Part 22

141 77 0
                                    

seperti waktu
cinta juga punya masa
untuk menjadi palsu

Apa kita selalu percaya dengan harapan? Dulu kau selalu menceritakan harapan-harapan baru kepadaku. Harapan yang seharusnya aku tulis dan aku tuangkan di dalam kenangan masa lalu. Aku tak tertarik dengan urusan cinta. Cintaku sudah mati oleh diriku sendiri yang bodoh ini. Maafkan aku Lara, jika cintaku yang ku tanam untukmu tak bisa kujaga dengan baik.

Sebaik-baiknya cintaku, maka adalah dendam untukmu. Aku yakin kau tersiksa dengan keadaan dan dengan pikiranmu sendiri. Dan justru aku tak ada di sampingmu, menemanimu sembari bermain dan bernyanyi bahagia. Aku justru pergi meninggalkan kisah ini untuk kebaikanku sendiri. Ya, tentunya untuk kebaikan diriku dan keluargaku ini.

Banyak hal yang ingin kusampaikan kepadamu, tapi waktu dan takdir dan memihak pada kita. Aku harus pergi tanpa sepengetahuanmu, hanya teman baikmu yang tahu dan paham apa yang telah aku pilih ini. Penderitaan yang seharusnya kita lalui ini, adalah masalah dari kebodohanku. Kita seharusnya bisa bermain di masa-masa sekolah yang penuh canda tawa. Bersepeda bersama, menikmati pemandangan dan tentunya membaca buku, di sampingmu adalah kebahagiaan itu.

Semua telah sirna sayangku. Sirna oleh kebodohanku sendiri, ku titipkan rahasia ini kepadanya. Ia akan menyampaikan semuanya untukmu. Bukan dari mulutku, aku tak sanggup mengatakan ini di hadapanmu sayang. Aku tak sanggup melihat kau menangis dan aku berbohong untuk membencimu.

Harapan itu sirna, seperti hujan sore ini. Di mana di halaman rumahku sudah tak terawat lagi. Pot-pot bunga sudah layu, mawar ungu dan merah tak seindah cinta ini lagi. Semuanya gugur dan hanyut mengikuti arus hujan yang lebat ini.

Kau tak perlu percaya semuanya. Aku tak butuh kepercayaanmu, sebab hatimu mungkin sudah mati semuanya. Kepahitan yang kelak akan menjerumuskan dirimu ke jurang keburukan. Aku tak ingin itu terjadi sayang. Sungguh ijinkan diriku memanggil sayang kepadamu, meski hanya lewat jarak jauh dan khayalan saja.

"Hujannya tak berhenti, Bu!" aku berbicara dengan ibu, sambil melihatnya melamun di dekat ruang tamu, sambil melihat tubuhku yang sudah tak terawat.

"Seandainya waktu bisa diulang kembali," aku tahu kekecewaan itu masih terpancar jelas di wajahnya.

"Maafkan aku Bu, aku akan berusaha membalas kesalahanku ini! Dan mungkin bisa menjadikan masa depanku kembali normal lagi!"

"Kesalahan tak bakal bisa kembalikan lagi sayang, kesalahan hanya bisa ditata dan dirapikan lagi! Tapi pasti akan ada bekas menyakitkan di sekitar kenangan dan kesalahan itu!" ibu berdiri sambil mengelus rambutku yang panjang bergelombang.

"Ayahmu akan mengurus cowok bajingan itu, ayahmu tak pernah segan untuk menghajar dan bahkan untuk melenyapkan nyawa seseorang!"

"Nyawa seseorang? Maskud ibu apa?" aku terheran dan melotot sambil memegangi pundakku yang terasa sakit.

"Ayahmu adalah seseorang yang tak pernah segan mengambil keputusan! Ketika ada ancaman dan ada yang menyakiti keluarganya, maka habislah orang itu!"

"Semacam pembunuh?" ibu menggeleng sambil menepuk pundakku.

"Pembunuh itu jahat anakku, sedangkan ayahku melakukan ini demi kebaikan keluarga kita! Jadi ayahmu bukan pembunuh!"

"Tapi kan menghilangkan nyawa orang bu?" aku masih tak percaya dan memundurkan bahuku tepat di samping album foto keluarga.

"Sekarang kau urus saja masa depanmu Pita, kau sudah membuat keluarga ini hancur dan malu! Jadi jangan sanggah ayah dan ibu! Ayah dan ibu punya cara untuk menyelesaikan masalah ini!" setelah itu, ibu pergi ke dalam kamarnya, dengan sesekali melotot di hadapan mataku. Aku menunduk takut karena mendengar kenyataan ini.

Sambil berlari ke dalam kamar, ku tarik selimut yang tebal ini. Ku tutup tubuhku di dalamnya. Ada ketakutan dengan apa yang akan terjadi. Bagaimana jika Angga terbunuh? Ancaman ibu benar-benar nyata kelihatannya. Sebuah peringatan yang seharusnya tak pernah ku dengarkan.

"Aku harus menghubungi angga! Bagaimana pun aku tak ingin masalah ini bertambah besar dan mengerikan seperti ini!" dengan gemetar ku mencoba menghubungi angga, tak ada balasan darinya. Semuanya hanya berdering saja. Sesuatu yang semakin membuatku gelisah.

Dari luar hujan semakin lebat. Angin kencang sampai membuat ranting pohon di depan rumah jatuh menimpa pagar rumahku. Keadaan yang semakin membuatku gelisah saja. Ayah pun dari pagi tak terlihat batang hidungnya. Ayah hanya bilang ada urusan kecil yang harus diselesaikan, sebelum kita semua pindah.

"Urusan apa?" aku gemetar, ku lihat handphoneku lagi, tak ada pesan dan telepon masuk dari angga. Semua tubuhku berkeringat, satu jam lagi ayah pulang dan kita semua akan meninggalkan kota ini.

Saat kuarahkan perhatian kepada angga, aku teringat akan ayah Lara yang ditemukan terbunuh di arus ungai di daerahnya. Kematian yang misterius dan hanya dianggap kematian biasa saja. Ayah lara bekerja di perusahaan ayahku, meski sebagai pekerja kasar. Tapi ayah lara sering dikatakan sebaai orang yang jujur dan kritis menurut ayah.

"Jangan-jangan?" aku tak ingin memikirkan hal yang tidak-tidak. Ku tarik selimut lebih dalam. Sambil ketakutan mendengar kilatan petir yang membuat ibu juga berteriak di dalam kamarnya. Keadaan ini mirip keadaan yang mistis. Aku lihat lagi handphoneku dan ternhata ada pesan dari angga.

"Kau ingin balikan lagi denganku bukan sayangku?" sejenak aku jijik membaca pesannya, dan aku berpikir apa aku harus mengatakan ini kepadanya. Tiba-tiba ia menelponku, seketika tanpa pikir panjang ku angkat telponnya.

"Kau rindu aku kan sayangku yang manis?" ia tertawa sinis dan genit.

"Gak! Aku hanya ada urusan penting untukmu! Urusan ini sangat penting!"

"Hari ini hujan sayangku, apa kau mau basa-basahan denganku? Kalau mau silahkan datang ke rumah! Mumpung orang rumah tak ada semuanya! Kita bisa berdua lagi seperti sore itu dan aku dapat membuatmu puas bukan?" ia lalu tertawa keras, mengingat kejadian itu membuat emosiku dan ketakutanku memuncak. Tanpa pikir panjang aku tutup telponnya, sambil sedikit mengancamnya.

"Kau akan mendapat balasan yang setimpal!" untuk apa aku khawatir dan kasihan kepadanya? Ia telah merenggut semuanya. Anehnya ia mau mengangkat telponku hari ini, ia sudah beberapa hari menghilang. Mungkin ia sedang kesepian dan sedang ingin bercinta gerutuku di dalam hati.

Aku lihat handphoneku, yang tergeletak pasrah. Ku pungut dengan pelan, sambil rebahan menenangkan pikiran. Ku buka galeri yang sudah lama tak pernah ku lihat lagi. Betapa kagetnya aku, banyak foto Lara yang manis dengan senyumnya.

Aku pun ikut tersenyum, mengelus foto-foto itu seolah ia ada di dekatku saat ini. "Maafkan aku ya? Sudah membuatmu sakit hati, sudah menyia-nyiakan cintamu yang begitu besar itu! Aku tak sanggup berlama-lama melihat fotomu ini, biarkan aku hapus semuanya! Cintaku tetap sama untukmu! Tapi demi kebaikan hidup ini, aku akan pergi! Dan cinta kita, kita sudahi sampai di sini saja!"

Aku hapus foto-fotonya, sambil menangis menahan sakit hati ini. Semuanya terkenang seketika, masa-masa awal kenal dengannya dan betapa polosnya cowok yang satu ini. Lara, sungguh aku menyesal telah menyia-nyiakan cintamu.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang