Part 5

392 185 25
                                    

Udara malam ini terasa sangat dingin sekali. Perlahan orang-orang pergi menjauh dari rumahku. Keadaan sunyi yang membuatku linglung dan merasakan kesedihan melebihi air mata.

Aku tak kuasa akan hal ini. Pandangan mataku hanya selaras dengan harapan-harapan yang ayah pernah katakan padaku. Tentang sebuah kerasnya hidup, tentang keindahan hidup yang hanyalah fana dan tentang perjuangan yang ayah lakukan untuk keluarga ini.

Kata-kata ayah membekas, membuatku semakin yakin jika ketiadaan nya adalah kehancuran bagi ibu dan diriku ini.

Orang-orang sibuk mencari penyebab kematian ayahku. Aku tak pernah tertarik akan hal itu, bagiku itu sudah takdir Tuhan. Biarkan itu menjadi rahasia Tuhan dan rahasia waktu. Ibu juga sudah ikhlas, meski terlihat jelas dari pandangan matanya, ia telah kehilangan separuh nyawa dan cintanya.

Aku tak pernah tega melihat tatapan mata ibu sepanjang hari. Entah kemarin, atau pun saat ini. Sebab sudah tiga hari dari kematian ayah, ibu tak pernah mengajakku berbicara sedikit pun.

Aku tak memulainya, aku juga takut. Aku hanya tahu jika setiap selesai salat magrib, ibu selalu memeluk dan mencium foto ayah penuh cinta dan kasih.

Hal itu membuat diriku menyadari, jika cinta yang sesungguhnya adalah kebisuan dan tindakan tanpa kata-kata. Karena itulah, aku juga paham jika ini hanya urusan waktu, dan ayah pasti bahagia melihat cinta ibu yang seperti itu.

Di depan teras rumah, ku pandangi beberapa gugusan bintang malam ini. Tak sedikit yang membuatku tertarik. Selain senyum ayah di masa-masa kecilku dulu.

"Kau akan menjadi anak pemberani dan menjadi anak yang membanggakan ke dua orang tuamu ini," ayah selalu percaya denganku. Dan beban itu ku pikul sendiri saat ini.

Waktu itu aku tak bisa menjawab. Aku hanya tertawa dan menggeleng kan kepala tanda sebuah penghormatan untuk ayah. Dan saat ini, akulah sosok yang harus menggantinya untuk ibu sendiri.

Beban yang seharusnya memang harus ku pikirkan sejak beberapa tahun sebelumnya.

Beban yang seharusnya segera aku rasakan getirnya. Getir yang saat ini berdegup kencang, dengan melodi api di sekitar mataku. Aku yakin semuanya akan sirna, kenangan-kenangan yang akan hilang, bersama kepingan udara malam di saat ini.

Saat sedang enak-enak melamun tentang nasib ibu, mataku dikagetkan kedatangan sosok perempuan putih, manis, dengan rambu bergelombang dan senyum yang merekah begitu indah.

"Kau?" Aku benar-benar kaget. Pita datang, dengan segera menggenggam telapak tanganku yang terasa dingin ini.
"Aku tak mengganggumu kan?" Tanya ia dengan lemah lembut.
"Ku rasa justru aku senang kau datang malam ini," entah nasib atau hatinya yang menuntunnya seperti ini.
"Tahu darimana rumahku?" Lalu ia duduk di kursi kayu di sebelahku.
"Banyak hal yang tak terduga ternyata, dan mungkin ini sudah menjadi takdir Tuhan untuk kita berdua." Aku berdiri, sambil bertanya-tanya di dalam hati.
"Mau minum apa?" Tanya ku sungkan.
"Hmmm... Teh hangat boleh sepertinya," ia lalu tersenyum lagi, lesung pipinya itu benar-benar membuatku tergoda.

Segera aku masuk ke dalam rumah, lalu ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuknya. Tak lupa aku lihat keadaan ibu. Ibu ternyata masih rebahan di dalam kamarnya, ia sadar dengan kedatangan Pita.

"Siapa yang datang nak?" Tanya ibu begitu lemas.
"Cuma teman, Bu. Teman sekolah yang ingin menjenguk keadaan ku ini," aku balas dengan agak ragu.
"Jangan terlalu malam ya? Sepertinya temanmu itu perempuan, ibu mendengar suaranya samar-samar dari dalam kamar."
"Iya Bu pasti aku ingatkan untuk tidak pulang terlalu malam!" Lalu aku ke dapur, membiarkan tubuh dan kenangan ibu terbawa arus malam ini.

Jam masih menunjukkan tujuh malam. Masih banyak waktu yang mungkin membuatku sedikit berbicara banyak kepadanya.

"Minumlah jangan sungkan," aku menawarkan teh hangat itu.
"Maaf lagi tak ada cemilan, Pit." Mendengar itu pita sedikit kesal.
"Sudah lah tak usah repot-repot, aku kesini justru ingin menjenguk mu dan ibumu, bagaimana keadaan ibu?"
"Ibu sudah mendingan, tapi mungkin jiwanya masih belum bisa menerima kenyataan ini, dan itu sepertinya wajar kan?" Aku menghela nafas panjang. Mencoba menghirup udara malam ini dengan tenang.
"Ya itu hal yang wajar, kehilangan sosok yang dicintai pasti membuat hati terasa kosong dan sunyi!"

Hatiku bahagia saat gadis manis ini menjenguk keluargaku. Keadaan duka yang membuat ku dan ibu sedang dalam masa-masa kurang baik. Cinta ini memang jujur, tapi tak bisa ku ungkapkan begitu saja kepadanya.

Matanya terus saja membuatku tergoda, harum tubuhnya juga memabukkan. Membuat diriku melayang ke atas bintang-bintang. Mungkin ini lah cinta pertama itu. Cinta yang kelak akan membuatku bahagia sekaligus menderita.

"Ayahmu bekerja di tempat ayahku Lara," ia memandang wajahku lekat. Semakin mendekat, sampai dapat kurasakan hembusan nafasnya yang teratur.
"Jadi kau tahu dari ayahmu?"
"Yup..."
"Ayahku bilang, kalau ayahmu itu sosok pekerja keras! Sosok tangguh yang selalu patuh dengan atasannya. Belum lagi, ayah bilang kalau ayahmu itu juga sosok yang dekat dengan agama, Tuhannya. Ia selalu salat tepat waktu, meski pekerjaannya menyita banyak waktu dan tenaga."
"Ayahmu berkata begitu?"
"Yup... Benar sekali! Jadi ayah sangat merasa kehilangan, ayah juga menyuruhku untuk ke rumahmu malam ini!"
"Jadi kau ke sini diantar siapa Pit?"
"Diantar ayah! Tapi ayah lagi ada keperluan jadi malam ini tak bisa mampir ke rumahmu!"
"Hmmm...."
"Kenapa?"
"Aku ingin ucapkan terimakasih sudah begitu percaya sama ayahku, juga sudah sangat baik ke keluargaku ini!"
"Nanti ku sampaikan salammu."

Kita berbicara banyak hal malam ini. Dan juga banyak hal yang tak terduga terjadi. Pita menggenggam telapak tanganku, gadis manis ini benar-benar membuatku jatuh hati.

Ku balas genggaman itu dengan lembut pula. Matanya melirik ke sekitar, takut ada seseorang yang melihat kedekatan kita berdua ini. Jantungku berdetak kencang, tak beraturan. Kenikmatan apa dan kegelisahan apa yang membuatku sesak nafas seperti ini.

Ku beranikan diri membelai rambutnya yang bergelombang. Ia malah tersenyum manis sekali. Tuhn telah ciptakan makhluk indah seperti dia untukku. Malam semakin larut. Jam sudah menunjukkan setengah sembilan malam. Dan kita berdua masih saja saling menggenggam tangan begitu eratnya.

"Ayahmu belum datang?"
"Sepertinya sebentar lagi ayah datang kok? Kenapa?" Pita malah makin menggodaku, ia mainkan jemarinya begitu lembutnya.
"Kenapa?" Ia tanyakan lagi kepadaku.
Tiba-tiba, ku tarik tangannya. Ia hanya diam dan tersenyum. Dan ku bawa ia di belakang rumah yang dipenuhi kebun-kebun dan pohon. Tak akan ada orang yang tahu keadaan ini.

Nafasku tersengal cepat. Pita justru tersenyum dan tertawa kecil melihat apa yang ku lakukan ini.

"Kau mau apa lara?"

Tanpa banyak kata, seketika ku lumat bibirnya itu yang basah, dan merah merekah. Pita merangkul pinggangku erat dan ciuman ini makin lekat memasuki rongga-rongga kehidupan cinta ini. Kulitnya yang putih nampak menggerakkan urat-urat yang terlihat samar.

Aku tahu, jika kita berdua memang saling mencintai. Pita melumatnya dan aku pun membalasnya. Membiarkan malam milik kita berdua saja. Dan malam ini, pita datang membawa bahagia yang tak bakal dapat aku lupakan selamanya.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang