-HAPPY READING-
Tiga hari telah berlalu sejak pemakaman Bibi Dera. Pada hari itu, Nafika kembali gagal mengembalikan secercah cahaya ke dalam hati Saga. Laki-laki itu menyuruhnya keluar dari kamarnya, memilih kembali mengurung diri, tanpa menyempatkan diri untuk melihat saat-saat terakhir Bibi Dera.
Reo memandang Nafika yang tampak terpukul. Dia berjalan mendekat, lalu menyentuh pundak rapuh gadis itu dengan lembut.
"Fii ..." panggilnya pelan.
Namun, Nafika tetap diam, tidak bereaksi.
"Ini saatnya lo kembali ke sana," kata Reo, suaranya terdengar lebih tegas.
Nafika mengangkat kepala, menatap Reo dengan kebingungan yang terpancar dari matanya.
"Kita pergi ke rumah lo yang sebenarnya. Tante Aira ada di sana," lanjut Reo, memberi tahu dengan hati-hati.
Setelah berbulan-bulan tanpa kabar, bahkan setelah berita kematian Bibi Dera, akhirnya Aira memberitahu keberadaannya.
Rasa sesak mulai memenuhi dada Nafika. Ada keinginan kuat untuk menangis sekeras mungkin. "Lalu yang waktu itu?" suaranya bergetar penuh kepedihan.
"Itu rumah gua yang lama."
"Kenapa lo bohong?" Nafika mencengkeram lengan Reo erat, kemarahan dan kebingungan bercampur aduk.
"Karena waktu itu belum ada izin," jawab Reo dengan nada bersalah.
Reo menghela napas, lalu bertanya, "Mau pergi sekarang?"
Nafika tampak ragu sejenak. "Saga nanti sendirian."
"Biar gua suruh Veya ke sini," sahut Reo, yang akhirnya membuat Nafika setuju. Bagi Nafika, mungkin saja Veya bisa melakukan apa yang dia gagal—membuat Saga kembali tersenyum.
Tak lama kemudian, mereka berdua berangkat menuju rumah lama Nafika yang sebenarnya. Perjalanan terasa singkat, jauh lebih cepat dibandingkan saat mereka mengunjungi rumah sebelumnya.
Sesampainya di sana, Nafika berdiri mematung di depan sebuah rumah mewah. Namun, meski megah, ada kehampaan yang menyelimuti setiap sudutnya, seolah-olah telah lama ditinggalkan tanpa kehidupan.
"Ayo masuk," ajak Reo, tangannya menggenggam erat tangan Nafika.
Mereka melangkah masuk bersama. Seketika, Nafika merasakan perasaan pedih yang tak terbendung. Rindu yang selama ini terpendam begitu dalam, seolah mencekiknya, memenuhi setiap celah hatinya karena akhirnya, setelah sekian lama, rindu itu terjawab.
Saat Nafika berdiri di depan pintu, matanya tertuju pada sosok Aira yang berdiri di sana. Mata ibunya tampak berkaca-kaca, menahan emosi yang hampir meluap.
“Putriku...” suara Aira lirih, penuh kerinduan yang tak terkatakan.
Bendungan air mata Nafika akhirnya pecah. Dengan secepat kilat, dia berlari ke dalam pelukan ibunya. Aira membuka kedua tangannya lebar, menyambut putrinya dengan kehangatan yang tak pernah hilang meski waktu memisahkan mereka begitu lama.
Reo, yang berada di belakang, memilih menjauh. Dia tahu momen ini bukan miliknya, melainkan milik Nafika dan Aira. Dia ingin memberikan ruang bagi ibu dan anak itu untuk kembali menyatu dalam kebersamaan yang telah lama terpisah.
“Mama ...” Nafika menangis tersedu-sedu seperti anak kecil, tangisannya pecah begitu ia berada dalam dekapan ibunya.
Aira mengelus lembut kepala Nafika, berusaha menenangkan gemuruh perasaan putrinya. “Iya, sayang. Putri Mama, bagaimana kabarmu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Nafika Badbaby Sist!
Teen Fiction"Saga, I LOVE YOU!!!" "Lu adek gua, Fika!" "Adek-adek'an gue, mah." *** Bagaimana reaksimu ketika orang yang kamu cintai sejak kecil, tiba-tiba menjadi saudara angkatmu? Move on, atau kamu justru semakin gencar menggodanya? Bagi Nafika, menjadi saud...