Part 42

42 29 0
                                    

Tak usah bicara cinta jika masih merasa saling berdusta, tak usah bilang sayang jika masih suka menyakiti perasaan

Semua bayangan seperti datang kepadaku malam ini. Bayangan ayah dan ibu yang menangis dan seberkas cahaya putih yang datang menjenguk dan mengelus keningku. Aku yang sedang roboh di lantai berusaha membangunkan sendiri tubuh ini. Semakin rapuh dan terasa sakit sekali.

Tulang-tulang seperti dibakar dan disiram air mendidih. Terasa sampai ketulang-tulang paling dalam. Sebetulnya aku ingat jika ini ada hubungan dengan apa yang sedang kualami akhir-akhir ini. Susah tidur dan selalu membayangkan imajinasi yang liar sekali.

Aku tatap cahaya jendela yang mendekat ke dalam ingatan. Seperti kepalaku yang linglung melihat diriku sendiri. Seberapa payah tubuh ini jika dibandingkan dengan kenangan di masa lalu? Masa-masa di mana Pita merangkul dan berjalan bersama denganku.

Sekarang? Hanya ini yang bisa kudekap dalam gelap yang sengsara. Hanya sebatas bau alkohol dan keriputnya kulit-kulitku akibat panas yang ku minum barusan. Rambut yang kusut juga membuat diri ini mirip iblis ketimbang manusia yang berbudi hatinya.

"Kau ini tak layak hidup jika yang kau lakukan hanyalah mengeluh dan tak segera bangkit menghadapi hidupmu!"

"Hahaha...." aku tertawa keras sekali, lalu membanting segelas bir yang muncrat di sekitar lantai rumah ini.

"Siapa kau berani-beraninya mengatur hidupku?" aku tak melihat siapapun, tapi suara itu sangatlah mengganggu dan membuatku gelisah sekali.

"Aku adalah bayanganmu sendiri! Kau adalah aku dan aku adalah kau!"

"Apa?"

"Aku adalah dirimu sendiri bangsat! Kau menyakiti dirimu sendiri! Kau membuat dirimu sendiri masuk lebih dalam ke jurang hitam itu!"

"Apa hakmu mengaturku bangsat!" lalu aku banting lagi segelas bir sisa yang berada di sampingku. Suara pecahannya sepertinya terdengar sampai ke luar rumah. Tapi aku tak sadar, hanya mendekam sambil menggerutu kepada bayangan ini.

"Apa hakmu mengaturku hah? Apakah kau ingin menjadi Indra lainnya? Indra yang busuk dan memanfaatkanku itu? Apakah kau seperti Indra hah? Jawab pertanyaanku!" aku berdiri sambil menunjuk-nunjuk apapun yang kurasakan buram ini.

"Kau hampir sama dengannya, bahkan kau lebih parah darinya! Ia masih bisa dan peduli dengan dirinya sendiri! Lalu kau? Kau hanya semakin menyedihkan saja! Sudah tak layak kau mengakui dan menempati tubuhmu itu!" suara itu mengaturku, seakan-akan ia adalah yang paling benar saja di dunia dan hidupku ini.

"Apa urusanmu hah? Kau tak bisa menuntutku dan kau tak bisa mengatakan salah begitu mudah kepadaku kurang ajar! Kau saja tak mengenalku, keluarlah datanglah sini mari kita berbicara jantan sebagai lelaki!"

Aku tak terima jika ada yang langsung berkata demikian kepadaku. Siapa ia? Apa haknya berbicara seperti itu? Apakah ia pemilik kebenaran itu? Bukankah kebenaran hanya dimiliki oleh ia yang paling sempurna di dunia ini? Sedangkan kesempurnaan tak bakal ada di dunia selama Tuhan masih dianggap ada oleh seluruh umat manusia.

Aku duduk dan berusaha melihat kondisi sekitarku. Cahaya lampu yang temaram semakin merusak pandanganku, tanganku ternyata berdarah oleh pecahan kaca-kaca bir yang ku banting barusan. Bau alkohol begitu menyengat ke dalam hidungku. Bau yang tak biasa dan bisa membuat orang muntah dalam seketika.

Aku berjalan sempoyongan, dan sudah tak mendengar lagi suara aneh itu. Suara yang sangat mirip dengan suaraku sendiri.

"Kau menyedihkan!"

"Datang lagi? Keluarlah sini, hadapi aku secara jantan kurang ajar!"

"Aku adalah bagian dari dirimu sendiri, bagaimana bisa aku akan datang di hadapanmu?"

"Jangan berbicara lelucon, jika kau taku maka aku yang bakal menghampirimu! Aku bukan sosok yang bisa diatur-atur dan diberi tahu seperti bocah ingusan!"

"Kenyataannya adalah kau masih seperti bocah ingusan! Bahkan lebih ingusan ketimbang bocah!"

"Apa kau bilang hah?" tanpa disadari aku berlari menuju luar rumah. Cahaya bulan yang begitu terang menyinari tubuhku ini. Antara sadar semua masuk seperti kebencian yang begitu dalam.

"Jangan harap kau bisa melewati semua ini, jika kau sendiri masih bingung akan jalan hidupmu! Kebencianmu kepada orang lain telah membuatmu keluar dari jalur keindahan! Kenapa kau peduli dengan mereka? Kenapa tak kau cari sendiri kebahagiaanmu itu? Kau masih bisa mencari jawaban itu, sebelum Tuhan datang dan mencabut semua yang kau miliki di dalam hidup! Kau masih punya kesempatan! Dan kau masih punya harapan. Aku harap kau bisa menerimanya, menerima jika dimasa lalu akan selalu ada kejahatan dan kejahatan itu yang bakal membuatmu semakin dewasa setiap saat!"

"Kau sok tahu!"

"Entahlah, aku memang sok tahu! Karena kau juga sebagian dari sok ketahuanku ini!" suara itu lalu menjauh, pergi meninggalkan aku yang roboh tepat di pelataran rumahku. Cahaya bulan menyinari semuanya di dalam kenangan. Seperti ilalang yang membekas di masa lalu.

Wajah ayah dan ibu melambai di atas langit itu. Menangis melihat anaknya yang rapuh dan kurang ajar ini. Kenapa bisa seperti ini? Harapan-harapan telah kosong dan semakin menjauh dari segala kebahagiaan.

Aku linglung. Tubuhku lemah tak berdaya, ketika sepoi angin mengibas rasa sakit yang kurasakan di dalam dada ini. Semuanya terasa begitu sunyi, tak lagi kudengar suara itu. Yang ada hanya langkah kaki orang-orang yang mungkin melihatku sekarat seperti ini.

"Lara kenapa?"

"Cepat bawa ke mobil! Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!"

Hanya suara-suara itu yang terdengar. Desir angin yang menyedihkan dan bau alkohol yang memabukkan. Wajah ayah dan ibu semakin sekarat saja, melihat busa putih keluar dari mulutku. Aku tak kuat menahan panas di dalam dada ini, merasakan penyesalan yang begitu dalam datang kepadaku.

"Apa yang barusan ku lakukan?" di dalam hati ini aku menangis. Berusaha memandang orang-orang yang membopohku masuk ke dalam mobil.

"Bertahanlah, Nak? Ayah dan ibumu sangat berharap banyak kepadamu sebenarnya! Kenapa kau tega melakukan ini ke tubuhmu sendiri?" wajah itu juga menangis, aku pun tak kuasa menahan air mata yang jatuh menahan sakit ini.

Dada yang panas dan semua isi kepala yang mabuk. Membuat aku tak sadarkan diri sekejap saja. Yang aku ingat hanyalah, jika penyesalan hanya akan membuatku kita semakin sadar dan dekat dengan kebinasaan ini.

Suara mesin mobil melaju cepat. Menyusuri jalan-jalan kota yang mendekat ke dalam sukmaku sendiri. Ini adalah awal, atau mungkin nyawaku sudah tak bisa diselamatkan lagi. Kupasrahkan semuanya kepadaMu.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang