Part 8

280 146 25
                                    

Hampir setiap hari aku terpikir dengan keadaan ibu. Semakin hari ibu semakin kurus, kedua sorot matanya juga tak pasti memandang hidup ini. Dan aku pun gelisah, hampir setiap malam, doa-doa aku sempatkan, dengan memikul beban hidup ini.

Kesibukan ku menjaga ibu, membuat waktu ku bersama Pita berkurang. Tapi tak apa, setidaknya aku dapat bertemu dia di sekolah, meski bagiku keadaan ini tak memuaskan.

Seperti hari Minggu biasanya. Setelah selesai membersihkan halaman rumah, aku hampiri ibu yang sedang melamun di depan ruang tamu.

Ruang tamu ini dipenuhi dengan foto-foto ayah, mulai dari masa remaja sampai ketika sudah mempunyai aku anaknya.

Ibu suka sekali memandang foto-foto itu, sesekali ibu cium aroma foto yang semakin menua seperti umurnya. Meski sudah hampir sebulan ayah pergi, keadaan ini justru membuat ibu semakin tersiksa.

Melihatnya yang seperti itu, aku hampiri dengan sopan dan penuh kasih sayang.

"Bu ayo sarapan dulu, lara sudah belikan nasi pecel kesukaan ibu," aku berharap ibu menjawab dan mau untuk sarapan pagi.

Ibu hanya diam, ia masih saja memandang foto ayah yang berjaket hitam dengan senyum yang gagah itu.

"Bu? Ayo sarapan dulu ya? Dari tadi malam ibu belum makan loh?" Aku pegang tangannya dan perlahan menyuruhnya berdiri menuju ruang makan.

"Ayah juga harus ikut sarapan, nak!" Mendengar jawaban itu aku diam, tak berkutik sedikit pun.

"Panggil ayah di belakang rumah sana? Ayah pasti capek pagi-pagi sudah sibuk membetulkan atap rumah yang bocor!" Ibu meyakinkan diriku dengan khayalannya sendiri.

"Tapi Bu?"

"Tapi apa nak? Kamu tega membiarkan ayahmu bekerja keras seperti itu, lalu kita berdua enak-enakan sarapan dan kenyang? Apa kamu tega nak?"

"Tentu tidak, Bu? Tapi?"

"Setiap lelaki harus bekerja, karena dari bekerja itulah lelaki bisa dikatakan tangguh!" Ibu memandangku tajam, sembari meremas foto ayah yang semakin mengkerut.

"Ayah kan sudah meninggal Bu? Lara kasihan kalau ibu seperti ini, keadaan yang setiap hari lara pikirkan cuma ibu sekarang ini," lalu aku duduk di bawah lantai, sembari memegang kedua telapak kaki ibu yang mengkerut kulitnya.

Mendengar jawaban ku barusan, ibu lagi-lagi diam, matanya menutup dan seketika air mata menetes perlahan jatuh ke dalam dua pipinya.

"Kenapa ayahmu begitu cepat meninggalkan kita nak?" Ibu memegang kepalaku dan membiarkan telapak tangannya bergetar hebat, aku merasakannya kesedihan itu, kehilangan yang begitu dalam.

Tak dapat aku banyak berkata. Air mata tiba-tiba menetes jatuh ke lantai rumah yang kusut dan berdebu. Pagi di Minggu yang tak menyenangkan ini, dapat kubayangkan beban hidup ke depannya.

Untuk apa cinta jika ibuku sengsara seperti ini Tuhan?

Hatiku bergejolak, sesak nafas yang tersengal-sengal begitu dalam kurasakan. Sebelum ku dengar pintu rumah terdengar, tamu yang pagi-pagi sudah membuat hati ini semakin bingung.

"Iya tunggu!" Ku tinggal ibu, dalam keadaan membingungkan.

"Kau?" Aku kaget, dan dengan cepat merapikan rambut dan kaosku yang kusut.

"Iya aku kenapa?"

"Pita, kau membuatku kaget!"

"Kau baru menangis? Matamu merah loh?" Ia lalu mengusap bekas air mataku yang masih menempel di samping hidungku.

Menerima keadaan itu, aku gugup gemetar. Dan membiarkan jari-jarinya yang lembut meraba pipiku.

"Ada apa? Kenapa kau menangis? Lelaki harus tangguh bukan?" Ia lalu masuk menerawang isi rumahku yang minimalis.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang