56. Surat dari Masa Lalu

228 30 9
                                    

-HAPPY READING-

Nafika berlari menyusuri koridor kelas dengan langkah tergesa-gesa. Napasnya tersengal, sementara pikirannya terus tertuju pada sosok Saga yang sudah lebih dulu pergi. Kegelisahan menggelayuti hatinya, membuat langkah kakinya semakin cepat. Saga terlihat begitu panik, dan itu menambah kecemasan Nafika.

Di ujung koridor, Nafika memutar dengan tergesa, tidak memperhatikan bahwa ada seseorang yang berjalan dari arah berlawanan.

Tubuhnya menabrak sosok itu cukup keras hingga hampir membuatnya terjatuh, kalau saja lengan orang itu tidak segera menangkapnya dengan sigap.

“Ah!” Nafika memejamkan mata, terkejut.

"Lo nggak apa-apa?" suara yang hangat namun sedikit asing itu membuat Nafika membuka matanya perlahan.

Dia terkejut saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Aleon?"

Aleon tersenyum tipis, matanya sedikit menyipit. "Ya?"

"Oh, maaf! Gue tadi buru-buru," Nafika meminta maaf cepat, merasa bersalah telah menabraknya tanpa sengaja.

Aleon menggeleng perlahan, seolah tidak terganggu. "Nggak apa-apa. Tapi, kenapa lo lari-lari gitu?"

Nafika tersenyum kikuk. "Gue lagi ngejar Saga."

Aleon mengangkat alisnya dengan sedikit kebingungan. "Masih ngejar? Wah, nggak nyerah juga, ya?"

Nafika mendengus sebal. "Bukan ngejar dalam arti itu!"

Aleon terkekeh pelan, tertawa melihat ekspresi Nafika. "Hehe, santai aja, canda kok."

Nafika menggigit bibirnya, merasa waktunya terbuang. "Sorry ya, gue harus buru-buru!"

Nafika berbalik badan, kembali berlari di koridor, bergegas mengejar Saga yang sudah cukup jauh meninggalkannya. Beberapa kali, dia hampir menabrak murid lain yang berada di koridor.

Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang memanggilnya.

"Heh, ada yang jatuh," ucap orang itu memberi tahu, suaranya tenang, tetapi cukup untuk menghentikan langkah Nafika.

Nafika menoleh, melihat selembar kertas terlipat kecil tergolek di lantai.

"Ini, punya lo," dia menyodorkan kertas itu dengan santai.

Nafika sempat tampak bingung, tidak ingat pernah menyimpan kertas itu. Namun, tanpa banyak berpikir, dia mengambilnya dari tangan orang tersebut.

"Makasih," ujarnya singkat, sebelum kembali melanjutkan larinya, mengejar bayangan Saga yang semakin menghilang di kejauhan.

-dear nafika-

Setelah berlari cukup lama, Nafika akhirnya tiba di parkiran, dadanya naik-turun, terengah-engah. Di sana, Saga tengah mengenakan helm dan bersiap menyalakan mesin motor. Nafika panik melihatnya, ia tahu ada yang tidak beres.

"Saga, tunggu!" Nafika memanggil dengan suara sedikit serak, namun cukup keras untuk membuat Saga menoleh.

Saga menatap Nafika dengan mata terkejut, tak menyangka gadis itu berlari mengejarnya sejauh ini. Nafika berhenti tepat di dekatnya, tangannya gemetar memegang motor Saga untuk menahan tubuhnya yang kehabisan napas. Napasnya tidak beraturan, tetapi matanya menatap Saga penuh rasa ingin tahu.

"Lo ngapain?" Saga bertanya dengan nada dingin, seolah tidak peduli dengan usaha Nafika yang jelas-jelas berusaha mengejarnya. "Gua buru-buru. Kalau mau bicara omong kosong, lain kali aja."

Nafika merasa dadanya sesak mendengar jawaban itu. "Hei!" protesnya, kesal. Apa Saga tidak tahu betapa sulitnya dia mengejar hanya karena dia khawatir?

Saga mendengus, terlihat tidak sabar. "Cepat ngomong," desaknya sambil berdecak muak, jelas tidak ingin membuang waktu.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang