57. Kau Harus Berani

183 22 1
                                    

"I always feel like, somebody's watching me.
And i have no privacy!"

-HAPPY READING-

Tubuh Nafika menegang seketika saat matanya menelusuri setiap kata di atas kertas yang ada di tangannya. Jantungnya berdetak kencang, semakin liar tiap detiknya.

Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari jawaban. Siapa yang mengirim surat ini kepadanya? Apakah masih ada rahasia lain yang tersembunyi?

Bibir bawahnya tergigit cemas, menciptakan sedikit rasa perih yang seolah sebanding dengan kegelisahan yang melingkupi pikirannya. Orang yang mengirimkan surat ini pasti tahu sesuatu—terlibat dalam sesuatu yang besar.

Nafika berusaha keras mengingat, namun ingatannya kabur. Kertas itu diserahkan oleh seseorang di koridor, tapi karena tergesa-gesa, dia tidak sempat menangkap jelas wajah orang tersebut.

"Kenapa diam?" tanya Saga tiba-tiba, membuyarkan lamunannya saat dia menyadari Nafika tak lagi di sampingnya.

Nafika tersentak, buru-buru menyembunyikan kertas di balik tubuhnya. Dengan senyum gugup yang dipaksakan, dia menjawab kikuk, "Nggak apa-apa kok. Ayo, kita ke tempat Bibi!" ujarnya, seolah tak terjadi apa-apa.

Namun, setelah mengucapkan itu, Nafika menghela napas panjang dalam hati.

"Gue nggak boleh bikin Saga makin banyak pikiran karena ini," batinnya, berusaha menenangkan kegundahan yang masih tersisa. Dia harus bisa menyelesaikan masalahnya tanpa menjadi beban siapa pun lagi.

Mereka berjalan menyusuri koridor rumah sakit, langkah-langkah Nafika dan Saga terdengar teratur mengisi keheningan.

Tujuan mereka jelas, yaitu ruangan tempat Bibi Dera dirawat saat ini. Rasa cemas dan pikiran Nafika yang tadi terganggu oleh surat misterius mulai memudar, berganti dengan fokus pada tujuan mereka.

Ketika hendak memasuki lift, pintu terbuka dan di dalam sana berdiri seseorang yang tidak mereka duga. Veya—calon tunangan Saga.

Nafika merasa napasnya tertahan sejenak saat melihat ekspresi terkejut di wajah Veya. Perempuan itu tampak tergagap melihat mereka berdua bersama.

"Gara ...?" Veya menatap Saga sebelum matanya beralih ke Nafika. Wajahnya seketika berubah gugup, senyum tipis yang dipaksakan terbit di bibirnya. "H-hai, Fika."

Nafika ikut tersenyum. "Oh? Hai?" jawabnya, ikut gugup.

Ada sesuatu yang janggal di udara, seperti ketegangan tak terucap yang mengekang keduanya. Bagaimana tidak? Saat ini Nafika sedang bersama laki-laki yang seharusnya menjadi calon tunangan orang lain—dan orang itu kini berdiri di hadapannya.

Entah mengapa, rasa bersalah yang tak jelas alasannya merambat di benak Nafika, seolah dia telah terciduk selingkuh.

Veya melangkah keluar dari lift, berdiri tak jauh dari mereka. Nafika bisa merasakan ketegangan di udara semakin menebal.

Dalam hatinya, dia merasa perlu menjelaskan sesuatu, seolah situasi ini menuntut klarifikasi yang lebih dari sekadar basa-basi. “Begini, Vey, sebenarnya kita—”

Namun, sebelum Nafika sempat menyelesaikan kalimatnya, Saga dengan cepat memotongnya. "Lo ngapain di sini?" tanyanya langsung pada Veya.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang