42. Karena kita terlihat sama

360 44 2
                                    

-HAPPY READING-

Saga dan Veya berjalan berdampingan di bawah langit senja yang berwarna jingga. Ada keheningan yang canggung di antara mereka, terutama bagi Saga yang baru saja menyadari bahwa Veya adalah gadis yang pernah ia sukai di masa kecilnya.

Dia melirik Veya yang berjalan di sampingnya dengan tatapan lurus ke depan, pikirannya penuh dengan pertanyaan.

Apakah dia masih menyukai gadis ini? Apakah perasaan itu masih sama seperti dulu, atau hanya nostalgia? Saga menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa hanya waktu dan keberanian yang bisa memberinya jawaban.

Saga menghentikan langkahnya, membuat Veya yang beberapa langkah di depannya ikut berhenti. Dia berbalik, dengan wajah sedikit bingung, dia bertanya, "Kenapa, Kak?"

"Vey ..." Saga berseru pelan, "Waktu itu, lo beneran nunggu?"

Veya nampak tersentak pelan, senyum dibibirnya pudar. Kepalanya sedikit tertunduk, kemudian mengangguk kecil. "A-aku menunggumu. Aku menunggumu lama sekali," jawabnya dengan suara bergetar hebat.

Pada hari kecelakaan Nafika, saat itu sesuai dengan janji yang ditulis Veya dalam suratnya, dia benar-benar menunggu Saga saat itu. Bahkan menunggu sangat lama sekali. Dia memohon pada Zenia, yang saat itu akan mengadopsinya, agar bisa menunggu Saga. Namun, bukan Saga yang datang menemuinya, melainkan berita tragis tentang kecelakaan Nafika.


Mengingat hari itu membuat air mata tanpa sadar menetes dari mata Veya.

Saga mengepalkan tangannya, dia melangkah menghampiri Veya, menghapus air mata itu dengan ibu jarinya dengan lembut. "Maaf," ucapnya penuh penyesalan.

-dear nafika-

Nafika berdiri di depan rumah megah kediaman Gautama, tertegun melihat kemewahan yang terbentang di hadapannya.

Mata Nafika membelalak kagum. Rumah itu begitu besar, dengan arsitektur klasik yang mengingatkan pada istana kerajaan. Pilar-pilar tinggi yang kokoh berdiri di depan, dihiasi ukiran-ukiran rumit. Taman luas dengan bunga-bunga yang tertata rapi menambah kesan anggun rumah itu.

Penjaga berdiri tegak di setiap sudut, memberikan kesan keamanan dan ketertiban yang tinggi. Nafika merasa canggung saat melangkah lebih dekat, merasakan tatapan para penjaga yang seakan mengawasi setiap gerak-geriknya. Baginya, yang baru pertama kali menginjakkan kaki di sana, rumah itu sungguh seperti sebuah istana yang megah dan tak terjangkau.

"Gila, lo punya rumah sebagus ini tapi datang ke sekolah kayak gembel." Nafika menatap Reo dengan tidak percaya.

Reo hanya cengar-cengir, menikmati reaksi temannya. "Kalo gua rapi, yang ada lo klepek-klepek ama gua, Fii. Bahkan jadi cegil gua, bukan Saga."

Nafika hanya membalasnya dengan tatapan malas, enggan terlibat lebih jauh dalam candaan Reo. Namun, tak lama kemudian, jantungnya kembali berdegup lebih kencang.

Nafika mengingat alasan sebenarnya dia datang ke tempat ini. Hari ini, dia akan bertemu dengan pemilik rumah megah ini, seseorang yang memiliki kekuasaan luar biasa, bahkan mampu mengendalikan orang tuanya sampai seperti itu.

Di tengah rasa paniknya, Nafika tersentak ketika sebuah tangan menggenggam tangannya lembut. Dia menoleh dan melihat Reo, yang dengan senyum penuh keyakinan, menggenggam tangannya erat.

"Bawa santai, gak akan gua biarin lo kena masalah," ucap Reo dengan suara menenangkan.

Hati Nafika mulai terasa tenang. Jika Reo bisa berkata seperti itu, dia hanya bisa percaya. Nafika tahu, Reo yang sekarang ada di hadapannya adalah Reo yang selalu ada di ingatannya, seseorang yang selalu ada di sisinya.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang