Part 40

51 30 1
                                    

Kekasih yang setia itu ketika ia tahu jika meminta adalah pilihan terburuk dari mencintainya

"Kita harus segera menyusun tulisanmu ini sedikit lebih indah lagi? Kau tak keberatan kan kawanku?"

"Sedikit seh? Banyak hal yang ku pertaruhkan di dalam tulisan ini! Dan semuanya tak pernah main-main," aku angkat lengan hem panjangku yang berwarna biru toska sambil mencoba meyakinkan Indra akan pilihanku ini.

"Jadi kau keberatan?"

"Pada bagian tertentu aku merasa keberatan kawan!"

"Contoh?" indra menyeduh kopinya sambil melirik lagi ke wajah pelayan manis itu.

"Tentang kejujuranku kepada Pita misalnya! Aku tak ingin kita banyak mengubahnya, justru kejujuran menjadi kekuatan di dalam tulisan ku ini! Kau paham kan?"

"Apakah kejujuran juga tak mempunyai kesan jika tulisanmu terlalu polos kawan? Kita sebagai pembaca tak mungkin peduli dengan kisahmu yang haru bukan?" indra lalu membuka satu contoh novel tebal berjudul "kupukupu yang patah sayapnya".

"Judul yang unik!" aku sedikit menyudutkan pikirannya tentang sudut pandang ini.

"Apa hanya itu yang bisa kau pahami dari novel ini? Kau kenal siapa penulisnya kan?"

"Ya! Akhir-akhir ini banyak pembaca remaja yang sedang membicarakan karyanya ini, karya yang best seller dan banyak mengundang pujian dari para pembaca!"

"Tentunya! Seharusnya kau bisa kan? Untuk sedikit berpikir kenapa karya orang ini begitu cukup dikenal dan digemari? Apa kau tak tertarik sedikit pun akan hal ini?" indra lalu menyuruh pelayan yang mengantarkan kopi ke meja kita. Dan memberikan pertanyaan konyol kepadanya.

"Jawab jujur saja! Apa penilaian mu. terang pria di depanku ini?"

"Maksudnya?"

"Ya penilaian mu yang jujur tentang dia! Jawab saja singkat!" aku kaget melihat tingkah Indra dan sedikit membuatku kesal.

"Hmmmm... Sepertinya dia pria yang tak bisa merawat dirinya sendiri dan egois!" indra lalu tertawa dan menyuruhnya segera kembali ke kasir.

"Kau dengar kan kawanku? Ya seperti itu pandangan orang lain kepadamu! Pandangan yang sepertinya keluar apa-adanya bukan?"

"Apa maksudmu?" aku menajamkan kedua mataku ke arah wajahnya.

"Ya tentang bukumu ini! Buku yang ku baca indah tadi juga perlu diperindah lagi! Sama seperti dirimu ini! Kau harusnya mengerti jika pasar adalah penentu jika kau ingin sukses!"

"Tak ada yang bakal peduli seberapa pintar dan cerdas dirimu itu! Yang orang lain pedulikan hanya karyamu itu! Ketika orang menganggapnya kurang indah maka karyamu selanjutnya juga bakal menyedihkan!"

"Kau mengguruiku kawan!" aku kesal dengan sikap sok tahunya ini. Jadi pagi yang sejuk barusan tiba-tiba menjadi kusam.

"Aku tak memintamu mengomentari karyaku! Aku memintamu untuk menerima karyaku saja! Jika kau dan penerbitanmu enggan menerima maka ucapkan sejujurnya saja! Daripada aku disuruh seperti babu!"

Indra seperti tersinggung dengan ucapan ku barusan. Ia sedikit memundurkan punggung nya. Dan menjaga jarak di sekitar lingkaran meja bundar ini.

Apa yang ia pikirkan tak semuanya harus ku dengarkan. Itu adalah tulisan ku, dan hanya aku yang berhak untuk menentukan diubah atau tidak segala isi di dalamnya.

Aku tak pernah peduli dengan kepopuleran dunia. Aku menulis bukan untuk hal itu. Bagiku itu adalah bonus, dan yang terpenting adalah bagaimana Indra harus bisa memahami diriku ini yang sangat keras kepala.

"Kau sudah mengenalku lama! Seharusnya kau tak usah menawarkan hal semacam ini kepadaku! Sudah jelas aku akan menolaknya mentah-mentah!" ia lalu menjawab tenang setelah menyeduh kopi dengan santai nya.

"Kau tak bisa memaksa keinginanmu di dunia bisnis ini! Ini semua dunia bisnis dan keuntungan juga bakal kau dapat jika patuh dengan aturan kami! Kau harus banyak belajar akan hal ini!"

"Aku tak pernah bicara bisnis denga hal ini! Semua murni tentang karyaku dan kau bersedia untuk menerbitkannya! Lalu kenapa kau beruba seperti ini? Aku tak begitu percaya dengan sikap entengmu!" indra lalu meletakkan buku novel tersebut dan memberikan penjelas singkat kepadaku serta melakukan penawaran yang rasional sekali.

"Ini semua berhubungan dengan untung rugi! Kau bekerja denganku dan aku terikat dengan perusahaanku! Kau harusnya paham hal kecil semacam ini! Jika kau tak mengerti kau boleh pergi dan membawa lagi tulisanmu itu!" indra lalu menggebrak meja di depanku, sehingga beberapa ampas kopi muncrat hampir mengenai kemeja dan sweterku ini.

"Kau mengusirku? Setelah tadi kau memuji karyaku kawan? apa-apaan ini!" aku menunjuk ke arah matanya.

"Silahkan ambil dan keluarlah jika kau tak bisa bekerjasama denganku! Aku tak pernah peduli dengan penulis yang sok jago dan egois sepertimu ini! Tugasku selain mencari naskah terbaik juga membuat naskah tersebut laku di pasaran! Dan semua harus mengikuti aturan serta syarat yang berlaku olehku!"

"Kurang ajar!"

"Baiklah aku baka suruh satpam mengambil naskahmu itu! Lalu kau boleh keluar dan jauh-jauh lah dari tempat ini! Hadapi saja egoismu itu kawan!"

Tanpa banyak katakata, aku balik ka badan dan menuju ruangannya. Biar kuambil sendiri, dan biar tempat ini menjadi pelajaran buruk bagiku.

Bagaimana bisa seorang penulis dipaksa mengubah isi dari tulisannya sendiri? Ia siapa? Dengan dalih materi yang sangat tak pernah ku suka sebelumnya.

Biarlah buku ini menjadi apa adanya seperti ini. Ku buka pintu ruangannya dan mengambilnya lalu segera pergi dari kantor penuh kapitalisme ini.

"Kau tak bakal sukses!" indra meneriaki ku dengan tertawa kecil.

"Aku tak pernah peduli dengan kesuksesan! Lebih baik aku hidup dengan harga diri! Daripada menjadi manusia yang mudah diatur oleh kebijakan dan aturan sepertimu!"

Aku puas mengucapkan hal itu. Dan berlari menjauh dari kantornya. Aku akan berjalan, seperti mengingatkanku akan masa masa sekolah yang suram itu. Semua yang dikatakan oleh Indra bakal ku ingat dan ku pegang janjinya. Ia hanya berpikir materi dan uang. Sesuatu yang menggelikan ketika menyadari hidup sudah tak sebebas itu.

"Ia harusnya belajar menghargai tulisan! Aku menulis ini penuh dengan air mata! Jadi tak bisa kutukar dengan materi dan uang saja!  Uang hanya menjadi alat pemuas hidup manusia dan aku selalu menolak hal itu!"

Cuaca mulai panas, cahaya matahari jatuh menimpa beberapa kendaraan yang melaju pelan di jalan kota ini. Aku yang berjalan letih menyusuri trotoar hanya bisa bergumam saja meratapi hidupku.

"Bagaimana bisa ia memikirkan kesuksesan disaat seperti ini? Ia hanya memanfaatkan aku saja! Bajingan!"

Semua yang terlontar dari mulutku tak pernah seburuk ini. Indra telah melukai kepercayaan yang telah kubangun terhadap nya. Aku hanya ingin ia menerbitkannya, tam butuh banyak kepentingan. Sebab aku tak hidup dari popularitas, aku adalah aku dan karyaku ini adalah sebagian dari harga diriku sebagai manusia yang bermartabat.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang