24. Luka lama

901 67 9
                                    

-HAPPY READING-

Bugh!

Tubuh Saga terempas ke lantai, terdengar gemeretak napas terputus-putus dari bibirnya yang berlumuran darah. Sudah dua jam penuh ia dihantam tanpa ampun, tak ada belas kasih. Kondisinya benar-benar mengenaskan, namun hukuman ini belum berakhir.

"Berdiri, Sagara!" Suara berat itu menggema, mengiringi aura dingin yang mencekam seluruh ruangan.

Sagara Marva Lazuardi, nama yang dulu dikenal sebagai pewaris tunggal keluarga Lazuardi. Dua tahun lalu, ia masih berdiri tegap di puncak dunia.

Namun, setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa kedua orang tuanya, kehidupannya berubah drastis. Sebuah perjanjian lama yang kabur dalam ingatan, memaksanya menyerahkan segalanya. Saga kini hanyalah boneka, tak lebih dari alat untuk keluarga Dirga.

Dengan tubuh gemetar, Saga mencoba bangkit. Trauma mendalam yang tak pernah hilang menyerang jiwanya. Bayang-bayang kecelakaan itu, darah, jeritan, membuat lututnya lemas. Setiap napas yang ia hembuskan terasa bagai beban berat yang menghimpit.

Sebuah tamparan keras mendarat di wajahnya. Jemari lentik, dihias cat kuku berwarna merah gelap, menggoreskan luka baru di pipinya yang sudah penuh lebam. Darah segar menetes perlahan dari bekas cakaran itu.

Saga mengepalkan tangan, menahan rasa sakit yang menggerogoti. Trauma masa lalunya bangkit, membuat kepalanya semakin berat. Namun ia tak boleh tumbang, tidak di depan Dirga dan Aira.

"Jadi, kau memang mengatakan hal itu kepada Nafika?" Aira mendekat, tatapannya bagaikan belati dingin yang menusuk relung terdalam Saga. Kata "ibu" tak pernah pantas keluar dari bibirnya. Bagi Aira, Saga hanyalah alat yang bisa diatur sesuka hati.

"Jawab aku, Sagara!" Suara Aira menggelegar, berusaha menggali lebih dalam hingga ke inti jiwanya. Nafika tidak akan mendengar, karena jarak antara kamar mereka cukup jauh. Tempat ini aman untuk menunjukkan kekejamannya.

Dengan kepala tertunduk, Saga mengakui perbuatannya. "Iya, Ma," jawabnya lirih, suara yang terselip di balik rasa sakit.

Lagi, sebuah tamparan keras. "Lancang sekali! Kamu lupa dengan perjanjian ayahmu dulu?"

Aira mencengkeram dagunya, memaksa pandangannya bertemu dengan tatapan tajam itu.

Saga tahu tak ada gunanya menjelaskan, tak ada ruang bagi dirinya untuk bersuara.

Aira menghempaskan kepala Saga, membuatnya oleng. "Kau akan membayar mahal untuk ini, Sagara. Perjanjian yang jelas kamu setujui, kini kau langgar sendiri," desisnya, suaranya sekeras batu yang jatuh menghantam karang.

Dirga, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Keluar dari sini. Jangan sampai Nafika tahu yang sebenarnya, setidaknya sampai semua rencana kita selesai."

Saga hanya mengangguk. Dengan napas terengah, dia meninggalkan ruangan, melangkah perlahan menuju kamarnya sendiri.

Malam telah larut, hanya kesunyian yang menemani langkah beratnya. Dia tahu, keputusannya untuk memberi tahu Nafika akan membawa konsekuensi besar.

Meskipun dia sadar akan risikonya, dia tak menyesal. Baginya, Nafika layak tahu kebenaran, meski itu berarti mengorbankan masa depannya sendiri.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang