44. Habiskan cintamu, di aku

499 51 7
                                    

-HAPPY READING-

Nafika menarik gagang pintu kamar Rishe. Pikirannya masih dipenuhi oleh banyak pertanyaan, terutama mengenai Rishe yang ternyata sangat mudah dibujuk.

Rishe, yang berdiri di sebelahnya, melirik dengan senyum tipis. "Ada yang ingin kau tanyakan?"

"Ah?" Nafika menoleh, namun cepat mengalihkan pandangannya. Bagaimana ini? Apa dia langsung bertanya saja? Nafika sungguh bingung karena semuanya berjalan terlalu lancar. Dia takut nantinya ada sesuatu yang tidak baik.

"Katakan apa yang mengganggumu, aku akan membantu sebisaku," kata Rishe mencoba membujuk.

Nafika masih ragu dan meremas jemarinya. "Tante, kenapa tiba-tiba menerima permintaanku? Rasanya agak aneh karena terlalu lancar."

"Itu wajar. Kau yang sejak lama memikirkan bagaimana orang sepertiku dari informasi yang kau dapatkan dari orang lain pasti merasa ini hanyalah kebohongan." Rishe melangkah lebih dulu, mengajak Nafika berjalan di sebelahnya sambil melanjutkan perkataannya.

"Tapi Nafika, apa kau tahu mengenai pepatah 'jangan pernah berdebat dengan orang bodoh'?" Rishe bertanya, dan Nafika mengangguk. "Lalu, apa kau tahu makna dari pepatah itu?"

"Ya... mungkin?" Nafika meringis pelan, tidak terlalu tertarik dengan pepatah.

Rishe hanya tertawa kecil. Mereka berdua terus menyusuri kediaman Gautama yang sangat besar menuju ruang kerja Rishe.

"Maksud dari pepatah itu adalah, ketika berdebat dengan orang yang tidak cerdas, kita tidak akan pernah menang. Selain membuat emosi, berdebat dengan orang bodoh hanya akan berakhir sia-sia."

Mereka tiba di depan pintu besar ruang kerja Rishe. Sekretaris Rishe yang ada di depan pintu langsung membukakannya untuk mereka.

"Namun, berbeda jika kau berdebat dengan orang pintar. Sekali kau berhasil mematahkan perkataannya dengan argumen yang masuk akal, maka tidak perlu menaikkan volume suara untuk mendapatkan apa yang kau mau," lanjut Rishe, sambil melangkah lebih dulu ke dalam. Ruangan itu sangat besar untuk ukuran sebuah ruang kerja.

Nafika yang terdiam di ambang pintu hanya menaikkan satu alisnya. "Tadi dia bahas soal orang pintar gampang ngerti, itu dia muji diri sendiri? Huft ... Anak sama ibu sama-sama terlalu percaya diri."

Pandangan Nafika langsung tertuju pada Reo yang sedang mengobrol dengan asisten Gautama Group Corporation. Dia terlihat sangat tegas dan serius sampai tidak menyadari kehadiran Nafika, tampak seperti seorang bos muda yang hebat.

Lalu bayangan ketika Rishe mengatakan bahwa Reo menyukainya membuat pipi Nafika tiba-tiba memerah. Dia dengan cepat menepuk pipinya. "Gue kenapa sih?" Nafika merutuki dirinya sendiri.

Rishe yang menyadari Nafika tertinggal di belakang memanggilnya untuk mendekat. "Nafika, ayo kemari."

Setelah mendengar namanya, Reo langsung mengalihkan perhatiannya pada suara ibunya yang memanggil Nafika. Wajah tegasnya menghilang, kembali seperti wajah yang biasanya dia tunjukkan saat bertemu dengan Nafika.

"Fii!" Reo segera menghampiri, mengabaikan asistennya yang sedang berbicara.

"Y-ya?" Nafika menghindari tatapan mata Reo.

Reo menaikkan alisnya, bingung. Apa Nafika tadi baru saja menghindari tatapan matanya?

"Lo kenapa?"

"Apanya?"

"Itu, kenapa muka lo merah."

"Eh? Masih merah?!"

"Masih merah? Emang sebelumnya merah gini?"

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang