Part 15

204 94 10
                                    

Aku mencintaimu
Tapi jangan pernah
Menyakiti hati
Keluargaku
Jika itu terjadi
Maka cinta kita
Akan selesai

Siapa yang meduga rahasia itu ditulis Ayah sebelum ia benar-benar tewas. Aku sadar jika ayah memang mempunyai banyak masalah ditempatnya bekerja, masalah yang ayah simpan dan tak ingin ia katakan padaku dan ibu.

Begitulah sikap laki-laki, selalu menahan sakit meski ia sendiri paham rasa sakit itu menyedihkan. Aku pandangi lekat surat ayah, kuda tulisannya menjadikanku seperti kesatria yang kehilangan setengah nyawa.

Di dekat jendela ku ratapi semua ini, seolah hal-hal yang akan terjadi setelah ini adalah tantangan hidupku. Ibu sudah tertidur pulas di ranjang nya. Setengah nyawanya sudah diambil waktu, sehingga dalam pandangan matanya hanya ada pasrah yang menakutkan.

Suara angin di luar rumah bergemuruh. Sepertinya akan turun hujan malam ini, bunyi suara jam dari kejauhan menelan keherananku. Sedangkan di dalam hati terpampang lukisan yang seakan tersenyum di balik mataku.

Aku tengah berada dalam keadaan yang sumbang. Teringat semuanya dimasa kecil yang menyenangkan. Ayah selalu menghiburku, dan berharap jika kelak aku menjadi cowok yang bertanggung jawab dengan hidupnya sendiri.

"Masa-masa yang menyenangkan," aku tersenyum sambil berdiri menjauh dari dekat jendela. Ku tutup jendela lalu menghadap lagi kepada sepucuk surat yang ayah tulis.

"Apa yang ayah rahasiakan? Sampai ayah rela menjadikan nyawa ayah sendiri, aku sebagai anak satu-satunya, menjadi sangsi dengan semua ini!" lalu ku lipat surat itu, mencoba melupakannya sejenak di malam ini.

Semuanya seperti sudah di dalam kepalaku. Sampai aku teringat sejenak tentang pembicaraan renyah, antara aku dan pita, di suatu senja yang menyenangkan.

"Ayahku bekerja di tempat kerja ayahmu loh?"

"Iya aku sudah tahu kok, dan ayah juga sudah pernah bilang ke aku, kalau ayahmu itu sosok pekerja keras! Sampai-sampai banyak para pekerja yang lain, merasa iri dengan ayahmu!" lalu Pita memakan coklat yang ku beli dengan jerih payahku.

"Tapi ayah sudah meninggal, dan meninggalnya pun misterius," ku tatap mata Pita semakin dekat.

"Aku tahu kok, ayah juga sedikit ketakutan dengan kematian ayahmu, ia bercerita dua hari sebelum kematian ayahmu, banyak hal yang aneh! Ayahmu yang sering sendirian di tempat kerja, bahkan ayahmu juga sering dijauhi oleh rekan kerjanya," Pita makin memakan coklatnya dengan lahap sekali.

"Apa benar itu Pit?"

"Kau jangan berpikir yang aneh-aneh dulu ya? Kita tak pernah tahu apa yang sebetulnya terjadi dengan ayahmu pada saat itu! Kita juga tak boleh berburuk sangka dengan orang di sekitar!"

"Aku hanya menduga-duga saja kok? Toh memang kematian ayah aneh, dan aku yakin ada rahasia besar di balik kematian ayahku, cuma ibu bilang sudah ikhlaskan saja semuanya," pita mengelus lutut ku, seakan ingin mengatakan jika kesabaran adalah kunci segalanya.

"Lalu apalagi Pita?" aku menarik napas dalam-dalam.

"Apanya?" ia terheran dengan raut wajah yanh begitu manis. Matanya yang besar bulat, menambah manis kepolosannya.

"Tentang ayahmu yang bercerita ke kamu!" Ia gregetan dengan sikap polos pita.

"Hmmm... Apa lagi ya? Sepertinya tentang perilaku dan beban yang harus ayahmu tanggung! Ayah seh hanya bilang itu kepadaku!"

Semuanya hening, saat ada yang mengganjal dengan kata-kata Pita barusan. Aku menarik alisku, tanggung jawab? Semuanya seperti puzzle yang tak bisa ditebak begitu saja.

"Sudah ya? Mending kita bahas yang lain saja kan? Kita sudah jalan begini, malah bahas sesuatu yang membuat mengkerut kepala saja!" pita berontak dengan keadaan ini.

"Lalu apa?" aku berusaha mengingat kata-kata barusan yang membuatku penasaran.

"Ya keadaan ini harus kita manfaatkan lebih matang," Pita melirikku, dan dadanya mengembang saat aku pandangi dia lebih lekat.

"Ada apa hei?" ia kebingungan.

"Jangan pandangi begitu ah! Aku risih jadinya," ia sedikit memundurkan badannya.

"Seperti yang kau inginkan bukan?"

"Apa?"

"Matang!" dengan semangat ku ucapkan kata-kata itu.

"Eh bukan matang itu yang kumaksud!"dan dalam sekejab cubitan dipipiku terasa panas.

"Dasar pikiran jorok! Yang ku maksud, aku ingin kita bahagia saja gitu, kesempatan kita jalan-jalan begini jangan dibuat mubazir!"

Lalu aku cengengesan, mendengar apa yang dimaksud oleh otakku ini.

"Oh itu maksudnya?" aku mencoba menahan semuanya lebih dalam, menguburkannya dalam dalam.

Belum saatnya kau melakukan itu, menikah dulu biar sah, nah kalau sudah sah, semuanya sudah menjadi milikmu!

Hatiku menggerutu begitu. Lalu Pita berdiri menggenggam tanganku, mengajakku ke arah penjual es krim yang berada di taman ini. Sedang kan orang orang sibuk dengan masalahnya, menganggap jika cinta itu hanya milik kita berdua saja.

Ingatan itu membekas sekejab. Oh Tuhan, mengapa kau berikan cinta jika hanya bisa menyakiti saja! Aku mulai mengantuk, menaruh surat ayah di balik buku-buku yang tersusun di meja belajarku.

Sebentar lagi akan lulus sekolah, dan setelah ini bakal kemana? Ku lingkarkan tanganku ke arah tembok di sebelah kasur ku.

Ku tarik selimut, dan menutup mataku di tengah malam yang mulai menurunkan air hujan. Lampu kamar kumatikan, dan membiarkan suara hujan menghangatkan semuanya.

Pita? Aku sungguh merindukanmu, merindukan semuanya tentang dirimu, dan semua tentang kebersamaan kita sebelumnya. Jika kau benar mencintaiku, datanglah di mimpiku malam ini. Aku ingin mendekapmu, dan tak melepas semuanya yang ada di tubuhmu, selamanya.

Aku tertidur, membawa rahasia ayah dan rahasia Pita yang tak sempat ku pikirkan malam ini.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang