Part 47

44 28 2
                                    

Kalau kekasih mu merindukan dirimu, hal pertama yang harus kau lakukan ialah membiarkan kekasihmu itu semakin gila akan rindunya

Hari ini tibalah sudah. Semua urusan dan keinginan yang berliku dari impianku. Sebuah impian yang tak pernah ku bayangkan bisa kutempuh dan kudapat secepat ini. Semua memang berkat orang-orang terbaik di sekitar diriku ini. Tanpa mereka aku bukanlah apa-apa, hanya sebatas penulis ingusan yang mungkin tak bakal pernah dianggap penting oleh sekitar dan penulis yang lain.

Cuaca hari ini begitu cerahnya. Beberapa wartawan cetak dan online sudah berkumpul ingin melihat peluncuran buku ku ini. Sempat ada perdebatan ketika aku dan Indra ingin memberikan judul yang tepat.

"Anatema saja judulnya!" Indra memberi saran judul dan sepertinya ia ingin judul itu yang ia inginkan.

"Kalau Pita Anatema bagaimana?" aku menyanggahnya dan memohon untuk memasukkan nama Pita ke dalam judul itu.

"Terlalu heroik kawanku!"

"Alasannya apa?"

"Ketika kau memasukkan nama Pita ke dalam sampul depan atau judul, maka orang akan dengan mudah menebak isi dari buku itu adalah tentang kisah cinta antara penulis dan tokoh utamanya adalah Pita!" Indra memiringkan kepalanya bersender di antara kaca jendela, yang seakan paham betapa lelahnya dirinya itu.

"Tapi bukankah itu lebih baik? Kita tak menyembunyikan maksud dari isi buku itu? Bukankah itu sebuah kejujuran kawanku?" aku menyanggahnya dan sebetulnya hanya ingin mendengar alasan logis dari Indra saja.

"Memang kau benar! Tapi bukankah sastra dibuat untuk menyembunyikan kesan itu? Sastra itu imajinasi yang harus ditelaah maksudnya lebih dalam untuk pembaca! Kau ingin yang mana? Kita tawarkan saja, dan tentunya kau yang memutuskan!"

Aku tak langsung menjawabnya. Ku pikirkan sampai ada satu titik yang bisa ku pahami, ketika terlalu mencolok isinya, maka tentu pembaca akan merasa kurang tertari. Jangan terlalu jujur ketika kau menilai tulisanmu apalagi itu sebuah karya sastra, yang kau agung-agungkan isinya.

"Lara bagaimana?" Indra menegorku untuk segera memberikan jawaban pasti atas judul buku ini.

"Anatema terlihat lebih misterius!"

"Jadi?"

"Ya aku pilih Anatema kawanku! Kau benar pada bagian yang kau sebutkan tadi! Sastra harus menyembunyikan maksud dari inti sarinya sendiri! Dan tentu orang akan curiga ketika mendengar kata Anatema kan?"

"Anatema atau sebuah kutukan yang berbuntut kesedihan!"

"Ya tentunya kau sangat paham akan maksud dari isi buku ini," Indra lalu mengangguk, ia membalikkan badan dan menyuruh karyawannya untuk mencetak lebih banyak.

"Dengar! ANATEMA!"

Karyawan-karyawan itu malah bingung dan penasaran dengan judul itu. Mereka seperti justru ingin memiliki buku ini. Aku tersenyum lepas dengan melipat kerah hem putihku yang sudah mulai bekeringat ini.

Pada bagian-bagian lain, orang-orang sibuk meneliti beberapa rak buku dan dipajangnya buku ku ini. Indra yang tampak terlihat sibuk menghampiriku yang sedang kebingungan ini. Ia menepukku dan menyuruh diriku untuk nimbrung di antara obrolan mereka.

"Tuan Lara!"

"Penulis yang jenius!"

"Apakah yang kau tulis adalah bagian dari isi hatimu sendiri?" tanya salah satu orang penting yang menghadiri acaraku ini.

"Tentunya jika ingin tahu, kawan-kawan harus membeli buku ini kan?" aku melirikkan mata dan melihat ekspresi mereka yang bahagia sekali.

"Tentu! Kami semua bakal membeli dan membaca karyamu itu!" sahut salah satu orang di samping kiriku dengan jas hitam dan sepasang sepatu kulit mengkilat yang begitu mengagumkan.

"Oh ini pak Bondan, Lara!" Indra mengenalkanku dan mengatakan jika orang ini adalah pemimpin acaraku.

"Terimakasih atas appresiasinya Pak? Tanpa anda aku bukanlah siapa-siapa hari ini!"

"Penulis harus dihargai! Siapapun mereka, mereka harus dihargai melebihi kita menghargai diri sendiri!"

"Terimakasih sekali lagi Pak!"

Gemuruh suara orang dan kesibukan mulai tampak. Aku menjadi gugup dan Indra sedikit menenangkanku, jangan memalukan. Ia seperti berbisik kepadaku ketika sorot kamera dengan cepat menyoroti wajah kita semua. Di depan hanya ada aku dan Indra serta Pak Bondan si tuan rumah acara ini.

Di depanku ada lima buku yang dipajang di atas meja berbahan jati dengan rak-rak buku yang berjejeran indah sekali. Buku tebal ini mengundang kecurigaan berlebih di atas sana. Para kritikus ingin menemuiku dan Indra menyuruhku untuk berhati-hati kepada mereka.

Ya, terkadang para kritikus hanya iri saja. Tugas dan kepunyaan mereka hanya ngoceh dan ngritik. Mereka tak punya keahlian dan waktu lebih untuk berkarya. Jadi aku setuju dengan Indra dan memang aku harus lebih hati-hati setelah ini.

Semua seperti kosong, sepintas ku lihat ayah dan ibu seperti hadir di antara para undangan dan tamu yang sedang duduk di depanku. Mereka berdua tersenyum dengan wajah sumringah sekali. Ayah juga sesekali melambaikan tangan dan berucap, "Ayah dan ibu bangga kau bisa mencapai kenginanmu sedari kecil Nak?" suara hati itu menyeruak begitu dalam di lubuk jiwaku ini.

Aku tak ingin sedih hati. Aku harus kuat dan harus menunjukkan kewibawaan tinggi di hadapan mereka semua. Aku ambil alih acara, dan mulai bercerita begitu panjangnya tentang semua ini dan tentang isi dari buku ini.

Aku ambil alih ingatan dan waktu mereka semua. Membuat hanya aku yang menjadi primadona di acara ini. Dan mereka semua terdiam dan menyadari akan kejujuran yang aku tulis selama ini. Dimana tak bakal ada keindahan tanpa air mata. Kesuksesan adalah hal lain, semua yang pernah ku alami lebih dari itu semuanya.

Indra terlihat bahagia ketika melihat diriku berbicara di hadapan mereka semua. Buku yang tebal dan harga diriku kembali naik, setelah hancur oleh kepingan cinta. Seandainya Pita ada di sini, mungkin kebahagiaanku akan menjadi lebih sempurna. Indra seolah menyuruhku untuk cepat melihat di ujung pintu ruang masuk.

"Lihatlah siapa itu yang ada di ujung pintu?"

Aku tak berpikir apa-apa, hanya bisa terkejut dan gelisah yang bercampur dengan kebahagiaan sejati. Perempuan dengn rambut gelombang, lesung pipi dan kulit putihnya yang menyeruakkan harum bunga mawar.

Perempuan itu lalu berdiri, dengan anggunnya dan tersenyum kepadaku. Orang-orang hanya bisa diam dan tak mengerti dengan apa yang ku lihat sekarang ini.

"Pak Lara bisa dilanjutkan lagi?" kata seorang di sampingku yang seperti curiga dengan apa yang aku alami sekarang ini.

"Oh tentu!"

"Pita datang di acara ini? Kenapa aku baru menyadarinya? Ia datang dengan satu anak mungil yang ia gandeng yang begitu cantiknya. Senyum itu seperti sapaan akan kerinduan yang begitu panjang. Ia berdiri dan menundukkan kepalanya kepadaku.

"Tunggu setelah ini aku akan menghampirimu Pita!" di dalam hati aku berteriak, dan dengan tergesa-gesa ingin menyudahi acara ini. Lalu Indra berkata dengan sedikit pelan kepadaku.

"Pita akan menemuimu setelah acara ini selesai! Aku sudah memintanya tadi!"

"Jadi kau?"

Indra tersenyum dan aku pun merasa legah ketika ia berkata demikian kepadaku. Semua ini seperti mimpi. Mimpi yang tak bakal bisa diungkapkan dengan sepatah kata pun. Antara Pita dan aku selamanya akan menjadi kenangan terindah. Aku pun kembali melanjutkan pembicaraanku ini. Orang-orang kembali serius dan menyudahi waktu dengan keadaan yang tak begitu menentu.

"Akan ku tanyakan banyak hal kepadanya habis ini!" hatiku bergemuruh kencang dan menyudahi semuanya dengan tepuk tangan meriah mereka semua.

KENANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang