Setiap pilihan selalu menanggung resiko yang besar dan setiap keputusan bakal selalu menyimpan dendam di baliknya
Seperti biasa malam sudah mulai menua. Seperti masa depan dan kebencianku kepada dunia ini. Indra tak bakal bisa menjual tulisanku hanya dengan sebuah harga dan materi. Sebab aku menulisnya untuk kejujuran bukan untuk materi yang akan mudah cepat sirna. Aku juga tak bakal bisa menerima ejekannya kepadaku pagi tadi. Bagaimana bisa ia dengan mudahnya membandingkan diriku dengan orang lain? Apakah ia layak membandingkan diriku dengan orang lain? Siapa ia sebetulnya jika begitu lancang seperti itu.
Aku malam ini tak ingin melebih-lebihkan kejadian tadi pagi. Ku tatap penuh tumpukan kertas itu, sambil meneguk segelas kopi pahit yang sengaja tak ku campur gula. Aku ingin yang pahit, sepahit jalan hidupku hari ini dan dimasa lalu. Semua sama, kecuali cinta ayah dan ibuku sepanjang masa.
Sudah tak ada lagi kepercayaan kepada Indra. Sikapnya jauh lebih angkuh ketimbang ia yang dulu. Ia yang dulu yang begitu polos dan dengan sukarela membantuku tanpa sebab apapun. Murni sebuah bantuan dari tangan yang begitu tulusnya. Tapi pagi tadi, ia mendorongku ke dalam jurang hitam yang sekejab membuatku berubah terhadapnya.
"Ini bukan soal kejujuran! Tapi soal bagaimana materi bisa kau miliki dengan cepat dan utuh kawanku!" dengan sorot mata tajam semacam penjahat berkulit kuda. Aku mengingatnya pun sedikit geram dan menjijikkan.
Sekali lagi, tulisan ini bukan soal materi. Aku menulisnya sampai air mata jatuh tak terhingga, menusuk beberapa tulang rusukku yang begitu hilang ke dalam hampa. Semua ku miliki kecuali tulisan ini yang membekas di hati. Oleh sebab itu, tak bakal mudah dan tak bakal mungkin aku menjualnya untuk sebatas materi.
Materi dapat dicari dengan mudah. Tapi kejujuran sebuah karya tak bakal muncul dengan tiba-tiba. Ini mahakaryaku yang seharusnya ia menghargaiku lebih dari sekedar teman saja. Seharusnya ia menganggapku seperti kunang-kunang dan kupu-kupu yang begitu indah tapi rapuh di dalamnya. Ia tak seharusnya begitu gampang berkata untuk mengubah sebagian isi dari karya tulisku ini. "Yang penting kau dapat royalti dan bisa menikmati hasil dari jerih payahmu sendiri!" ia begitu bangga, seakan diriku bakal menerima tawaran murahan itu.
Dengan itu aku rasa cukup sudah urusan ini. Ku letakkan lagi tumpukan tulisanku di samping meja belajarku yang sudah semakin rapuh. Beberapa tumpukan buku juga tersusun agak berantakan, dengan di sampingnya putung rokok berdebu berkeliaran menghadap ke wajahku.
Sudah saatnya aku rasa untuk menghilang dari dunia ini selamanya. Menjauh dari keruwetan hidup yang semakin membuatku pahit dan hampa. Urusan Indra biarkan ia angkuh dengan persoalannya sendiri. Tak semua orang haus ia anggap sama. Aku ya aku, bukan orang lain yang ingin sukses dengan karya yang biasa-biasa saja.
Mereka menjual karyanya dengan menurunkan kualitas di dalamnya. Merelakan karyanya menjadi bungkusan debu, yang memang menghasilkan tetapi tak punya nilai fenomenal di dalamnya. Aku selalu angkuh akan hal ini, sebab ini tulisanku dan biarkan aku yang menentukannya. Bukan Indra dan bahkan bukan penerbit yang sok merasa berkuasa akan semuanya.
Memang mereka yang berkuasa atas penerbitan itu. Tapi kuasa mereka masih di bawah kuasa penulis menurutku. Sehingga aku rasa langkah Indra sangat keliru dan salah jika ukurannya adalah materi dan kesuksesan. Jika ukurannya adalah manfaat dan keindahkan makan masih akan ku dengarkan omongannya. Tapi ini? Sudah terlanjur menghakimi dan menuntut hak kepadaku atas karya yang telah ku tulis juga.
Semua sudah menjadi mungkin. Dan malam ini ku letakkan lagi beberapa ingatan yang membuatku mabuk seperti orang gila. Seteguk bir yang ku beli beberapa hari lalu, membuat isi perutku sedikit panas dan kram. Aku sudah tak peduli dengan ukuran dunia ini. Tentang Pita dan Indra serta Angga yang menentukan jalannya sendiri adalah jalan pulang dari ingatan itu.
Semua seperti putus dan kembali kepada diri ini. Ketentuan hidup yang begitu kekal dan abadi, adalah jalan lain. Sepanjang ingatanku masih menetes seperti embun, sebatas kesehatanku masih ku miliki maka aku akan menjadi diriku sendiri. Indra mungkin lupa, jika kenikmatan hidup itu bukan tentang uang saja. Kesederhanaan dan cinta kasih adalah pilihan yang mungkin sudah mulai dianggap tak berguna.
"Kenapa kau berpikir jika aku akan memanfaatkanmu?"
"Alasan apa lagi selain kau mencari keuntungan di balik ini semua? Bukankah kau berjanji jika urusan ini adalah urusanku sendiri? Kau berhak apa terhadap pilihanku? Kau hanya sebatas teman yang memang terbaik bagiku! Tapi janganlah menuntut hak di balik keinginanku sendiri! Kau selalu bisa menunda waktu dan hari ini sudah ku tentukan jika urusan kita selesei sampai di sini!"
"Kau serius?"
"Aku adalah seorang yang tak pernah bermain-main dengan keseriusan! Ingat kata-kataku barusan!"
Setelah percakapan itu Indra justru mempersilahkan aku pergi. Ia sok jago dan sok paling penting ketika berada di posisi seperti itu. Dan memang soknya itu membuatku semakin muak dengan perubahannya.
Budaya kota sudah mengubah pikiran dan kebaikan hatinya. Ia tak bisa mengukur kecilnya kebaikan di dalam dirinya sendiri sekarang ini. Ia hanya bisa mengukur seberapa panjang dasi yang ia kenakan seperti badut itu. Senyum palsu dan kepentingan-kepentingan politik yang sungguh memuakkan.
Bahkan ia menilai diriku dari sebatas penampilan saja? Kurang ajar betul orang ini, dengan lancang berkata jika aku lebih mirip gembel ketimbang penulis. Ya aku bukanlah penulis, siapa bilang diriku penulis? Ia lupa jika beban menulis bakal membuat diri kita jatuh dari kebahagiaan.
Aku menulis ini juga jauh dari kebahagiaan itu. Ia juga lupa jika kebahagiaan juga menulang jauh dari pandang mataku. Sebatas itu kenikmatan yang ia rasakan saat ini. Sebatas menikmati kopi dan memandang gadis-gadis manis dan cantik dan menggodanya dengan godaan yang menjijikkan.
Sebatas itu kah kawanku sekarang? Ingin semua ku tumpahkan dengan kejujuran yang sesungguhnya. Ia sangat ingin menjual diriku kepada harga diriku sendiri. Kawanku? Mari bersulan dengan bir panas ini. Kau dan aku telah memilih jalan paling kurang ajar dari hidup ini.
Aku dengan kesedihanku dan kau dengan kebobrokanmu. Oh aku lupa jika di balik bajumu yang ketat itu kau selalu melukai hati perempuan yang baik hatinya. Jangan suka berbicara akan semua ini. Ini hanya sebatas ocehanku yang tengah mabuk kehidupan. Dada yang panas dan napas yang tersengal adalah pilihan lain dari seberapa pantas kenangan masuk ke dalam diri kita sendiri.
"Kau adalah sahabat terbaikku Lara," kata-kata yang kau ucapkan dua tahun yang lalu, sebelum kau menengok hidup dengan pilihan yang berbeda.
"Saat ini kau bukan sahabat terbaikku Indra!" kita impas dan aku tak bakal ingin kau manfaatkan lagi.
Ocehan ku malam ini kepadaMu adalah kejujuran yang tak bakal orang lain dengarkan. Semua sama, beberapa doa yang ku panjatkan tak pernah kau dengarkan lagi. Dan mari kita mabuk berpesta demi kekosongan ini dan demi kebaikan orang yang telah berubah dengan waktu. Indra kau sudah lupa jika kebahagiaan tak ada hubungannya dengan materi. Itu bulsyit!
KAMU SEDANG MEMBACA
KENANGAN (TAMAT)
RomanceAku tahu mencintaimu itu adalah takdir, meski sangat menyakitkan Lara menulis sebuah catatan kisahnya dengan seorang gadis bernama Pita Gora. Gadis dan cinta pertamanya yang membuatnya punya gairah hidup dan membuatnya hancur lebur. #melodylan (ran...