Aku menghampirinya dengan semangat. Langkah kakiku seperti kuda yang dipacu dengan menahan kelaparan. Rambut gelombang itu, tubuh itu seakan merumuskan kedatanganku kepadanya saat ini juga.
Aku percepat Langkah kakiku, dan meninggalkan mobilku terpakir di sebelah utara tempat ini. Orang-orang sudah tak begitu penting bagiku, juga setumpuk naskah novel yang aku tulis lagi, mungkin sudah lupa bagiku.
Harus segera, sebelum ia berlalu dan meninggalkanku lagi dalam kesepian ini. Dan ia pun menoleh Ketika aku memanggilnya dengan sapaan khasku dulu.
"Pita sedang apa kamu disini?" ia menoleh dan sedikit membuatku mengernyitkan dahi.
"Salah orang Mas, saya bukan Pita!" aku masih terdiam, sebab wajahnya yang sangat khas dan mirip sekali.
"Ah masak kamu bukan Pita? Wajahmu mirip banget loh!" bantah aku yang masih belum percaya akan jawabannya.
"Manusia bernama Pita itu banyak dan manusia yang kembarpun mungkin banyak! Saya tidak bohong, kalua anda memaksa, saya bisa-bisa teriak nih sekarang juga!" jawabannya yang judes, malah membuatku tertarik untuk bertanya lagi.
"Tapi bukankah kemiripan manusia itu sedikit? Atau jangan-jangan kamu ini diturunkan Tuhan buat pengganti Pita?"
"Eh jangan semabarangan loh ya! Saya tidak kenal anda, dan anda tidak kenal saya juga kan? Jangan sembarangan, anda bisa saya teriaki maling ya!"
"Loh jangan lah! Ngapain juga saya takut, saya kan Cuma nanya anda Pita atau bukan? Gitu aja judesnya kebangetan seh! Tinggal jawab baik-baik kan bisa?" aku sedikit terpancing dengan jawaban perempuan mirip Pita ini.
"Terus mau kamu apa? Kan sudah saya jawab saya bukan Pita! Kenal saja kagak kok berani-beraninya bilang begitu, anda tahu kan saya punya privasi? Anda sudah mengganggu privasi saya! Jujur kenyamanan saya serentak jadi hilang gara-gara kedatangan anda ini!"
"Kok saya yang justru dimarahi? Saya Cuma tanya tinggal anda jawab beres kan? Kalua anda sudah jawab terus saya bercanda memang gak boleh? Sejak kapan manusia jadi sebegitu menyeramkan seh?" aku terus berpaling segera, meninggalkan perempuan judes yang hanya mirip Pita secara fisik saja.
Perempuan tetap saja nyerocos dan bahkan melarang aku untuk pergi begitu saja, aku pun geram dibuatnya dengan segera aku angkat alis mataku yang menandakan jika diriku begitu kesal dengan kelakuannya ini.
"Siapa yang nyuruh lo pergi sekarang? Tanpa meminta maaf, tanpa etika baik untuk meminta maaf? Lo sudah buat kenyamanan saya terganngu segera minta maaf sekarang juga!" matanya memerah dengan setelan jeans ketat, dan rambut yang bergelombang, ia sungguh menarik hati sebetulnya. Tapi karena wataknya yang seperti kucing kelaparan, maka kecantikannya pun jadi api.
"Buat apa saya meminta maaf kepada anda? Saya merasa gak salah kok! Anda saja yang sensian jadi orang! Datang bulan ya! Atau lagi banyak hutang sampai-sampai orang nanya saja seperti orang yang menagih hutang kepada anda?"
"Eh sembarangan mulutmu itu! Lo itu kurang ajar ya? Gak pernah di sekolahkan orang tua tah? Atau minimal diajarkan sopan santun sama orang tuamu!" sejenak aku menatapnya tajam, dan menghela napas dalam-dalam.
"Mungkin saya tidak seberuntung anda untuk urusan itu! Anda benar kedua orang tua saya saja sudah meninggal. Untuk urusan itu saya hanya pasrah dan mungkin menganggab anggapan anda benar terhadap saya," dia langusng berdiri dan memandang kedua mata saya. Serta membiarkan penyesalan mungkin datang untuknya.
"Bukan maksud saya berkata demikian..."
"Anda benar kok? Dan mungkin kedua orang tua saya akan sedih kalua melihat saya kurang ajar seperti ini kepada perempuan! Saya izin pergi, semoga anda baik-baik saja. Sudah menjelang malam, mungkin lebih anda segera pulang saja!" aku menundukkan maaf, pertanda jika ada kesalahan di dalam ucapanku yang bahkan menyinggung dia tadi.
"Gak gitu Mas! Saya benar-benar tidak ada maksud untuk mengatakan itu kalua saja...." Aku harus memotong percakapan ini, sebelum semakin rumit dan Panjang.
"Nama saya Lara, doakan saja di dalam doamu kebaikan dan keselamatan untuk hidup saya Mbak!" aku pergi meninggalkan desir angin yang menyisiri senja hari ini. Semua akan terulang, dan akhirnya pun apa yang aku harapkan tak pernah selesei untuk aku inginkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
KENANGAN (TAMAT)
RomanceAku tahu mencintaimu itu adalah takdir, meski sangat menyakitkan Lara menulis sebuah catatan kisahnya dengan seorang gadis bernama Pita Gora. Gadis dan cinta pertamanya yang membuatnya punya gairah hidup dan membuatnya hancur lebur. #melodylan (ran...