-HAPPY READING-
Di atas atap sekolah yang sunyi, dua sosok duduk berdampingan, membiarkan semilir angin senja menyapu lembut wajah mereka. Langit diwarnai semburat jingga dan ungu, seolah Tuhan melukisnya dengan tangan-Nya sendiri, menciptakan suasana damai yang tak terganggu hiruk-pikuk di bawah sana.
Dari puncak gedung, mereka bisa menyaksikan para murid yang berlalu-lalang, sibuk bersiap untuk pulang. Namun, di atas sini, ketenangan menyelimuti Nafika, menariknya ke dalam pusaran pikirannya sendiri.
Ia hampir tidak menyadari kehadiran Reo yang duduk di sebelahnya, bersungut-sungut karena merasa diabaikan.
"Dengar enggak, sih?" tanya Reo, nada jengkel menggantung di udara.
Nafika hanya meliriknya sekilas, tatapannya dingin. Cowok ini selalu berhasil memancing emosinya. Sifat baiknya, yang dulu sempat membuat Nafika luluh, ternyata hanya sesaat. Kini, yang tersisa hanya sikap menyebalkan yang kian membuat Nafika gerah.
"Berisik banget, sih, kuda lumping! Gue lagi pusing mikirin Saga," jawab Nafika tanpa berpikir.
Alis Reo terangkat, matanya menyipit, jelas menunjukkan rasa tidak suka. "Masih aja mikirin dia?"
"E-enggak tuh!" Nafika langsung menepis tuduhan itu, terlalu cepat untuk terdengar meyakinkan.
"Apanya yang enggak? Barusan aja lo nyebut-nyebut namanya."
Nafika meringis. Ia tahu, ia sudah berjanji pada Reo untuk melupakan Saga—untuk kebaikan dirinya sendiri, katanya. Namun, hatinya masih belum bisa sepenuhnya melepaskan.
"Apa bagusnya sih tuh bocah tengik? Pura-pura dingin, tenang, sok ganteng lagi." Reo mendekat, wajahnya yang kesal semakin jelas terlihat.
"Dia itu bukan pura-pura dingin, Reo! Emang begitu orangnya, kalem. Dan dia bukan sok ganteng, tapi emang ganteng—plus dia punya manners yang bagus!" Nafika bersikeras membela, suaranya meninggi. "Beda sama lo yang suka nyolot, tengil, berandalan. Dia itu gentleman!"
Reo menatap Nafika sejenak, lalu tiba-tiba meraih tangannya. Ia berjongkok di depannya dengan sikap angkuh.
Cup!
Sebuah kecupan singkat mendarat di punggung tangan Nafika. Reo menyeringai nakal, tatapannya penuh tantangan. "Gentleman itu kayak gini?"
Nafika langsung menarik tangannya, wajahnya memerah seperti tomat matang. Mulutnya bergetar, tak mampu menutupi rasa malu yang menyergap.
"L-lo ngapain, sih, kampret?!" desisnya tajam, mencoba menutupi kegugupannya.
Reo mengangkat bahu dengan santai, senyuman nakal masih terpatri di bibirnya. "Kalau soal gentleman, gua juga bisa, kok."
Tatapan Nafika kini berubah tajam, matanya menyipit penuh peringatan. "Lo serius mau saingan sama Saga? Sampe segitunya?"
"Saingan?" Reo tertawa kecil, nadanya penuh ejekan. "Yang bener aja, Fii. Dia gak selevel sama gua."
Nafika mendengus kesal, bibirnya mengerut. "Lo tuh bener-bener nyebelin ..."
"Abaikan, gak penting mikirin bocah itu." Reo tiba-tiba mengubah nada suaranya menjadi serius. "Sekarang dengerin. Gua nanya dari tadi. Lo mau tinggal di apartemen atau gua beliin rumah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Nafika Badbaby Sist!
Teen Fiction"Saga, I LOVE YOU!!!" "Lu adek gua, Fika!" "Adek-adek'an gue, mah." *** Bagaimana reaksimu ketika orang yang kamu cintai sejak kecil, tiba-tiba menjadi saudara angkatmu? Move on, atau kamu justru semakin gencar menggodanya? Bagi Nafika, menjadi saud...