Saat kita mencintai seseorang
Maka kita wajib membahagiakannya
Dan wajib untuk menjaganya
Meski ia tak pernah
Menjadi milik kitaAsap rokok mengepul diseluruh ruang tamu rumahku. Kita tak henti-hentinya menghisap rokok sampai keluh isi paru-paru.
Di luar sana, hujan sepertinya akan turun. Kawanku ini tak kunjung pulang dari rumahku. Entah apa yang ingin ia katakan, padahal hari-hariku sedang ingin mengenang Pita gadis cinta pertamaku.
Kita duduk berhadapan, tubuhku semakin lemas, sebab aku sudah enggan untuk memakan nasi beberapa tahun ini. Uang ku dapat dari peninggalan ayah dan ibu, terkadang sanak saudara menjenguk, hanya untuk menegorku saja.
Aku tak butuh tegoran, yang ku butuhkan adalah kisah-kisah hebat, seperti Romeo Juliet, atau perjuangan Napolean Bonaparte di dalam memimpin peperangan waktu itu.
Aku butuh semangat, dan ketulusan cinta. Sehingga hari-hari ku isi dengan tulisan. Memang aku ingin, menulis apa saja yang ku harap bisa Pita baca kelak.
Aku selalu percaya ia akan membacanya, entah di sebuah toko buku atau disebuah perpustakaan yang dipenuhi lukisan davinci.
Aku memang pengagum berat ilmu-ilmu barat, bagiku mereka maju karena ingin mengembangkan otak dan logika. Ya begitulah, Pita adalah sosok yang mengenal kan ku tentang ilmu filsafat barat.
"Berapa tahun kau menulis ini?" ia bertanya sambil, melipat dan mencium bau kertas itu.
"Aku tak ingat persis, sepertinya sudah setahun lebih, saat setelah ibuku meninggal," ya memang, fase itu adalah titik terendah di dalam hidupku. Kematian ibu, yang makin membuatku hancur lebur.
"Semacam diary?"
"Ya tentu! Entah kau mau menyebutnya apa, tulisan ini adalah kejujuran saja! Segalanya ditulis dengan keadaan yang sunyi," lalu ia mulai memeriksa, dengan seksama tulisanku ini.
"Apa kau masih bekerja di perusahan percetakan dan penerbitan buku?"
"Ya tentunya, tapi kau tahu kan? Penikmat buku di negara kita rendah, sehingga buku bukanlah jadi makanan utama untuk otak mereka! Dan selanjutnya kau pasti paham," aku menghela napas panjang. Ironi mendengar jika masyarakat kita masih menganggap buku hanya bungkusan makanan saja.
"Tentunya banyak merugi bukan?" ku hisap batang rokok itu, sehingga kepulan asapnya mengudara di atap rumah.
"Sehingga banyak buku terbitan yang dibutuhkan pasaran, tentunya kau paham maksudku kawan!"
"Lalu tulisanku ini bagaimana menurutmu? Aku jadi hampa mendengar jawabanmu barusan!" wajahnya sesaat menendang ke depan jendela, dan mencoba menunjukkan lukisan kuno di sebelah kanan bahuku.
"Itu ayahmu yang melukis?"
"Ya benar, kenapa?"
"Lukisan yang seharusnya dipasang di museum seni lukis, dan dinikmati oleh banyak orang, bukan?"
"Ya, ayah memang gemar melukis! Dan ku rasa apa yang kau katakan barusan tak berlebihan adanya," pembicaan kita semakin serius, seakan ada kontrak yang akan datang setelah ini.
"Seperti Madona Of the rock," aku terbelalak, dan makin penasaran dengan apa yang di katakannya barusan.
"Leonardo Da Vinci!"
"Pelukis hebat dari Italia, yang selalu menawarkan misteri di balik lukisan nya, Ayahmu seperti penikmat dan pengagum beliau!"
"Mungkin saja kau benar kawanku! Lalu?"
"Tulisanmu ini mempunyai tempat yang hampir sama dengan karya-karya yang tak bakal bisa dilupakan kawan! Kau pasti yakin dengan karyamu bukan?" ia lalu menepuk bahuku, dan merasa iba dengan apa yang ku alami saat ini.
"Nasib seniman sejati memang selalu mengenaskan!"
"Chairil Anwar!" aku tertawa keras, berusaha menutup batuk yang terasa menyiksa di paru-paruku.
"Dan akhirnya jatuh oleh cinta kawanku!" ia lalu ikut tertawa keras, melempar senyum nya kepada foto ayah dan ibu. "Mereka bangga sekaligus sedih dengan takdirmu ini!".
"Kita berharap banyak pada hidup ini, tapi tak selalu semua yang kita harap akan datang ke kita!"
"Selesaikan tulisanmu ini kawanku, dan biarkan aku membacanya pertama kali, dan memohon kepadamu agar Pita ikut menangis membacanya!"
"Semacam balas dendam yang mulia?" aku angkat bahuku, seolah mengiyakan parkataannya barusan.
"Setidaknya Pita harus tahu cintaku begitu dalam untuknya," lalu kita berdua mendengar air hujan turun, membasahi dedaunan dan pepohonan di sekitar rumahku.
Ia lalu berdiri, mencoba memberiku masukan jika keyakinan ku adalah benar. Maka tulisan ini, bakal mengubah segalanya tentang hidupku.
"Sepasang burung bakal tak jadi mati, ketika ia akan berdoa kepada Tuhannya!"
"Maksudmu?"
"kita tak pernah tahu, jalannya masa depan itu sepeti apa bukan? Yang bisa kita ketahui adalah jalan hari ini, harus kita pilih! Harus kita tuangkan ke dalam janji yang penuh debu!"
"Kata-kata yang bermetafor! Sepertinya cinta itu akan abadi, akan kembali kepada pemilik alam semesta ini?" aku mengibaskan puntung rokok, dan menaruhnya di asbak hingga mati.
"Kita tak pernah tahu, di depan sana apakah kebahagiaan yang datang? Atau kah bencana yang bakal datang? Kita hanya tahu saat ini, saat kau tulis ini pun kau harus menjadi seperti itu!" ia lalu menghadapku, memberiku rahasia akan masa lalu.
"Kau dan Pita, seolah ditakdirkan untuk menuntaskan rahasia antara keluargamu, dan keluarganya! Antara kau dan Pita dan antara kau dan Angga."
"Angga?" aku sudah lama tak mendengar nama cowok pengecut ini.
"Angga lah yang membuat Pita pergi, dan meninggalkan semuanya pada saat itu, termasuk dirimu kawanku!" sontak aku berdiri, dan detak jantungku berdetak kencang.
"Angga!"
"Aku telah menjadi penghubungmu bukan?" ia mengangkat alisnya, dan mulai duduk kembali, sambil meminum kopi yang ku buat sedikit pahit barusan.
"Tuhan tak pernah tidur, dan Tuhan bakal menjelaskannya kepadaku!"
"Tulisanmu ini adalah keindahan dalam kesunyian yang menyakitkan!"
Kita berdua saling diam, mendengar hujan turun makin deras dan menjadikan waktu berhenti sesaat. "Angga?" aku kembali mendendam kepada nama itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENANGAN (TAMAT)
RomanceAku tahu mencintaimu itu adalah takdir, meski sangat menyakitkan Lara menulis sebuah catatan kisahnya dengan seorang gadis bernama Pita Gora. Gadis dan cinta pertamanya yang membuatnya punya gairah hidup dan membuatnya hancur lebur. #melodylan (ran...