-HAPPY READING-
“Mama! Di mana dasi Fika?”
Aira yang sedang merapikan sisa sarapan berdecak pinggang, melihat putrinya yang baru saja turun padahal hari sudah siang.
“Ma? Lihat dasi Fika?” Nafika mengulangi pertanyaannya ketika sudah berada di ujung anak tangga.
“Ini sudah siang, Fika. Dari tadi Mama panggil kamu,” bukannya menjawab, Aira malah mengomel.
“Kesiangan,” Nafika menjawab pendek. Semalaman dia terus menatap jepit rambut yang diberikan Saga hingga jam dua pagi, dan akhirnya kesiangan.
Aira menepuk pelan dahinya. “Astaga, kamu ini, lihat sudah jam berapa sekarang?”
“Masih sempat kok, Ma. Eh! Sekarang jawab pertanyaan Fika, di mana dasi Fika?” Setelah beberapa detik, Nafika tersadar bahwa dia sedang mencari dasinya. Sejak tadi dia kesulitan menemukannya.
“Dasi? Dasi sekolah?” Aira bertanya sambil merapikan sisa sarapan.
“Memang Fika mau pakai dasi apalagi, Ma? Fika masih SMA, nggak mungkin pakai dasi buat ke kantor,” Nafika mencebikkan bibirnya kesal, sambil mencomot sandwich miliknya.
Aira menghela napas tipis, menatap putrinya dengan jengkel.
“Kenapa, Ma?” tanya Nafika polos, merasa tidak punya salah tetapi ditatap begitu.
“Itu dasi kamu sudah tergantung manis di leher, Fika!” Aira menunjuk leher putrinya yang ternyata sudah mengenakan dasi.
Nafika menunduk, lalu menyengir. “Oh iya, ya!”
Tak ingin meladeni putrinya lagi, Aira membawa piring kotor ke dapur. Di belakangnya, Nafika ikut mengekor. “Nanti kamu kesiangan, buruan sana berangkat!” usir Aira.
“Mama kapan pulang? Perasaan tadi malam Mama sama Papa masih di luar kota.” Saat dirinya dan Saga masak nasi goreng, Aira dan Dirga memang tidak ada di rumah—tugas dinas luar kota.
“Subuh tadi.”
“Ooh, terus Papa mana? Udah berangkat ke kantor?”
“Iya.”
“Saga?”
“Udah pergi setengah jam yang lalu.” Aira mencuci beberapa piring kotor.
Nafika menelan ludahnya. Setengah jam yang lalu? Rajin sekali saudaranya itu. Nafika melirik jam yang ada di tangannya, sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.
“Oh ya, Mama mau tanya.” Aira memercikkan tangannya yang basah, lalu berbalik menghadap Nafika.
“Tanya? Tanya apa?”
“Tumben sekali kamu pakai jepit rambut.” Aira menatap sebuah jepitan yang terpasang cantik pada rambut Nafika.
“Ah, ini?” Nafika menyentuhnya pelan. “Dari orang spesial, Ma.”
“Orang spesial? Saga?” Aira mengernyitkan dahi, tak ada orang spesial lain selain Saga.
Nafika hanya menyengir—yang berarti ‘iya.’ “Kalau gitu, Fika berangkat dulu, Ma.” Nafika menyalami punggung tangan Aira. Setelah menyambar tasnya, Nafika langsung berteriak memanggil Mang Diman untuk diantar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Nafika Badbaby Sist!
Teen Fiction"Saga, I LOVE YOU!!!" "Lu adek gua, Fika!" "Adek-adek'an gue, mah." *** Bagaimana reaksimu ketika orang yang kamu cintai sejak kecil, tiba-tiba menjadi saudara angkatmu? Move on, atau kamu justru semakin gencar menggodanya? Bagi Nafika, menjadi saud...