32. Two birds talk

644 60 7
                                    

"Two birds on a wire, one says come on, and the other says, i'm tired"

-HAPPY READING-

Nafika merasa hampa, hatinya terluka oleh kata-kata ibunya. Dengan isak yang tertahan, ia meringkuk, memeluk lutut sambil menyeka air mata dengan kasar.

"Mama ... kenapa bilang begitu?" bisiknya lirih, pandangannya kosong menatap lantai kamarnya.

Isaknya terdengar samar, memenuhi kesunyian. Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Mengapa Aira, ibunya sendiri, berkata seperti itu? Apakah Nafika melakukan kesalahan yang begitu besar? Ataukah memang ada seorang ibu yang bisa membenci anak kandungnya?

Tubuhnya gemetar saat ia bangkit berdiri. Langkahnya gontai saat berjalan menuju cermin. Di hadapan pantulan dirinya, Nafika melihat sosok yang berbeda.

Wajah yang biasa ceria kini tampak pucat dan hampa. Matanya yang dulu berbinar kini meredup, terlihat begitu sayu. Rambutnya berantakan, dan bekas air mata masih menghiasi pipinya yang memucat.

Nafika menatap dirinya, memaksakan senyum pahit yang tak sampai ke matanya. "Gue minta maaf," bisiknya pelan, suaranya serak dan parau. "Kayaknya gue lupa caranya peduli sama diri gue sendiri."

Ia menarik napas panjang, berusaha meredakan badai emosi yang terus bergulung di dalam hatinya. "Hidup gue emang kebanyakan drama," gumamnya getir.

"Semua orang punya masa lalu, tapi karena amnesia ini ... gue bahkan nggak bisa inget masa kecil gue."

Bibirnya bergetar, dan air mata kembali jatuh. "Gimana Fika bisa tahu salah Fika di mana, Ma? Kalau Fika sendiri lupa sama semuanya?" suaranya tercekik, penuh keputusasaan.

Nafika merasa seperti terjebak dalam labirin kenangan yang hilang, mencari-cari potongan dirinya yang menghilang tanpa jejak.

Tatapannya tetap kosong. Mata yang dulunya penuh kehidupan, kini hampa. "Fika harus apa? Fika harus minta maaf untuk apa? Maaf karena lahir sebagai anak Mama?" ucapnya dengan lirih, setiap kata yang keluar terasa lebih berat dari sebelumnya.

Toktok!

Nafika tersentak, cepat menoleh saat pintu kamarnya diketuk. Ia buru-buru menghapus air mata yang tersisa, berharap siapa yang di balik pintu itu adalah Aira. "Mama -?"

"Fii?" Suara lembut yang menyebut namanya membuat Nafika terdiam sejenak. Air matanya kembali jatuh tanpa ia sadari.

"Reo ..." Nafika berlari ke arah pintu, menangis tersedu-sedu. "Reo, hati gue sakit, Reo. Mama ... Mama marah banget sama gue ..." Suaranya gemetar, penuh dengan kesedihan yang mendalam.

Di balik pintu, Reo mengepalkan tangannya erat. Mendengar Nafika menangis begitu pilu, hatinya terasa sesak.

"Fii, tenang dulu, ya?" ucap Reo lembut, mencoba menenangkan Nafika dari balik pintu. Suaranya serak, menahan emosi yang tertahan.

Nafika terus menangis, suaranya terisak-isak. "Mama bilang dia benci gue ... Gue salah apa, Reo? Gue udah cukup sakit lihat Saga sama Veya ..."

"Ssshh ... jangan nangis terus. Ntar mata lo sembab," ujar Reo lembut. "Ceritain pelan-pelan, gua dengerin. Gua di sini, nggak bakal pergi. Gua akan ada sampai lo selesai cerita."

Meski terpisah oleh pintu, Nafika tahu bahwa Reo akan selalu ada di sana, mengerti apa yang dia butuhkan-seseorang yang tak akan meninggalkannya.

"Kenapa Mama marah sampai ngomong kayak gitu?" Nafika bertanya, suaranya tersendat.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang