Part 12

209 99 13
                                    

Ketahuilah
Cinta itu adalah bukti
Bukan janji

Di sana, di tengah senja yang penuh duka. Ia letakkan bajunya di samping kursi tua di dalam kamarnya. Dengan menatap setengah jendela yang kelabu, ia juga sisir rambutnya yang bergelombang, mengisyaratkan jika dirinya adalah keindahan Tuhan yang utuh.

Tatapannya tak dapat lagi ia pahami, cowok bernama Angga yang telah merenggut kebahagiaan nya dimasa muda ini. Ia tak lagi bisa mengukur kejadian itu, lebih dalam sedalam rasa sakit dan menyesal.

Di luar kamarnya yang bercat biru muda, dengan lukisan-lukisan unik di abad 19, terasa hambar saat ini. Lukisan itu menaruh kesan, jika kesedihan adalah letak kesejatian.

Dengan mengelus dadanya, ia menghela napas panjang. Pertengkaran hebat terjadi antara ayah dan ibunya. Dan itu karena dirinya sendiri.

"Anak itu sudah keterlaluan!" bentak ayahnya kepada ibunya, yang hanya diam, seribu bahasa.

"Anakmu itu terlalu dimanja, jadinya kayak begitu! Kurang ajar, dan tak bisa diatur!" lalu gebrakan tangan ayah, terdengar menakutkan.

Ibunya sudah tak kuat menahan amarah itu, sehingga tamparan keras mendarat di pipi sang ayah. Prakkk!

"Meskipun seperti itu, Pita adalah anakku, darah dagingku yang tak seharusnya kau hina seperti barusan! Jangan sesekali menghinanya, dan memperburuk keadaan ini!" sang ayah terdengar pergi, dan Pita di dalam kamar hanya ketakutan, gemetar dingin mendengar keadaannya ini.

Sepertinya keadaan ini membuat Pita ada di keadaan yang tak baik. ayahnya sudah membencinya, kejadian yang tak bakal bisa diulang lagi, penyesalan yang teramat dalam yang ia rasakan saat ini.

Bagaimana dengan ibunya? Ia perlahan membuka pintu kamarnya, dengan menggunakan kaos lengan pendek, dan rambut yang bergelombang, ia melangkah menuruni anak tangga ke ruang bawah.

Sebelum, ia intip lagi keadaan di luar, di samping album foto keluarga dimana ada nenek dari Pita. Pita sebentar menatap foto itu, dan menangis pelan, merasakan jika apa yang ia lakukan salah, dan mencoreng nama keluarga.

Pita seketika duduk di tengah anak tangga, menutupi wajahnya yang menangis dan malu akan dirinya sendiri. Dari bawah, sang ibu mendengar tangisan itu, berjalan menuju anaknya yang sedang bersedih hati.

"Anakku tersayang? sudah jangan menangis lagi, kau tak seharusnya mengalami ini, tapi Tuhan sudah menunjukkan jalan untukmu, untuk kita semuanya," sang ibu mengelus kepala Pita, mengusapnya penuh kasih sayang.

"Bu, aku sudah melakukan dosa besar, dan tadi nenek seperti menangis di hadapanku, Bu," mendengar itu ibunya menarik tubuh Pita, membawanya ke dalam kamarnya lagi. Sambil mencopot foto nenek yang ada di tembok deretan anak tangga.

"Rebahkan tubuhmu, peluk foto nenek dengan kasih sayang, Tuhan mungkin menegor ibu dan ayahmu ini, karena tak pernah peduli keadaanmu juga perkembangan dirimu, Nak!" Pita terus mengis tersedu-sedu, napasnya naik turun, seperti akan kehilangan masa depannya lagi.

"Seharusnya ini menjadi pelajaran untukmu, pelajaran yang berharga! Masa depanmu mungkin juga akan penuh tanggung jawab setelah ini, Nak." pita hanya menangis, memeluk foto nenek yang sangat ia sayangi, nenek yang sejak dulu memanjakannya dan membuatnya merasa nyaman di dekatnya.

Kenangan itu langsung terngiang, sepintas saat ia berumur delapan tahun lebih. Saat itu sang nenek membelikannya boneka barby, dari hasil tabungan nenek sendiri. Betapa ia sangat bahagia, dan boneka itu masih tersimpan rapi di dalam lemari di sebelah meja belajar nya. "Hadiah ini untukmu cucuku yang cantik, jaga dan simpan dengan baik ya?" kata-kata itu sangat jelas, memantul di hadapan matanya sendiri.

"Nenek!" pita semakin menangis kencang, ia peluk erat foto neneknya penuh. Sesekali sang ibu, mengecup kening pita, san mengusap dadanya yang terasa sesak itu.

"Sudah ya nak?"

"Bu, biarkan pita sendiri dulu," pinta pita dengan lirih sekali.

"Baiklah, sudah jangan nangis lagi," ciuman hangat mendarat di kening pita yang masih menangis.

Ibunya telah keluar, ia masih menikmati kenangan mengingat sang nenek. Kenangan itu bahkan membuat dirinya lelah, capek dan terasa nyaman untuk sesaat. "Hanya nenek yang bisa paham perasaanku saat ini!" pita memandang foto neneknya, lalu mendekapnya lagi penuh rindu.

Dan ia tahu, kesalahan fatal itu tak akan bisa diubah lagi. Nasib Lara, cowok cinta pertamanya yang harus ia pikirkan saat ini. Bagaimana dengan angga? Angga tak bisa dihubungi, ia menghilang beberapa hari tanpa kabar.

Pita takut jika angga tak ingin bertanggung jawab akan hal ini. Sepertinya sang ayah murka dengan cowok yang telah melakukan ini kepada anak perawan nya.

Pita ketakutan, ia tak ingin memikirkan mereka berdua lagi. Ia hanya ingin memeluk foto neneknya, sambil mendengar kumandang adzan magrib menggemma, yang membuatnya sadar jika Tuhanlah yang bisa membuat hati dan pikiran tenang.

Ia hanya ingin itu, meletakkan foto neneknya, berdiri dan mengusap air matanya yang menutupi kecantikannya. Ia pandangi tubuhnya yang sudah hina. "Maafkan aku Lara!" ia sudah putuskan semuanya dengan seketika.

Kumandang adzan magrib tiba, memberi kabar jika malam datang tanpa diminta. Pita pun meminta ampun kepada Tuhan pencipta segalanya. Ia sadar betul jika hanya kepadanya ketenangan akan tiba, seperti udara malam yang berganti pagi, seperti kepingan air mata yang berganti cinta.

"Tuhanku, jagalah lara dan ibunya, berikan kebaikan juga kebahagiaan kepada mereka berdua, mohon kabulkanlah doa dari hambamu yang hina ini." setelah itu ia tersenyum pasi, mencoba menerima ini dengan lapang dada.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang