41. Terimakasih telah kuat

621 55 4
                                    

-HAPPY READING-

Karin mendorong pintu kamar dengan hati-hati, suara engsel berderit menambah kesan suram dari ruangan yang didominasi warna gelap dan cahaya lampu yang remang. Bau alkohol menyengat segera menyerbu indra penciumannya, membuatnya meringis sejenak.

Ketika berhasil masuk, matanya langsung tertuju pada sosok yang terduduk di lantai, bersandar pada kasur. Saga, pemilik kamar itu, menatapnya dengan mata merah, tatapan itu kosong.

"Ngapain lo kesini, Rin?" suaranya serak, nyaris tak terdengar di antara gelapnya kamar itu.

Karin menghela napas, meletakkan tasnya di lantai.

"Gue khawatir karena lo tiba-tiba bolos, dan ga balik ke kelas," jawabnya lembut.

Dia menghampiri Saga, berjongkok di hadapan cowok yang kini setengah mabuk, matanya menyelidik penuh perhatian. "Lo kenapa minum alkohol gini, deh? Lo gak takut kena omel bokap lo?"

Saga hanya tertawa pahit, tatapannya kosong. "Gua udah gak peduli. Setelah Fika dan Mama pergi, dia gak bakalan pulang," katanya, menggelengkan kepala.

Di balik aroma alkohol yang menyengat, Karin bisa merasakan beban yang selama ini dipikul sahabat sekaligus rivalnya, semakin berat hari demi hari. Tanpa berkata-kata lagi, Karin duduk di sampingnya, menemaninya dalam diam.

Karin menyandarkan kepalanya pada kasur Saga, menoleh ke arah cowok itu. "Kenapa? Bukannya ini yang lo mau? Sekarang Fika udah mulai mencoba melepas lo, jadi kenapa lo bisa sekacau ini?"

Saga menatap langit-langit kamarnya, menghela napas panjang yang terdengar berat dan penuh beban. "Gua pikir, gua bakal senang kalau Fika pergi," ucapnya lirih. "Tapi ternyata, rasanya kosong, Rin. Gua gak siap kehilangan dia sepenuhnya."

"Kosong kenapa? Karena lo suka sama dia, atau karena lo masih kejebak dalam rasa bersalah yang lo pendam selama ini?" Karin menatapnya dalam.

Saga mengalihkan pandangannya, terdiam, seolah mencari jawaban dalam pikirannya yang kacau. "Entahlah," bisiknya, suaranya terdengar gamang.

"Sagara ..." Karin mencoba mendekat, suaranya penuh kelembutan yang hampir menyerupai pelukan.

"Kenapa dia harus jatuh cinta sama cowok brengsek kayak gua, Rin?" keluh Saga dengan frustasi. "Bahkan, setelah semua ingatan dia hilang, kenapa cinta itu gak ikut hilang?"

Tangannya mengusap wajah, gusar. Rahangnya mengeras, menahan amarah yang membara di dadanya. "Dia gak seharusnya jatuh cinta sama cowok problematik kayak gua."

"No!" Karin memotong tegas, tatapannya menusuk langsung ke mata Saga. "Siapa bilang lo problematik?"

Dia menghela napas, berusaha meyakinkan Saga. "Dengerin gue baik-baik, Sagara Marva Lazuardi. Lo gak pernah jadi orang problematik, baik di mata gue, Fika, atau bahkan Veya."

Saga terdiam, jelas terkejut oleh kata-kata Karin yang seperti hujan deras membasahi tanah kering di dalam dirinya.

"Lo itu orang paling kuat yang pernah gue kenal, Saga. Lo cahaya bagi gue, dan gue yakin, Fika dan Veya juga ngerasa hal yang sama," lanjut Karin dengan penuh ketulusan, suaranya rendah tapi penuh makna.

Saga menggeleng lemah. "Gua gak sekuat itu, Rin."

Karin menarik napas dalam, menahan emosinya, lalu dengan lembut mengangkat dagu Saga, memaksanya untuk menatap matanya. "Itu salah. Lo kuat, tapi bukan berarti orang kuat gak bisa terluka atau terlihat lemah. Bahkan orang terkuat pun punya momen rapuh, dan itu manusiawi, Gara."

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang