-HAPPY READING-
Nafika mengernyit, bingung dengan apa yang Reo katakan. "Maksud lo, lo lebih baik dari Saga?"
"Iya. Gua bisa balikin nama baik lo," jawab Reo dari balik pintu.
Nafika tertawa kecil mendengar pernyataan itu. "Lo enggak bisa jadi kayak Saga, Reo. Lo cuma berandalan, sama bodohnya kayak gue."
Keheningan menyelimuti mereka sejenak. Reo menunduk, memikirkan sesuatu, lalu bertanya, "Menurut lo, mana yang lebih penting? Prestasi? Organisasi? Atau nilai akademik?"
Nafika termenung sejenak sebelum menjawab, "Prestasi?"
"Salah." Suara Reo terdengar lembut, namun tegas. "Memang itu penting, tapi ada yang jauh lebih penting."
Nafika memeluk lututnya, rasa dingin dari lantai seakan merayap lebih cepat ke tubuhnya. Pikiran Reo yang penuh teka-teki membuat suasana semakin membingungkan. "Terus, apa yang lebih penting selain prestasi dan nilai akademik?"
"Dari semua yang gue sebutkan tadi, semuanya salah." Reo tersenyum tipis, menghela napas panjang. "Yang paling penting dalam hidup adalah pengalaman, Fii. Lalu disusul kemampuan diri, dasar yang kuat, relasi, koneksi, kemajuan, dan wawasan. Tapi yang terpenting dari semuanya, etika dan adab."
Reo menambahkan, "Tanpa hal-hal itu, prestasi, organisasi, dan nilai akademik cuma angka kosong."
Nafika menatap Reo dengan kagum. Dia selalu kesulitan memahami pelajaran di kelas, tapi dengan Reo, semuanya terasa lebih mudah.
"Sejak kapan lo jadi pintar kayak gini?" Nafika tertawa kecil, seperti tidak percaya bahwa orang yang berbicara dengannya adalah Reo, bukan hantu yang merasuki tubuhnya.
Reo mendengus kesal. "Lo pikir gen orang tua gua enggak nurun ke anaknya?"
"Ya kali aja. Liat gue, Mama sama Papa pintar, pengusaha hebat. Lah gue? Gue sendiri bahkan malas nyebut siapa gue sebenarnya." Suara Nafika melemah, terdengar sedih. "Mungkin benar kata Mama, hidup gue memang seharusnya kayak tikus mati."
"Gua bilang ini bukan buat ngejatuhin lo, Fii." Rasa bersalah terlihat di wajah Reo. "Coba lo lihat sapu tangan itu, perhatiin apa yang terjahit di sana."
Mata Nafika tampak bingung. "Emang ada apa di sapu tangan ini?" Dia membuka lipatan sapu tangan biru dongker itu, melihat sulaman yang tidak rapi di sana.
"Untukmu, 8 tahun yang lalu?" Nafika membaca sulaman itu dengan nada bingung.
Reo bergumam, "Sekarang udah 8 tahun lebih, Fii."
"Apa?" Nafika tidak menangkap apa yang dikatakan Reo karena terlalu pelan.
Reo berdiri, menepuk-nepuk jasnya dengan ringan. "Lupakan. Sekarang putuskan, lo mau pacaran pura-pura sama gua, atau enggak?"
"Entahlah." Nafika menunduk, menatap sapu tangan itu lagi. Hatinya terasa sesak setelah membaca kata-kata yang tersulam di sana. Detail sulamannya berantakan, membuatnya terkejut.
Alisnya terangkat, berpikir, tidak mungkin Reo menyewa tukang jahit yang payah untuk menjahit lima kata saja. Beberapa detik kemudian, Nafika menyadari, sulaman itu adalah hasil tangan Reo sendiri.
Nafika berdiri dengan cepat. "Reo!"
"Maaf kalau jelek jahitannya, Fii." Seolah sudah tahu alasan Nafika memanggil, Reo tertawa kecil.
Nafika menggeleng cepat. "Kenapa lo repot-repot ngejahit sapu tangan ini?"
"Entahlah. Mungkin sebagai permintaan maaf?" jawab Reo ambigu, membuat Nafika semakin kesal. Dia merasa selalu gagal memahami orang-orang di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Nafika Badbaby Sist!
Roman pour Adolescents"Saga, I LOVE YOU!!!" "Lu adek gua, Fika!" "Adek-adek'an gue, mah." *** Bagaimana reaksimu ketika orang yang kamu cintai sejak kecil, tiba-tiba menjadi saudara angkatmu? Move on, atau kamu justru semakin gencar menggodanya? Bagi Nafika, menjadi saud...