22. Berjuta pertanyaan

874 79 2
                                    

-HAPPY READING-

Setelah perdebatan antara Saga dan Nafika sore itu, tak ada lagi interaksi di antara mereka. Saga mulai menjaga jarak, bersikap dingin, dan menghindari setiap percakapan.

Tak terasa, seminggu telah berlalu. Hubungan mereka masih kaku. Meski Nafika berulang kali mencoba berbicara, Saga selalu mencari cara untuk menghindar, seolah tembok di antara mereka semakin tebal. Nafika menghela napas berkali-kali, membuat Reo yang berada di sebelahnya merasa jengah.

“Lo udah kayak emak-emak yang punya utang di mana-mana,” sindir Reo geram. Mereka berdua saat ini sedang bolos, berteduh di atas pohon mangga, menikmati angin sepoi-sepoi yang seolah menertawakan kebuntuan di antara Nafika dan Saga.

Di sisi lain, hubungan Reo dan Nafika justru semakin dekat, berbanding terbalik dengan keretakan yang semakin dalam antara Nafika dan Saga.

Dengan wajah muram, Nafika menatap Reo. "Gue sama Saga masih berantem."

"Ga lo bilang juga gua udah tau," balas Reo sambil mendesah, tak terlalu tertarik dengan topik yang sepertinya sudah basi di telinganya. “Lo bilang kalian berantem, emang perkara apaan?”

Nafika menundukkan kepala, bingung harus menjawab apa. Baginya, itu urusan pribadi dengan Saga. Terlebih, masalah itu berasal dari masa lalu. Nafika tidak ingin menyeret Reo ke dalam kerumitan yang tak ada hubungannya dengan dirinya.

“Fii?” Reo menepuk pundak Nafika pelan, membawanya kembali dari lamunan.

Nafika menghela napas panjang, lebih panjang dari sebelumnya. “Lo pernah amnesia gak?”

“Heh?” Reo mengerutkan dahi, jelas tidak mengerti arah pembicaraan.

“Menurut lo, orang yang amnesia itu beneran bisa lupa semua?” Nafika mencoba menjelaskan lebih jelas, meski pikirannya sendiri masih terselimuti kabut.

Reo terdiam sesaat, sebelum akhirnya sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis. "Udah banyak kasus amnesia begitu, jadi ya, emang ada."

“Terus, cara biar sembuh dari amnesia gimana?” Nafika bertanya cepat, mendekatkan wajahnya pada Reo. Matanya memancarkan harapan yang terlihat putus asa.

"Dari pada nanya gua, mending lo tanya dokter. Gua kagak ngerti yang begituan," Reo menjawab malas sambil mendorong wajah Nafika menjauh.

Nafika berdecak sebal, memutuskan untuk turun dari pohon dengan menggunakan tangga yang selalu mereka bawa.

"Sebaiknya lo belajar manjat, Fii. Biar gak repot gua mesti megangin tangga buat lo terus,” sindir Reo. Meski sering bolos di atas pohon mangga, Nafika tak pernah sekalipun berhasil memanjat sendiri.

“Bacot! Ada lo yang bisa gue repotin, ngapain gue repot-repot belajar?” Nafika menjawab santai, tangannya memerintah Reo untuk turun.

Tanpa banyak tanya, Reo mengikuti perintahnya. Sebelum pergi, Reo mengembalikan tangga itu ke tempat asalnya, lalu berjalan menyusul Nafika.

"Emang lo kenapa tiba-tiba nanya soal amnesia?" tanya Reo, membahas kembali topik yang sepertinya masih menggelitik pikirannya.

Nafika sedikit tersentak. Dengan cepat, otaknya memutar mencari alasan. “Gue cuma penasaran aja sih. Pengen tau gimana rasanya lupa semuanya.”

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang