku! Nikmati hidup kalian, kebahagiaan kalian juga rasa masa bodoh kalian itu!" aku menatap Bayu tajam, seolah berkata ingin menghajarnya saat ini juga.

"Kau ini selalu serius menganggap masalah! Baiklah, nikmati saja ke haluanmu kawanku! Jika kau butuh hiburan kemari saja! Kita sudah pasti akan lulus sekolah!" ia lalu meloncat-loncat melewati bangku dan kursi yang penuh kenangan ini.

Sedangkan aku masih saja melamun di pojok ruang kelas, sambil kedua mata menahan kantuk yang teramat dalam.

"Membosankan!" gerutuku di dalam hati, sambil melipat-lipat kertas dan membuangnya keluar jendela sekolah.

Kenikmatan apa yang ada? Aku merasakan gagal dengan hidupku, dengan kisah cinta pertamaku juga. Beberapa hari Pita tak terlihat di sekolah.

Bahkan aku mendengar jika Pita sudah mendadak pindah rumah entah kemana. Angga juga tak terlihat batang hidungnya. Hal ini membuatku halu, dan semakin tak semangat mewarnai hidup ini sendiri.

Seperti apa cerita yang dialami Pita? Ia sendiri seperti rahasia yang tak pernah dapat kupahami sampai saat ini. Yang jelas, ciuman di malam itu serta botol mineral itu masih saja ku simpan di dalam otak bodohku ini.

"Pita sudah pindah rumah!" seseorang membuatku kaget saja. Ternyata dia, seseorang yang ku percaya untuk selalu menyelidiki Pita dan Angga.

"Apa? Pindah katamu!" aku tak bisa menahan gelisah hati ini.

"Kau jangan bohong! Kalau ia pindah, seharusnya ia meberi kabar kepadaku! Setidaknya ia ijin untuk pergi, bukan tanpa kabar sama sekali seperti ini!"

"Kau jangan bohong! Aku sudah percaya denganmu! Tapi kenapa kau memberiku kabar menjengkelkan seperti ini!"

"Kenapa pula Pita tiba-tiba pindah dan meninggalkan ku? Kenapa pula ia tak ada kabar? Dan seperti membuat diriku culun dan bodoh seperti ini? Kenapa dia tak mau peduli denganku lagi? Apa aku berbuat salah besar dengannya? Coba jelaskan!" aku begitu marah besar, sampai teman-temanku sekelas melirik kepadaku, melihat wajahku memerah dan kedua mata yang hampir menjatuhkan air mata.

"Aku tak tahu kawanku, tapi ini kenyataan, Pita sudah pindah dari rumahnya! Aku juga tak ingin menyakiti perasaanmu itu! Tapi sekali lagi ini berita yang aku dapatkan! Dan guru-guru juga sudah mendengar kepindahan Pita. Sebab ayah Pita 3 hari yang lalu ke sekolah untuk meminta pamit kepada kepada sekolah!"

"Maafkan aku kawan? Seandainya bisa dan tega! Maka aku tak bakal memberitahu mu akan hal ini! Terima saja fakta dan kepedihan ini! Kau boleh menilaiku seperti apa pun. Kau boleh menganggapku berbohong juga! Tapi untuk apa aku melakukan itu kawanku?"

Aku tak mendengar alasan apapun saat ini. Seketika aku bangun berjalan menuju keluar kelas, sambil memegang jidadku yang terasa berat sekali. Teman-temanku tampak melihatku! Mereka menganggap ku seperti orang gila mungkin.

Aku tak peduli, mungkin faktanya adalah diriku sudah setengah gila saat ini. Kabar yang tak bisa kupahami dari sudut manapun, kepergian Pita juga Angga yang tiba-tiba saja menghilang.

Kenapa Tuhan memberiku ujian seperti ini? Belum masalah Ibu yang semakin tak menentu saja. Tiap malam ia menangis, tertawa bahkan teriak teriak tak jelas.

Tetangga sering terganggu dan ketakutan melihat sosok ibu sekarang ini. Aku berjalan tanpa arah, melewati ruang kelas Pita dan menatap ruang kelas itu, dengan berharap Pita ada di antara teman-teman nya.

Ternyata ia tak ada, yang ada hanya segerombol guru dan orang orang tak jelas yang masih saja percaya ilmu manusia.

Aku duduk sendiri, di samping kantin. Masa masa sekolah yang sudah tak ada artinya lagi. Mungkin seperti ini rasanya kesepian itu. Kenyataan yang tak bakal bisa ku terima lagi akalnya.

Setiap jengkal masa lalu adalah air mata penantian. Cinta pertamaku ternyata hanya seperti ini. Membekas penuh luka, seperti darah yang mengalir tanpa tahu arah tujuannya.

"Kenapa kau tega meninggalkanku seperti ini? Kenapa Pit?" hanya itu yang keluar dari ucapanku. Lainnya hanyalah bagian-bagian miris setengah hidupku ini.

Ayah selalu berkata jika air mata laki-laki itu lebih tulus daripada air mata perempuan. Sebab, laki-laki tak ingin air matanya jatuh dan membuat sakit orang sekitar.

Ayah mungkin benar, dan saat ini ku rasakan air mata itu perlahan jatuh, serta membiarkan tubuhku sendiri menghadapi semua ini.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang