Part 6

354 172 23
                                    

Gadis itu adalah kamu
Cinta pertama yang membuat
Hidupku lebih penuh warna
Juga penuh duka yang
Merana

Sejak kematian ayah diriku lebih sering menutup diri dari lingkungan rumah dan bahkan lingkungan sekolah. Aku menganggap jika ke depannya hidupku ini hancur dan kacau, tak ada harapan lagi yang bisa ku ukir dan ku resapi di dalam hati ini.

Ayah bagiku sosok yang berani dan penuh perhitungan, sejak ayah meninggal, aku lah satu-satunya orang yang akan menjaga ibu. Dan hanya ibu lah orang yang patut aku jaga untuk saat ini, sebab hari-harinya ia lalui dengan duka dan wajah yang murung.

Pagi tak lagi sama untukku. Sejak ciuman malam itu, mungkin Pita adalah alasan satu-satunya kenapa aku harus bertahan di kehidupan ini. Wajah teman-teman kelas sudah tak menarik. Aku sudah tak bisa mengingat siapa kejujuran di antara mereka semua.

Hanya kepalsuan dan kebaikan yang sementara. Bukannya aku sinis, tapi tak ada satu pun dari mereka menjenguk ketika ayah ku meninggal dunia.

Dalam hati ini, ku pikir sudahlah, tak ada kebaikan jika memikirkan hal seperti itu. Bagiku saat ini, tujuan jelas. Aku sudah tak peduli mereka dan mereka sudah tak ada hubungan dengan diriku ini.

Suasana kelas masih ramai. Jam istrahat yang begitu membosankan. Teman-temanku tak ada yang menyapa sedikit pun. Aku tak peduli, pasangan mataku hanya tertuju pada masa depan yang suram dan buram ini.

Dalam keadaan yang melamun. Aku sepintas melihat pita mondar-mandir di depan kelasku. Dengan segera ku hampiri gadis manis ini. Semangatku kembali lagi.

"Hahahaha... Kamu tak bakal bisa mendapatkan Pita, dia itu gadis yang cuek dan sulit didekati!" Sahut salahsatu temanku yang berdiri di samping pintu kelas.

Aku tak mempedulikan kata-kata itu, ku cari sosok gadis pujaan hatiku ini.

"Hei?" Sahutku pelan.

"Aku ganggu kamu tidak?" Wajahnya malu, sorot matanya tak fokus, lesung pipinya juga membuat gadis ini begitu polos dan manis.

"Sepertinya aku malah membutuhkan kamu Pit!" Seketika aku tersenyum. Agar senyum ini bisa membuatnya sedikit tak canggung.

"Jam istirahat masih lama kan?" Ia pegang telapak tangannya. Dengan kaki yang menjepit seperti anak kecil saja.

"Masih tiga belas menit lagi kok, kenapa?" Aku mendekat kan wajahku tepat di hadapan ke dua matanya. Ia mundur selangkah, seakan malu dengan apa yang ku perbuat ini.

"Eh banyak anak-anak loh?" Mendengar itu betapa ingin tertawanya diriku. Gadis ini benar-benar menjadi penghibur disaat hatiku terluka.

"Terus kenapa?" Aku bertanya sambil mencubit pipinya yang berlesung itu.

Tanpa basa-basi ia tiba-tiba menarik tanganku menuju depan taman sekolah. Di depan memang sekolahku banyak pepohonan yang rindang, sehingga tempat ini memang cocok buat dua kekasih yang sedang dimabuk cinta.

Untaian rambutnya begitu harum. Membuat jantungku sesaat terhenti akan kekaguman ini. Dengan kuncir kuda, ia tampak kan lekuk tengkuknya yang jenjang dan putih itu. Benar-benar sempurna gadis ini, sahut ku di dalam hati.

"Di sini sepertinya nyaman kan!" Ia angkat satu alisnya dan memandangku penuh bahagia.

"Yup pilihan yang tepat sekali! Tempat duduk ini harus menjadi milik kita berdua! Jadi anak-anak lain harus izin dulu kalau ingin duduk di tempat ini!" Mendengar itu ia tertawa kecil.

"Kamu ini lucu loh?"

"Aku lucu katamu? Tema-teman bahkan menyebutku lelaki menyebalkan!" Aku pegang ujung rambutku yang sedikit berantakan.

"Justru menurutku sikapmu yang menyebalkan ini yang membuatmu lucu, ngerti tidak?" Ia seolah mengajariku cara menghitung yang baik dan benar.

"Kamu ini aneh! Tiba-tiba saja mengajakku kenalan, tiba-tiba juga bilang kalau aku lucu! Tapi jujur berkat kehadiranmu hidupku lebih berwarna Pit. Untung ada dirimu ini, setidaknya aku melupakan kalau ayah ku sudah tiada," lalu wajahku memandang dedaunan yang jatuh dari rantingnya.

"Aku bahkan lebih menyebalkan dari dirimu sebenarnya, bahkan lebih kesepian dari dirimu mungkin!" Mendengar itu, mataku terdiam sebentar, menatap jauh awan di atas sana.

"Aku tahu kesepian di hatimu itu, justru karena aku tahu, maka hatiku ingin mengenalmu, ingin juga menjaga hati yang selalu merasa kesepian itu!"

"Hatiku maksudmu?"

"Hati yang selalu merasa jika hidupnya tak beruntung, hati yang selalu menganggap jika masa depan adalah basa-basi saja dan hati yang selalu merasa jika kesunyian adalah jawaban akan masalahnya."

"Apa aku benar?" Ia menatap ke dua mata ini.

"Mungkin benar, mungkin salah!"

"Jadi?"

"Beban hidupku mungkin yang tak bakal pernah kau rasakan, dan hal ini yang membedakan antara aku dan dirimu!"

"Beban hidup?" Sorot matanya seolah tak paham dengan apa yang sedang ku katakan padanya.

"Beban hidup yang tak bakal bisa ku pikirkan, beban di mana aku harus bisa membuat ibuku bahagia, beban hidup yang membuat ku tak bisa sebebas teman-teman yang lainnya."

"Apa beban itu membuatmu merasa sedih, Ra?" Ia lalu menoleh ke hadapan mataku. Seakan ada jawaban yang ia sengaja cari.

"Entahlah," hanya itu yang keluar dari mulutku. Pita paham jika masalah ini yang membuat hidupku terasa tak berguna lagi. Apalagi sejak ayah meninggal kan ibu dan aku.

"Sepertinya banyak hal yang belum bisa ku pahami dari hidup ini ya?"

"Kenapa bisa seperti itu?"

"Beban hidupmu ke depan adalah jawaban akan arah hidupku juga, aku telah salah menilai hal yang selama ini ingin ku simpulkan dengan mudah!" Ia mengerutkan dahinya.

"Tentangku?"

"Semua yang berhubungan denganmu, tentunya!" Lalu ia berdiri, menengadahkan kepalanya ke atas awan yang sedang mendung itu.

"Apa kau benar tak ingin mencari penyebab kematian ayahmu?" Ia lalu menoleh, memperlihatkan sorot matanya yang sayu dengan rasa curiga.

"Ibu dan aku sudah tak ingin mempersulit arwah dari ayah, ibu percaya jika ini sudah jalan dan takdir yang harus kita lalui berdua, dan aku juga sudah ikhlas kehilangan ayah," aku berusaha tersenyum dan melihat jam tangan.

"Sudah hampir masuk Pit!"

Agak lama ia tak menjawab. Sembari mengepalkan tangannya, ia menoleh dan mendekatkan ke-dua matanya begitu dekat di hadapan wajahku. Harum tubuhnya membuatku tak begitu konsentrasi, gadis ini harus menjadi milikku. Harus.

"Masa depanmu tak bakal ada yang tahu, termasuk masa depanku juga. Jadi kita harus optimis! Apalagi kau sebentar lagi mau lulus sekolah kan? Kejarlah cita-citamu! Buatlah ayah dan ibumu bangga!" Lalu bel sekolah berbunyi, gemuruh suara kaki menuju kelas begitu cepat.

Aku dan pita juga buru-buru menuju kelas masing-masing. Sebelum kita berpisah, sempat ku bisik kan sebuah kata manis untuknya.

"Kau terlalu cantik hari ini, dan aku sudah jatuh hati padamu, jangan pergi dari hidupku! Aku membutuhkan sosok seperti mu." Ia lalu tertawa genit, berlari menuju kelasnya dengan kuncir kuda dan hempasan rambut yang bergelombang terburu-buru.

Begitu polos gadis ini. Dan kata-kata itu seakan-akan, terus teringat di dalam pikiranku. Apakah benar ini yang namanya cinta pertama? Aku bergumam dalam hati, dengan wajah yang penuh bahagia.

Setidaknya aku paham, untuk menjadi dewasa kita harus mengenal cinta dengan tergesa-gesa. Sebab cinta itulah yang mengajarkan kita rasa berkorban, ikhlas juga bersikap jujur kepada diri sendiri.

Aku memasuki kelas lagi. Dan semua kembali, wajahku kembali murung. Otak juga kembali tak berujung.

"Rutinitas yang membosankan!"

"Tak boleh berkata seperti itu Lara!" Sahut pita yang ternyata hanya lamunanku saja. Bagaimana keadaan ibu saat ini? Hatiku bergumam dan resah kembali datang dengan seketika.

"Ah hanya firasat saja!"

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang