14. Mimpi

1.3K 103 111
                                    

-HAPPY READING-

Seorang gadis kecil dengan pita merah berlari mengejar anak laki-laki seusianya di tengah padang rumput yang luas. Di kejauhan, danau jernih memantulkan sinar matahari, membuat ikan-ikan di dalamnya tampak berenang riang.

"Hei! Sini! Lihat, ada ikan!" Anak laki-laki itu menarik gadis kecil lebih dekat, menunjukkan ikan-ikan yang berenang di pinggir danau.

Mata gadis kecil itu berbinar melihat ikan-ikan yang indah. "Aku mau ikan itu!"

"Eh? Aku gak bisa ambil, danau ini dalam," anak laki-laki itu menolak, membuat wajah gadis kecilnya berubah sedih. Melihat itu, anak laki-laki merasa bersalah.

Dia mengelus kepala gadis kecil dengan lembut dan tersenyum. "Kalau aku sudah besar, aku akan bawa banyak ikan buat kamu! Aku janji."

Sedikit demi sedikit, kesedihan gadis kecil itu menghilang, senyumnya kembali muncul. "Janji padaku?" dia mengangkat jari kelingkingnya.

Anak laki-laki itu menautkan jari kelingkingnya dengan kelingking si gadis, tersenyum lebar. "Aku janji! Aku akan bawa sebanyakkk mungkin ikan buat kamu!"

Gadis kecil itu tertawa. "Aku tunggu!" Mereka tertawa bersama, menatap ikan-ikan yang berenang di danau.

Anak laki-laki itu mencuri pandang ke arah gadis kecil di sampingnya, wajahnya memerah. Gadis kecil itu menyadarinya. "Wajahmu memerah, kenapa?"

"Eh? Beneran?" Anak laki-laki itu langsung memalingkan wajah, malu.

Gadis kecil tertawa kecil, menggenggam tangan anak laki-laki itu. "Ayo, ceritakan, kenapa?"

Anak laki-laki itu menelan ludah. "Menurutmu... kalau aku besar nanti, aku bisa jadi suami yang baik?"

Gadis kecil itu mengerutkan kening, bingung. "Suami? Itu apa?"

"Orang yang akan menemani kamu di masa depan," jawab anak laki-laki itu ragu-ragu, wajahnya semakin merah.

Gadis kecil tersenyum malu. "Kamu mau jadi suamiku?"

Anak laki-laki itu terkejut. "Ha?"

"Aku mau kamu jadi suamiku! Berjanjilah!" Gadis kecil menggenggam tangannya erat, berharap penuh.

"Tapi—!"

KRING!!!!

Alarm Nafika berdering keras, memutus mimpi masa kecilnya. Dalam keadaan setengah sadar, dia meraba-raba meja di sebelah ranjang, mencari tombol untuk mematikan suara bising yang memekakkan telinga itu.

Dengan frustrasi, Nafika duduk dan melemparkan alarmnya ke lantai.

"Mampus lo!" Nafika mendengus, lalu menggosok matanya yang masih mengantuk.

Setelah terdiam sejenak, Nafika mengingat kembali mimpinya. Ini bukan kali pertama dia bermimpi tentang dua anak kecil itu, tetapi kali ini terasa lebih jelas daripada sebelumnya.

"Mimpi ini lagi?" Nafika menghela napas panjang dan kembali merebahkan diri. "Kenapa sekarang lebih jelas?"

Sejak usia 13 tahun, mimpi itu selalu muncul setiap bulan Maret. Tapi kali ini, mimpi itu tampak lebih nyata.

"Siapa sebenarnya anak itu? Itu gue, kah?" Nafika merenung. "Anak cowok itu ... Jangan-jangan, Saga?"

Setelah beberapa saat termenung, Nafika bangkit dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Lima belas menit kemudian, dia selesai dengan semua kegiatan paginya dan turun untuk sarapan.

Di meja makan, sudah ada Saga, Aira, dan Dirga. Aira menoleh, menyapanya. "Pagi, Fika. Alarm gak kamu banting lagi, 'kan?"

Nafika tersenyum tanpa dosa. "Ehe, Mama tau aja."

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang