46. Semuanya tak lagi sama

413 49 9
                                    

-HAPPY READING-

Nafika menatap bingung ke arah tumpukan barang yang telah dikemas rapi dan baru saja dibawa masuk ke rumah. Matanya beralih ke ambang pintu, tempat seorang anak laki-laki berdiri dengan wajah dingin, tatapannya tajam.

"Saga?" Bibirnya bergerak, menyebut nama anak laki-laki itu dengan ragu.

Di belakang Saga, tampak Aira dan Dirga menyusul masuk. Mereka tersenyum ramah ke arah Nafika, lalu mendorong Saga dengan lembut, seolah memberi isyarat agar dia bersikap lebih hangat.

“H-hai, Fika,” ucap Saga, suaranya terdengar kaku dan canggung.

Tersadar dari lamunannya, Nafika segera membalas dengan senyum lebar. "Hai juga, Saga. Lama tak bertemu."

Padahal, kenyataannya mereka baru bertemu dua minggu yang lalu, tepat pada upacara pemakaman kedua orang tua Saga. Nafika hanya berusaha bersikap biasa, meski pertemuan itu masih meninggalkan rasa getir di hatinya.

“Iya.” Saga mengangguk pelan, seolah tak ada kata lain yang mampu dia ucapkan.

“Nah, Fika. Mulai sekarang Saga akan tinggal bersama kita,” ujar Aira tiba-tiba, memberitahukan hal yang tak diduga-duga.

"Eh?" Nafika menatap ibunya dengan mata membulat. "Tinggal bersama kita? Saga mau nginap di sini, Ma?"

Aira menggeleng sambil mendekat, lalu berjongkok di hadapan Nafika. “Bukan, sayang. Saga akan tinggal di sini selamanya, bersama kamu.”

Nafika mengerutkan kening, semakin bingung. "Kenapa? Fika dan Saga dijodohkan, ya?" tanyanya polos, matanya penuh tanya.

"Tidak mungkin!" sahut Dirga cepat, suaranya terdengar tegas.

Nafika semakin tak mengerti. Jika bukan karena pernikahan, mengapa Saga harus tinggal bersama mereka selamanya?

"Kami mengadopsinya," kata Aira lembut, "jadi sekarang kamu dan Saga adalah saudara."

Mata Nafika terbelalak. "A-adik kakak? Tapi … tapi kan saudara tidak bisa menikah, Ma!"

Aira mengangguk perlahan, membenarkan, "Itu benar, sayang."

Nafika menatap ibunya dengan wajah yang mulai memerah, matanya basah oleh air mata yang siap jatuh kapan saja. "Terus kenapa Saga jadi saudara Fika?!"

Nafika mulai menangis, suaranya bergetar penuh emosi. "Fika kan mau nikah sama Saga! Kalau dia jadi abang Fika, kami nggak bisa menikah!"

"Fika …" Aira berusaha menenangkannya, suaranya selembut embusan angin, "kamu masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan."

Nafika menggeleng keras, air matanya kini mengalir deras. "Fika nggak mau punya abang! Cuma Fika anak Mama dan Papa!"

"Iya, sayang, kamu benar. Tapi sekarang Saga juga anak Mama. Kamu nggak kasihan pada Saga? Dia sudah kehilangan orang tuanya, pasti sangat menyakitkan baginya." Suara Aira terdengar penuh harap agar Nafika mengerti.

Nafika tetap terisak-isak, enggan menatap Saga yang pastinya merasa bersalah.

"Fika nggak mau Saga jadi keluarga kita …" gumam Nafika di antara tangisnya. Tangannya meremas bajunya sendiri dengan kuat, seolah ingin menghilangkan rasa sesak yang menghimpit dadanya.

"Fika … Fika mau Saga ..."

Brak!

Nafika tiba-tiba terhempas dari kasur dan jatuh dengan keras di lantai. Kepalanya langsung terasa berdenyut, memaksanya terbangun dari mimpi. Nafika mengerang pelan sambil mengusap pelipisnya yang terasa nyut-nyutan. Dengan susah payah, ia berusaha duduk, mencoba mengumpulkan kesadaran yang masih tercecer di antara sisa-sisa mimpinya.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang