Menahan rindu
Adalah cara terbaik
Untuk menyimpan piluSudah ku duga pemandangan di tempat ini begitu indah. Pegunungan terhampar seperti negeri di atas awan. Memunculkan kesan jika Tuhan adalah penikmat kesejukan dan kedamaian.
Aku buka perlahan kedua mataku, berusaha selebar mungkin memandang apa yang ada di luar jendela kamar ku. Ku tarik selimut ini, tubuhku masih terasa capek sekali. Perjalanan tadi malam benar-benar melelahkan pikiran dan fisik ku.
Ku tarik jendela, agar udara masuk begitu enaknya. Perlahan kicau burung gereja pun datang melantunkan keindahan yang lainnya. Untuk apa semuanya ini, jika di dalam kesedihan, masih ada kenikmatan yang Tuhan ciptakan.
Jauh di depanku sana, petani seperti sedang membajak sawahnya. Ada beberapa orang sedang mengantar anaknya ke sekolah dengan sepeda.
Mereka lalu tersenyum menyapaku dengan sejuk saja. Ku balas senyum mereka, penuh kedamaian juga.
Tuhan sepertinya tahu keinginanku, melepas semuanya demi pikiran dan kebaikan ku sendiri. Perlahan aku sudah melupakan Lara dan Angga yang mungkin sedang galau dengan hilangnya diriku.
Terutama Lara, jadi aku ingin melepas semua ini. Dan menjaga apa yang telah menjadi benih dari semua ini.
Saat aku sedang asyik menikmati pemandangan, seseorang masuk dengan agak malu. Sesosok cewek yang seumuran denganku. Dengan wajah polos dan kulit yang sawo matang. Logatnya sangat kental.
"Non, ibu menyuruh segera sarapan pagi, sudah ibu siapkan buat nona," aku agak kebingungan dengan ini.
"Kau siapa? Apa ibu dan ayah sudah menemukan pembantu?"
"Oh iya non, saya anak dari pak Umbu yang menjadi penjaga rumah ini, maaf jika saya lancang non?" ia lalu merapikan tempat tidur ku, tak terlihat jika anak ini adalah anak yang jahat.
Wajahnya polos, dengan tatanan hijab yang membuatnya semakin polos saja. Ia lalu perlahan, memperbaiki tempat tidurku dengan pelan dan telaten.
"Siapa namamu? Jangan terlalu kaku ya? Kita ini seumuran, dan kau terlihat anak yang baik kok!" ia bahagia mendengar kesan pertamaku terhadapnya.
"Panggil saja Intan non! Warga setempat juga sering memanggilku Intan! Terimakasih sudah percaya kepada saya," ia lalu membuka lebar-lebar jendela kamarku, membiarkan udara pagi yang sejuk masuk ke dalam tubuh ini.
"Ibu ada dimana tan?" perlahan ku buka pintu kamar.
"Ada di meja makan, sedang menunggu non untuk segera makan juga," intan permisi keluar, sambil membawa selimutku yang sepertinya akan ia cuci juga.
Aku lalu menuju meja makan, dan melihat ibu dan ayah sedang menungguku.
Wajah ayah tampak segar sekali, juga wajah ibu yang bahagia sekali. Dapat kurasakan aura positif yang akan ada di masa depanku.
"Tidur yang nyenyak bukan?" ibu bertanya, sambil mengambilkan nasi dan lauk untuk ku makan.
"Sangat nyenyak bu! Udaranya segar, dan mungkin karena tadi malam aku kecapean!" ayah lalu memberikan aku sebuah benda berbentuk cincin.
"Itu cincin dari nenekmu, kau pakai saja sekarang! Ibumu sudah mengijinkan! Daripada nganggur tak terpakai bukan?" aku tak berani bertanya banyak. Ku iya kan saja pemberian ayah dan ibu ini.
Ku lihat sejenak cincin bermotif bunga mawar ini. Indah sekali, dan ibu menyuruhku untuk memakainya.
"Segara pakai nak? Kau sangat pantas sepertinya!" aku tersipu malu dibuatnya. Lalu pelan sekali, ku masuk kan ke jari manis ku.
Ayah dan ibu bahagia melihat aku memakainya. Dan menyuruhku untuk segera makan dengan lahap.
Suasana pagi di rumah baru ini, seakan mengingat kan diriku akan satu hal. Yaitu bagaimana membuka lembaran baru demi masa depan yang lebih baik.
"Kau akhirnya sadar kan dengan keputusan ayahmu ini?" ayah mengelus keningku.
"Aku hanya ketakutan kalau ayah menjadi sangat marah besar terhadapku, dengan kesalahan yang sudah ku lakukan juga! Aku sudah membuat keluargaku malu, termasuk martabat ayah dan ibu," mendengar itu ayah berdiri membiarkan sisa makanannya dan menghampiri diriku.
"Selalu ada alasan anakku, alasan itulah yang membuat ayah berpikir lagi! Untuk apa memuncak kan amarah? Jika masalah itu tak bakal selesai? Kau pasti tahu sikap dan watak ayahmu ini! Tapi anakku, jika berhubungan dengan darah daging, sekeras apapun watak seseorang, maka ia akan kalah! Dan ayah juga kalah dengan ini," ayah menepuk pundak ku, dan memintaku untuk merenungkan semuanya.
"Disini kau akan berteman dengan Intan! Dia gadis yang baik hati, kau akan betah berteman dengannya, buat dia bahagia dan betah berteman denganmu!"
"Ayah mengijinkan aku berteman dengannya?" aku terheran mendengar perkataan ayah.
"Kenapa tidak anakku? Dia anak yang sangat baik, polos juga ayah yakin dis bisa mengubahmu jadi sosok yang jauh lebih baik lagi!"
Mendengar itu aku pun ikut bahagia, setidaknya ada teman sebaya yang bisa menjadi tempat ku curhat dan menceritakan segalanya.
Aku adalah sosok yang mudah bergaul, karena itulah kebodohanku ini dimanfaatkan oleh angga. Ayah pergi ke luar rumah, dan membiarkan aku sendiri di meja makan ini.
Ibu sedang berada di dalam kamarnya, santai menikmati kesejukan ini. Lalu ku lihat Intan keluar dari ruang belakang.
"Sudah selesai non makannya?" aku jawab iya dengan senyum polos juga.
"Mulai saat ini kita adalah teman oke?" mendengar itu, Intan gugup tak mengerti.
"Maksud non Pita apa ya?"
"Kau dan aku menjadi teman dekat!" wajahnya malah semakin bingung.
"Hah?"
"Iya teman dekatku, biar aku tak kesepian di tempat ini intan!" lalu ia baru sadar, dan senyum merekah tibatiba dari bibirnya yang mungil itu.
Hidup baruku ini yang akan melepas semuanya. Aku telah berjanji akan melupakan semua masa lalu ku. Dimana kita hidup, disitulah keputusan harus diambil. Dan inilah keputusanku. Semuanya harus mengerti dan menerinya dengan lapang dada.

KAMU SEDANG MEMBACA
KENANGAN (TAMAT)
RomanceAku tahu mencintaimu itu adalah takdir, meski sangat menyakitkan Lara menulis sebuah catatan kisahnya dengan seorang gadis bernama Pita Gora. Gadis dan cinta pertamanya yang membuatnya punya gairah hidup dan membuatnya hancur lebur. #melodylan (ran...