Part 14

207 96 16
                                    

Kita akan selalu punya rahasia
Di dalam hidup ini
Semuanya dipenuhi rahasia
Juga rahasiaku
Kepada hatimu

Alunan gitar itu terdengar syahdu saat aku melamun di dekat halte bus di kota ini. Kepalaku penuh dengan kesesakan hidup, ibu yang semakin buruk keadaannya, juga Pita yang tak kunjung ada kabar lagi.

Di sekolah pun ia hanya memandang ku dari kejauhan, sesekali seperti menangis, menahan sesuatu yang lebih rahasia di dalam hatinya.

Aku gusar, sebab firasat ku berkata tak baik. Ada kejadian yang membuatnya tertekan seperti itu, dan ketika ku hampiri dia, ia menjauh. Seolah diriku adalah cowok yang tak ingin dia sakiti.

Justru ini semakin membuatku sakit hati. Sepanjang waktu, sudah hampir lebih sebulan setelah kedekatan itu. Aku tak pernah lagi berbicara kepadanya. Di handphone pun, ia hanya membalas seadanya iya ada apa? Kira-kira jawaban itu yang selalu muncul dari pesannya.

Tentu hal ini membuatku hampa, ku pandangi selalu foto manisnya di album handphone ku. Moment saat ia bermain di rumah, dan di dekat ibu yang sedang sakit pula.

Aku tarik napas dalam, mencoba memasukkan polusi yang ada di sekitar kota ini. Sedang gedung-gedung, dan pertokoan ramai akan pengunjung dan di sana suara bus-bus kota menyeruak membuat risih telinga ku.

Setelah itu ku lalui jalan di kota yang makin sumpek ini. Ku lihat orang-orang seperti sadar akan susahnya hidup di zaman seperti ini. Dan barang tentu, Pita hanyalah urusan hati, yang bisa menyulut emosi kapan saja.

Aku teringat kejadian dua hari lalu, di sebelah kantin Pita dan angga duduk bermesraan tanpa tahu malu. Aku hampiri mereka berdua dan menegornya.

"Apa kalian gak mau dilihat banyak teman-teman yang lain?" dengan angkuhnya angga menjawab.

"Mereka tak masalah dengan apa yang ku lakukan sama pita, kenapa kau yang sewot?"

Pita hanya diam, ia seakan setuju dengan apa yang ku katakan barusan.

"Kau ini selalu ikut campur urusan orang, apa kau kurang kerjaan hah? Kalau kurang kerjaan, di rumah banyak, jadi babu tapi!" angga merendahkan ku di hadapan teman-teman yang lain.

Sorot mata yang tajam dan penuh akal busuk itu nyata. "Kalau jau ingin cari ribut ayo sini!" aku mencoba menahan amarah, tenang dengan berharap Pita membelaku.

"Jangan pernah ikut campur urusan orang lain! Dasar orang rendahan! Kau ini seharusnya paham dan sadar seperti apa dirimu sendiri!" kata-kata itu membuat yang tertawa, mereka puas menertawakan ku dan angga berhasil memalukan ku di hadapan Pita sendiri.

"Menjauh lah Lara," suara pasi yang terdengar menyedihkan.

"Apa kau bilang?" aku tak percaya.

"Menjauhlah dari sini, jangan buat aku malu dengan tingkahku sendiri," Pita seperti menangis, ia berdiri lalu menarik tangan Angga yang tegang.

"Sekali lagi kau ikut campur urusanku, hidupmu tak bakal tenang di sekolah ini!" mendengar itu, aku justru menantang nya.

"Silahkan jika kau bisa!" lalu suara pita terdengar serak, dan menyentakku dengan nada yang kasar sekali.

"Pergilah dari hidupku lelaki bodoh tak punya pikiran!" kata-kata yang bakal ky ingat selamanya. Aku sungguh malu, menahan sakit hati yang teramat dalam ini.

Mengenang itu, aku tersenyum, dan melempar batu yang ku tendang di sebelah trotoar jalan berdebu. Keadaan yang miskin, hidup yang tak jelas. Ya, mungkin benar yang dikatakan Pita. Aku adalah lelaki bodoh dan tak punya pikiran.

Semua berlalu begitu saja, menanti yang akan kembali dan berharap waktu memutar nya lagi.

*

Pintu itu terbuka lebar, cuaca siang ini begitu menusuk tulang. Tuhan sengaja membakar tulang agar dosa diangkat ke dalam jurang.

Ibu lagi-lagi menatap foto ayah. Dan sesekali memeluknya dengan napas yang panjang. Ibu tahu ayah sudah meninggal, tapi ia percaya jika arwahnya selalu menemani ibu setiap waktu.

"Sudah pulang nak?"

"Iya bu, nanti sore lara juga mau ke pengangkutan pasir, lumayan buat tambah-tambah kebutuhan kita sehari-hari," ibu menoleh, dan berkata dengan nada lirih.

"Habis lulus kau mau kemana nak?"

"Entahlah bu, satu bulan lagi aku ujian dan lulusan," aku selalu kecewa dengan nasib ini.

"Ibu tak bisa menyekolahkan kamu lagi nak? Keadaan kita sudah seperti ini, seandainya ayah masih ada, mungkin kau bisa kuliah tinggi."

"Ya bu, lara paham semuanya kok! Mangkanya lara tak ingin bicara ini dulu, biarkan mengalir saja seperti air. Dan biarkan lara menentukan pilihan lara sendiri bu," aku membuka jendela kamarku, sambil bicara dengan ibu yang berjalan tepat di depan kamarku.

"Pilihan apa nak?"

"Pilihan hidupku bu? Aku sudah besar dan aku juga ingin membuat ibu bahagia! Ibu satu-satunya harga itu bagiku sekarang ini, hanya ibu saja seorang," ibu lalu tersenyum, ia menuju ruang tamu melewati lukisan kuno yang menjadi kesukaan ayah.

Lalu aku duduk di atas kasur, menatap ukiran-ukiran manis yang ayah buat di dalam kamarku. Sesekali ku buka perlembar kertas yang ada di meja belajar ku, dan satu kertas jatuh. Kertas yang sudah menguning ini, seperti tulisan tangan ayah sendiri.

Ku baca perlahan, sudah dua bulan yang lalu ternyata tulisan ini. Untuk anakku satu-satunya, ayah sedang mengalami masalah besar, ada seorang yang membenci ayah, dan nyawa ayah seperti akan menjadi taruhannya. Ayah menulis ini ayah tulis hanya untuk jaga jaga saja, kau satu-satunya harapan ayah nak. Mungkin setelah ini akan terjadi sesuatu pada diri ayahmu ini. Kau harus paham anakku, hidup itu adalah ukiran keindahan dan keindahan itu adalah letak dari sebuah keharmonisan.

Ayah sudah tak harmonis, dengan bos ayah sendiri juga dengan beberapa atasan ayah yang selalu ayah lawan karena ayah membela yang adil. Anakku, jaga semuanya, ibumu terutama. Ayah tak bisa menceritakan semuanya kepadamu. Intinya adalah, orang terdekat adalah musuh terbesar kita suatu saat nanti, dan ayah mengalami ini sekarang. Nyawa ayah terancam, dan kalian juga adalah taruhan dari nyawa ayah ini. Kalian selamat, itu sudah cukup bagi ayah.

Keselamatan kalian adalah pilihan ayah sendiri. Jika kau berhasil, maka jagalah ibu mu selalu, ingatkan dia akan Tuhan dan agamanya. Kau adalah penanggung jawab semuanya sekarang nak. Rahasia ini, jangan kau katakan pada ibu. Biarkan ibumu menerimanya se berjalan nya waktu nak.

Semuanya sudah menjadi pilihan, dan untuk masa depan, jangan pernah kau mencari tahu di balik semua yang menimpa ayahmu ini. Jalan ka saja hidupmu seperti biasa. Biarkan ayah yang menanggung semuanya sendiri. Anakku kau adalah yang terbaik bagi ayah dan ibumu.

Aku terkaget, napasku tersengal kencang. Ayah dan rahasianya? Segera ku letakkan kertas itu lagi. Membiarkannya hilang karena diriku takut akan fakta ini.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang