17. Fika demam (rindu)

1.3K 98 13
                                    

-HAPPY READING-

Kamar bernuansa pink pastel itu dipenuhi suara bersin dari Nafika, pemiliknya. Gara-gara mengabaikan saran Reo untuk mandi air hangat sebelum tidur, Nafika kini terserang flu.

"Atchim!" Nafika menggosok-gosok hidungnya yang gatal. Sejak dini hari, flu menyerang hidungnya tanpa ampun. Tubuhnya pun terasa panas, seolah api dan es bertarung di dalam dirinya.

Meringkuk di balik selimut, Nafika menggigil. Berkali-kali hidungnya berair, membuatnya kesulitan bernapas dan berbicara. Alarm di kamarnya berbunyi nyaring, namun Nafika tak punya niat, atau tepatnya tak sanggup, untuk mematikannya.

Di luar kamar, suara ketukan pintu terdengar. "Fika? Alarmnya bunyi, dimatikan dulu," seru Aira dari balik pintu. Tidak mendengar balasan, Aira masuk dan menemukan putrinya masih meringkuk di bawah selimut tebal.

Dengan kening berkerut, Aira menarik selimut yang membungkus Nafika. "Astaga! Ini sudah siang, Fika. Kamu bisa telat!"

Nafika tak menjawab. Tubuhnya bergetar hebat, terasa panas dan dingin sekaligus saat selimutnya tersibak.

"Hei, kamu demam?" Aira menyentuh dahi Nafika dengan punggung tangannya. Seketika, matanya melebar. "Ya ampun, Fika, demammu tinggi sekali!"

Panik, Aira buru-buru menyelimuti kembali Nafika, lalu memanggil Bibi Dera dengan suara tegang. Rumah itu seketika penuh dengan keributan. Aira bolak-balik menelepon dokter keluarga mereka, sementara Bibi Dera sibuk membantu.

"Kenapa justru sekarang, saat keadaan genting seperti ini, Fika malah demam," gumam Aira gelisah. Hari ini ada rapat penting yang tidak mungkin ditinggalkannya, tapi ia juga tak sanggup meninggalkan Nafika yang sedang demam tinggi.

Bibi Dera mendekati Aira dan berkata, "Nyonya pergi saja ke kantor, biar Bibi yang menjaga Nona."

Aira tampak ragu. Ia menatap putrinya yang sedang diperiksa oleh dokter pribadi mereka. "Fika paling nggak bisa ditinggal kalau demam begini, Bi," jawabnya pelan, teringat masa lalu ketika dia terlalu sibuk bekerja hingga hampir kehilangan Nafika.

Ponselnya bergetar lagi. Panggilan dari kantor datang bertubi-tubi. Aira melirik jam, sadar bahwa waktu semakin mendesaknya. Di sisi lain, Dirga sedang berada di luar kota, jadi tak ada yang bisa menggantikannya di perusahaan.

"Biar diangkat dulu, Bu. Bilang tunggu sampai Nona sedikit lebih baik," saran Bibi Dera, mencoba menenangkan majikannya. Bibi Dera sudah lama bekerja untuk keluarga Nafika dan paham dengan luka-luka masa lalu mereka.

Namun ponsel Aira kembali berdering, memecah kebimbangannya. Asisten di kantor berbicara dengan nada cemas, "Bu, apa akan lama? Klien sudah menunggu untuk rapat. Kalau rapat ini gagal, bisa buruk untuk perusahaan."

Aira menggigit bibir, matanya bolak-balik menatap Nafika dan ponselnya. Akhirnya, ia menarik napas panjang dan berkata, "Saya akan segera ke sana," sebelum menutup telepon. Ia kemudian menghampiri Nafika yang masih terbaring lemah.

Dokter pribadi keluarga mereka, Senio, menoleh dan menunjukkan termometer yang menunjukkan suhu tubuh Nafika 38,5°C—demam tinggi.

"Saya sudah memberikan obat penurun panas. Mungkin beberapa jam lagi demamnya akan turun," kata Senio dengan senyum yang menenangkan.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang