Part 30

78 39 6
                                    

Kedewasaan adalah bentuk dari keberhasilan melawan masalah dan melawan problem diri sendiri



Kegilaan apa yang sedang merasuki diriku ini, cinta yang seperti belati di dalam hati. Sampai-sampai temanku membelaku seperti itu tadi. Aku tak bisa membenarkan tindakannya, sebab bagaimanapun keputusan Pita adalah mutlak, urusan apa ia mencari tahu tentang angga? Aku memang menaruh curiga terhadap cowok itu. Tapi kecurigaanku patah, setelah melihat Pita begitu manja dengannya.

Saat itu senja sudah menampakkan wajahnya, di sebuah taman di kota ini. Saat itu aku sedang berjalan sehabis pulang kerja, membantu ibu adalah tugasku saat ini. Tak ada niat untuk memikirkan Pita sama sekali. Tapi saat aku duduk di salah satu sudut taman itu, wajahku dan tatapanku dikagetkan dengan sosok Pita yan sedang mesra dengan Angga. Ingin sekali menegor mereka berdua, tak layak seperti itu, bermesraan di tempat umum jelas bukan sesuatu yang patut ditiru bukan? Aku tahan emosi, sebab tak ada hak untukku menegor mereka berdua.

Aku melihat kedua pipi Pita di elus-elus Angga, di satu sisi Pita merangkul pinggang Angga sampai hampir jatuh ke seperempat perutnya. Di sisi yang lain, rambut Pita yang bergelombang melambai-lambai diterpa angin dan menerpa wajah Angga yang putih itu. Sementara aku melihat sendiriku yang dekil dan hitam, sinar matahari dan debu membuat aku tak merawat diriku sendiri. Tak ada waktu untuk memikirkan hal itu semua.

Sepertinya orang-orang sedikit risih dengan kemesraan mereka berdua. Sampai ada satu penjaga taman dengan tergesa-gesa menghampiri dan hampir saja memukul wajah Angga. Aku kaget dan sontak, berlari menuju mereka berdua. Dengan harapan, biar meluruskan masalah dan menyelamatkan Pita dari hal memalukan ini.

"Ada apa ini?" kemudian Pita memandangku penuh curiga, ia sakan risih dengan kedatanganku ini.

"Lara? Sedang apa kau disini? Tak usah ikut campur urusanku!" ia melempar wajahnya dan berbicara dengan penjaga taman ini.

"Kalian sudah baca aturan ditempat ini bukan? Dilarang untuk bermesraan! Kalau sudah tak kuat mending menikah saja! Urusan kayak begini-begini yang bisa membuat taman ini menjadi buruk kesannya!"

"Kita bermesraan seperti apa pak?" Angga membantah tuduhan dari penjaga taman ini.

"Kalau kita berdua bermesraan, pasti sejak tadi orang-orang bakal menegor kita berdua! Buktinya apa? Orang-orang saja masih menganggap kita berdua bisa-biasa saja? Jangan asal nuduh dong!" Angga mengacungkan jari tengahnya kepada petugas taman itu.

"Tapi orang-orang sejak tadi sudah memantau kalian berdua, malah aku ingin menghampiri kalian takut-takut orang marah dan menyuruh kalian pergi!" aku sebetulnya ingin meluruskan masalah ini.

"Apa-apan seh! Kau tak usah ikut campur busuk!" Angga menghinaku, sebab ia hanya melihat penampilanku yang kusut ini. Ingin sekali melawannya, tapi melihat Pita diriku menjadi lemah, dan membiarkan hinaan itu berlalu saja.

"Mending kau pulang saja! Urusanku dengan Angga dan bapak ini biar menjadi urusanku sendiri! Tak usah sok baik dan menganggap apa yang kita lakukan salah! Aku heran denganmu ini? Dimana-mana sekarang selalu ada dirimu!" mata Pita memendam amarah terhadapku, aku tak bisa melawan. Ada kekalahan atas dasar cinta yang membuat aku lemah seperti ini.

Aku menundukkan kepala, menarik ujung rambutku sampai kebelakang, sambil menghela napas panjang. Pita masih saja mengomeli petugas taman itu, dan Angga seperti kacung yang hanya bisa menjawab iya dan iya saja. Aku lalu, berpaling darinya, melupakan kebaikanku yang justru ia hina di hadapan orang tua pula.

"Sekali lagi kau ikut campur urusanku, maka kau berhak aku ancam! Tak usah ikut campur urusan orang jika tak ingin cari masalah!"

"Kita memang punya hubungan sebelumnya! Tapi itu sudah ku lupakan, aku sudah lupa semua yang pernah kita alami berdua! Sudah ku buang juga semuanya! Kenangan dan pemberianmu yang murah itu! Apa itu tak cukup membuatmu sakit hati? Mending kau urus ibumu dan jauhi aku! Ini hidupku kau tak perlu ikut campur, biarkan semuanya menjadi bebanku saja! Paham kan?" aku tersenyum pasi mendengar perkataan Pita barusan. Dan dengan lapang dada, aku berjalan tak menjawab semua tuduhan dan hinaan dari Pita dan Angga. Mungkin Tuhan benar, orang sepertiku tak pantas dengan kesempurnaan cinta ini.

Aku melihat sandal jepitku yang hampir putus ini, sambil berjalan pulang dan melihat keadaan ibu yang semakin parah saja. Dari kejauhan suara Pita masih terdengar berdebat dengan penjaga itu. Sesekali Angga memotong dan mengancam penjaga itu. Kau sudah berubah begitu jauh Pit, Pita yang dulu aku kenal tak seperti ini, sungguh jauh berbeda dengan kesan pertama aku mengenalmu.

Air mata akhirnya jatuh perlahan, membiarkan semuanya larut ke dalam kepahitan hidup. Senja memancarkan kehangatannya, seperti ini nasib kemiskinan. Aku menahan sakit sampai ke ulu hati yang membuatku ingin memuntahkan semuanya. Kegetiran yang ku rasakan adalah tanda jika Tuhan sedang menguji kesabaranku ini.

Aku usap air mataku, teringat wajah Pita yang hangat itu sambil mengusap semua kepedihan hatiku. Ia seperti memakai topeng dari kejahatannya saat ini, aku tak pernah tahu ada rahasia apa di balik ini semua. Aku kalah dengan keadaan, niat baikku sore ini semakin membuat diriku hina di hadapan Pita.

"Jika kau tahu isi hatiku, maka kau tak bakal ingin melihatku menangis seperti ini! Aku harap yang terbaik untukmu, entah seperti apa ke depannya! Semua biarlah berjalan begitu saja, antara kau dan aku sudah tak ada dinding pembatas bernama cinta."

Aku berjalan seperti orang kesakitan, membiarkan semua cahaya senja masuk ke dalam rongga kehidupanku. Semua ini adalah takdir, dan aku tak ingin membuat takdir itu hilang dan sirna di dalam hadapan mataku.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang