Part 29

148 70 6
                                    

Cinta hanya lah
omong kosong belaka

"Jangan sentuh tanganku!" bantahannya membuat orang orang di sekeliling melihat kita berdua. Mereka sinis memandang ku, menganggap ku seperti cowok brengesek saja.

"Diam Pit, aku ingin bicara denganmu! Tapi jangan di sini!" aku memaksanya, hatiku sudah tak kuat dibuat kenyataan ini.

"Kalau aku bilang gak ya gak! Jangan maksa deh jadi cowok! Kurang kerjaan apa gimana?" napas Pita memburu, seakan ia sedang mencari alasan untuk pergi dari hadapanku.

"Ini penting! Ini tentang angga dan dirimu! Aku mohon percayalah padaku satu kali ini saja!" apa yang aku katakan memang nyata, kebenaran yang harus Pita ketahui tentang cowok bernama Angga itu.

"Kamu siapaku seh? Pacarku? Saudaraku? Atau sahabatku? Jangan pernah berpikir buruk ke angga, dia itu sangat baik! Lebih baik ketimbang temanmu bernama Lara itu! Katakan padanya, tak usah ganggu hidupku lagi!"

"Aku datang menemui mu bukan karena Lara! Aku memang temannya, tapi justru karena kasihan denganmu, aku ingin kau mendengar apa yang aku katakan ini! Tolong percayalah!" wajahku memelas, orang-orang di sekitar sudah mulai resah dan gelisah dengan apa yang mereka lihat ini.

"Apapun yang kau bicarakan tentang angga, itu pasti keburukan! Aku sudah tak percaya lagi, jadi tolong lepaskan tanganmu! Dan segera pergi dari sini, atau aku akan berteriak sekarang juga!" ia mengancamku, sambil mulai melirik ke orang sekitar.

Ancaman darinya membuatku sedikit takut. Tapi tetap ku paksa ia untuk mendengarkan apa yang ingin ku katakan.

Aku hanya merasa kasihan dengan apa yang menimpa Pita. Angga bukanlah sosok yang baik, ia cowok bejat dan brengsek, hampir seluruh sifatnya bukanlah nyata. Ia hanya berpura-pura baik kepada Pita.

"Tapi pit?" aku kembali memohon, sampai telapak tangan itu, menyentuh ku dan menyuruhku untuk tak memaksanya lagi.

"Biarkan dia mempercayai apa yang ia percayai, jangan ganggu dia, biarkan dia dengan kehidupannya sendiri sekarang!" aku menolehkan wajahku, dan ku lihat Lara menatap ku sayu, dengan topi hitam yang membuatnya menutupi kesedihan hatinya.

"Maafkan temanku ini," Lara melepas tanganku yang mencengkram tangan Pita. Pita hanya terdiam menatap Lara yang terlihat sangat menyedihkan.

"Apapun pilihanmu, itu adalah kebaikan buatmu! Jangan kau sesali semua yang kau pilih dan kau lakukan! Maaf mengganggu waktumu dengan kekasih barumu itu," lalu Lara menarik ku menjauh dari Pita. Aku tak bisa melawannya, ada kesedihan mendalam yang ku rasakan dari hatinya.

Pita seperti menahan sesuatu di wajahnya. Seperti ingin berkata semua ini bohong, aku sengaja dan aku terjebak dalan permainan ku sendiri Lara.

Ada kegetiran seperti itu. Dan benar saja, ia menangis tak berapa lama setelah kita semakin menjauh meninggalkannya. Aku ingin mengatakan padamu tentang kejahatan angga, ia ingin memanfaatkan mu! Juga ingin merenggut kesucianmu Pita! Kenapa kau tak mau memberikan waktu sebentar. Kenapa? Kau terlalu kaku denga semua ini.

"Jangan lakukan lagi hal seperti itu kawan," Lara duduk di samping kelas, sambil memandangku tajam.

"Banyak hal yang harus ku katakan padanya, dan ini adalah hal penting buatnya!" aku membela diri.

"Tapi kau tak punya hak untuk memaksa orang lain seperti itu, dia punya pilihan sendiri dan biarkan dia menanggung semuanya sendiri! Jangan pernah kau memaksa perempuan untuk bicara, itu tak baik!"

"Kenapa kau menyukai Pita? Dia padahal sudah tak memperdulikanmu?"

"Mencintai tak harus butuh kepedulian, aku mencintainya karena murni hati yang bicara! Entah kebodohan apa yang merasuki hatiku ini, aku tak bisa mengatakan tidak! Begitulah kira-kira!"

Aku tak ingin mengatakan rahasia angga kepada Lara. Jika ia mendengar kenyataan ini, pasti angga dalam masalah besar. Nyawa pun mungkin bisa menjadi taruhannya.

"Kau jangan lakukan itu lagi! Kalau kau tetap memaksa, kau bermasalah denganku!"

"Lara? Kau mengancam ku?"

"Hal yang sama saat kau mengancam Pita barusan!" mata nya tajam, tak pernah ku lihat Lara semarah ini.

"Baiklah!" aku berdiri memasuki ruang kelas. Kembali duduk di meja kelasku, sambil melihat Lara yang sedang menunduk seperti berdoa di dalam hati sendiri.

Jelas Lara sangat mencintai Pita. Hatinya begitu tulus, tak pernah ingin mengatakan tidak. Begitu pun cintanya yang terlalu manis untuk bisa ia lupakan.

Aku tak bisa menyalahkan nya. Itu adalah pilihan yang bagiku wajar. Ketika kau mencintai seseorang maka, yang tampak adalah kesejukan dan rasa saling mempercayai satu sama lain.

Lara paham akan hal itu, tapi ia sendiri bingung dengan keadaan ini. Keadaan dimana kekasih yang ia cintai tiba-tiba menjauh dan bahkan membencinya.

Jika aku ada di posisinya sekarang. Maka aku akan merasakan hal yang sama. Hal yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saja.

"Aku harus seperti apa sekarang?" hatiku bergumam. Aku tak ingin sahabat baik ku ini, menjadi cowok bodoh hanya karena cintanya. Kematian ayahnya dan keadaan ibunya semakin membuatku merasa kasihan.

Seharusnya ia sendiri paham, kalau ketiadaan nyawa adalah takdir. Semua sudah digaris oleh Tuhan. Semuanya, termasuk kisah cintanya dengan Pita.

"Bagaimanapun aku harus mengatakan ini kepada Pita! Ia harus segera tahu kalau si brengsek itu sangat berbahaya baginya! Keselamatannya adalah harapan bagi Lara suatu saat nanti," aku melihat Lara berdiri, memasuki ruang kelas sebab bel tekah berbunyi. Sebentar lagi kita akan lulus, tentu nasib apa yang harus dipilih setelahnya.

Cita-cita kita saat ini, bergantung pada bagaimana kita memiliki rasa belas kasih kepada sesama.

Ia tak melihatku, ia duduk di belakangku sambil mengatakan, "Aku tahu apa yang kau ingin katakan pada Pita! Aku bahkan lebih tau dari dirimu!".

Aku terkaget, sambil tegak melihat ibu guru datang dengan wajah tegangnya. Lara tahu semua ini? Kenapa ia diam? Kenapa ia membiarkan Pita seperti itu? Segalanya berputar dengan cepat. Seperti waktu yang kelam, memaksa diri ini kembali kepada kesadaran masing-masing. Itu seperti kenyataan yang tak dibumbui drama sama sekali.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang