Part 7

311 154 20
                                    

Pita mengirimkan salam rindunya lewat mimpi. Sayu matanya juga lesung pipinya membuatku sejenak terhibur dari rutinitas yang membosankan ini.

Aku tahu semua ini memang harus ku lalui dengan penuh rasa sabar, dan penuh keikhlasan yang begitu dalam dari lubuk hati ini.

Hari-hari setelah kematian ayah, ibu lalui dengan hampa. Ibu sering mengunjungi makan ayah, hanya untuk membersihkan makam ayah lalu menyiram tanah itu dengan ikhlas.

Setiap pagi sebelum ku berangkat sekolah, aku sering bertanya tentang keinginan ibu setelah ini. Ibu selalu menjawab, "Bukankah cinta sejati itu hanya ada satu, Nak? Bukankah pendamping hidup itu juga hanya satu, Nak? Dan ibu selalu merasa jika ayahmu ada di hati ini, di lubuk yang paling terdalam," mendengar jawaban itu, aku hanya pasrah, mengernyitkan dahi dan menganggap jika memang itulah cinta sejati.

Dan di malam yang dingin ini, ku melihat ibu sedang duduk di kursi kayu buatan ayah. Tepat di samping album foto antara ayah dan ibu. Matanya jelas terlihat nanar, dengan daster sederhana yang selalu ibu pakai hampir setiap malam.

Kepergian ayah benar-benar menjadi tamparan bagi ibu. Aku paham akan hal ini, cahaya lampu yang remang-remang, semakin membuat suasana syahdu sekali.

Sesekali udara malam melewati celah jendela yang melempar angan. Dan membuat kenangan itu kembali datang hampir setiap malam.

"Masuk saja, Nak?" Ibu menyadari kalau aku sedang mengintipnya dari celah pintu yang tak tertutup rapat.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. "Tanyakan saja kalau ada yang ingin kamu tanyakan pada ibu?" Aku hanya menjawab "iya" lalu masuk ke kamar itu dengan rasa sedih.

"Di kursi itu ayahmu selalu bernyanyi keroncong setiap menjelang tidur untuk ibu. Masa-masa muda yang tak bakal bisa ibu lupakan semuanya," ibu menatapku lalu menyuruhku untuk duduk di kursi tua di depan samping tubuh ibu.

"Ini buatan ayah Bu?"

"Ayahmu memang sosok pekerja keras, baginya selama mampu membuat, maka tak usah membeli! Dan itu sepertinya ditanamkan kepada dirimu ini," aku baru sadar jika didikan ayah memang keras dan disiplin tinggi.

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Hmmmm... Seberapa penting ayah bagi ibu sendiri?" Seketika raut wajah ibu tersenyum lebar, matanya berlinang dengan sedikit bedak yang menempel di pipinya yang sudah keriput.

"Ayahmu adalah malaikat yang Tuhan ciptakan untuk ibu, ayahmu adalah keadilan untuk ibu, ayahmu adalah cinta pertama dan terakhir untuk hati ibu, dan ayahmu adalah risalah yang sangat berarti untuk masa depan ibu, kamu paham Nak?"

"Sepenting dan seberharga itu ayah bagi ibu?" Aku bertanya polos, dengan nada suara yang pelan.

"Ayahmu hanya berjanji satu kali sesma hidupnya! Janjinya itu akan setia selamanya dengan ibu! Dan ayahmu telah menepati janjinya sampai saat ini!"

"Lalu ibu bagaimana? Aku tak tega melihat ibu seperti ini terus," lalu ibu berdiri membuka lemari baju dan memberikan baju ayah yang sering ayah pakai di masa mudanya.

"Untuk aku Bu?"

"Itu baju perjuangan ayahmu! Baju yang sering ayahmu pakai di masa mudanya, dengan memakai nya semoga kamu bisa menjadi seperti ayahmu!"

"Selain itu?" Lalu aku pakai baju bermotif air itu dan berwarna biru muda.

"Sama persis dengan ayahmu!" Ibu tersenyum lebar. Lalu kembali duduk di kursi tuanya yang berdekatan dengan lemari bajunya.

"Lara tak tega melihat ibu seperti ini terus!"

"Butuh waktu nak? Ibu dan hati ini sudah terbagi untuk ayahmu, dan mungkin butuh waktu lama agar ibu benar-benar kembali seperti dulu lagi," ibu lalu menyisir rambutku yang berantakan.

"Harapan satu-satunya hanya kamu nak?"

"Harapan apa Bu?"

"Harapan agar kamu bisa mengubah nasibmu sendiri dan membuat bangga ayah dan ibumu ini!"

Mendengar itu aku sedikit tersedak seketika. Cahaya bulan purnama begitu sempurna, memantul di antara jendela kayu yang mengharukan ini.

Dari balik jendela tampak dedaunan dari pohon jambu di depan rumah berhamburan berusaha masuk ke dalam rumah.

Angin malam ini sedikit kencang. Hal ini membuat ibu sedikit ketakutan. Biasanya ayah selalu menenangkan ibu dalam keadaan seperti ini.

"Sepertinya mau hujan Bu?"

"Masa depanmu ada di tanganmu sendiri nak? Seperti apa masa depan ini, kamulah yang menentukan semuanya, Tuhan hanya memberi petunjuk dan mengiyakan jika kamu telah memilihnya," ibu lalu menutup jendela kamarnya, membuat cahaya bulan yang terhalang mendung hilang seketika.

"Apa ini masalah materi atau uang?"

"Bukan hanya itu nak?"

"Lalu apa Bu?"

"Juga tentang kesehatan ibu, juga kebutuhan hidup dirimu dan istri anakmu kelak! Tanggung jawab itu bukan hanya berupa uang, tapi juga kenyamanan yang luar biasa!"

"Apakah ayah sudah berhasil melakukan ini Bu?"

"Sangat berhasil, bahkan ayahmu melebihi dugaan ibu dulu! Hampir dua puluh lima tahun bersamanya, ibu hampir selalu dibuat bahagia dengan cara yang sangat sederhana!"

"Ayah adalah sosok yang bertanggung jawab berarti?"

"Benar sekali!"

Aku terdiam sejenak, lalu menyuruh ibu untuk beristirahat saja malam ini.

"Ayah ingin melihat ibu bahagia seperti sebelumnya," aku mencoba membujuk ibu.

"Tentu anakku, ibu akan kembali bahagia dan berusaha yang terbaik untuk masa depanmu kelak," kata-kata itu membuat dadaku sesak, ada yang tertahan jika pengorbanan orang tua itu tak bisa dinilai dengan apa pun.

Aku berdiri, menyuruh ibu untuk beristirahat dan menyelimuti nya yang kedinginan. Perahan ku tutup pintu kamar ibu, yang selalu berbunyi. Mati aku matikan, sepintas suara angin malam semakin membuat kesyahduan ini berlanjut.

Pembicaraan yang tak pernah ku duga. Setiap masalah adalah ujian itu sendiri. Dan aku paham akan hal ini, beban yang harus ku lakukan demi ibu dan masa depanku.

"Harus serius sekolah?" Aku sendiri tak yakin dengan diri ini.

Sambil memandang atap rumah yang juga terbuat dari kayu, semakin membuatku termenung sejenak dari rutinitas ini.

Udara di dalam kamarku juga sangat dingin. Ku tarik selimut dan ku tutupi tubuh ini agar hangat kembali datang.

"Pita?" Dalam hati ini, apakah pita adalah cinta sejati ku? Aku tertawa kecil dan teringat senyumnya dengan lesung pipi yang manis itu.

Semuanya sunyi, hanya ada kemalangan ibu dan tanggung jawabku kelak di masa depan.

Tentang Pita, aku harus segera mengatakan yang sesungguhnya. Aku tak ingin bermain-main dengan perasaan ini semuanya. Dan hal ini membuatku memaklumi jika cinta pertama adalah beban hati yang paling dalam.

"Semuanya punya cerita, dan cerita itu tak bakal dapat kita lupakan selamanya," aku bangga punya sosok ayah seperti itu, dan aku juga bahagia punya sosok ibu yang penyayang seperti itu.

Mataku semakin mengantuk. Ku gesek ujung kepalaku, dan memejamkan mata perlahan.

"Besok sepertinya kita harus saling terbuka dan jujur dengan hati ini ya?" Tiba-tiba suara Pita terdengar kecil dari kesadaran ini.

Aku hanya diam saja, sebab tubuh yang drop ini sudah tak tahan menahan dingin malam. Aku pulas dengan kemalangan dan masa depan yang tak bakal jelas ujungnya.

Seperti kata ayah kepada ibu dulu, "jika hidup tak pernah kita syukuri, maka kita akan dekat kemiskinan juga kedengkian hati yang teramat dalam, dan ini berbahaya sebab kebencian itu adalah roh yang kejam dan dibiarkan masuk dari kesadaran ku yang lainnya!"

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang