26. Serpihan ingatan

971 74 3
                                    

-HAPPY READING-

Mereka berdua berjalan melewati rerumputan liar yang tumbuh tak beraturan di halaman belakang. Rumah tua itu tampak megah, tak hanya halaman depan yang luas, tetapi bagian belakangnya pun bisa disandingkan dengan ukuran lapangan basket.

"Ini serius rumah gue?" Nafika bertanya dengan nada tak percaya. Rumah lama ini bahkan lebih besar daripada rumahnya yang sekarang. Mengapa orang tuanya meninggalkan rumah sebesar ini dan memilih rumah yang jauh lebih kecil?

Reo, yang berjalan di depan, menoleh tanpa menghentikan langkah. Ia menyeringai tipis. "Kita bakal tau ini rumah lo atau bukan kalau kita berhasil masuk."

Nafika mengangguk, mempercepat langkah menuju pintu belakang.

"Pintunya juga terkunci, gimana sekarang?" Nafika menatap gembok besar yang tergantung di gagang pintu.

Reo mendekat, memperhatikan gembok itu dengan cermat. "Gembok ini mirip sama yang ada di rumah gua"

"Serius?"

Reo mengeluarkan beberapa kunci dari sakunya, lalu memilah-milah kunci yang sesuai. "Kunci ini gembok, gembok ini kunci. Semoga kalian cocok."

Nafika tertawa melihat Reo memperlakukan kunci dan gembok seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang baru diperkenalkan.

Benar saja, kunci itu pas. Reo membuka pintu, dan angin dingin dari dalam rumah mulai menyelinap, menggigit kulit Nafika. Ia mengusap bahunya, lalu melangkah masuk bersama Reo.

Mata Nafika menjelajahi ruangan, berpindah dari sudut ke sudut. Mereka sampai di ruang makan, di mana meja dan kursi-kursinya tertutup kain putih yang berdebu.

Nafika membuka kain itu dengan hati-hati, mencoba mengingat momen-momen dari masa lalu yang mungkin tersimpan di sini. Namun, meski ia berusaha keras, tak ada satu pun ingatan yang terkuak.

"Mau pindah ruangan?" tanya Reo, menyadari ketidaknyamanan Nafika.

Nafika mengangguk, dan mereka melanjutkan ke ruang tamu. Di sana, terdapat empat sofa panjang dan dua sofa single, semuanya tertutup kain putih. Nafika menyentuh salah satu sofa, mendongak menatap langit-langit, lagi-lagi mencoba merangkai ingatan yang tak kunjung muncul. Namun, sama seperti sebelumnya, tak ada yang terlintas di benaknya.

"Ini aneh," Nafika berbisik pelan.

"Hm?"

"Gue udah lewat beberapa ruangan, tapi tetep ngga ada yang bisa gue inget. Padahal, seharusnya tempat ini penuh dengan kenangan lama gue," ujar Nafika, napasnya terdengar berat.

"Mungkin lo butuh waktu lebih lama, Fii. Gimana kalau kita coba ke kamar atas?" Reo menyarankan sambil menunjuk tangga melingkar menuju lantai dua.

Nafika menatap tangga itu, mungkin saja ia bisa menemukan sesuatu di kamarnya. "Tapi, gue bahkan nggak tau yang mana kamar gue."

"Buka aja semua pintu. Gua bakal cek kamar dekat dapur." Reo melambai, lalu berlalu.

Nafika mulai menaiki anak tangga. Ia memperhatikan sekeliling, lampu-lampu yang remang-remang memberi kesan rumah itu telah lama ditinggalkan. Lemari, pajangan, dan perabotan lainnya sudah tak ada, hanya sofa, meja, dan kursi makan yang tersisa. Selebihnya, kosong.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang