52. Rintik luka lama

327 40 9
                                    

-HAPPY READING-

Ketika langkah kaki itu memasuki rumah besar yang sunyi, seketika suasana berubah. Langkah-langkahnya terdengar berat, seperti beban hari yang baru saja dilalui begitu berat dan melelahkan, seolah dunia telah merenggut seluruh kekuatannya.

Saat dia hendak menaiki tangga, sebuah suara lembut namun lelah memanggilnya, "Tuan muda Saga sudah pulang?"

Dia berbalik, menatap sosok yang mengenalnya begitu baik, tersenyum tipis dengan sisa tenaga yang dimilikinya. "Iya, Bi," jawabnya lembut.

Pembantu itu, Bibi Dera, mencoba menawarkan bantuannya, "Mau saya—" Namun suaranya terhenti oleh batuk yang mendadak menyerang, "Maaf, Bibi lagi kena batuk."

Kekhawatiran segera terpancar di wajah Saga. Tanpa berpikir panjang, dia mendekati Bibi Dera. "Bi Dera, kalau sakit, istirahat dulu. Jangan paksain kerja."

Bibi Dera tersenyum menolak dengan lembut, "Aduh, kamu belum makan. Bibi siapkan dulu baru Bibi istirahat."

Saga menghela napas, mencoba meredam kekhawatiran yang kian bertambah. "Saga gak lapar, Bi. Istirahat aja."

Setelah itu, dia melangkah menuju kamarnya, namun pandangannya sempat terpaku pada sebuah kamar yang letaknya agak jauh dari kamarnya. Kamar yang dulu ditempati Nafika. Sekarang, kamar itu kosong, sepi, dan tak berpenghuni.

Kepergian Nafika meninggalkan rumah ini dalam kesunyian yang tak tertahankan. Tak ada lagi suara Nafika yang biasa memenuhi rumah dengan teriakannya, tak ada lagi omelan dari Aira, bahkan Dirga pun semakin jarang kembali ke rumah.

Senyum miris tersungging di bibir Saga. Kenangan itu kembali terngiang, saat dia menolak Nafika seperti yang dia inginkan.

Tangannya mengepal perlahan, merasakan kegetiran yang menyusup di dalam dirinya. Dia terkekeh, suara tawa yang begitu getir terdengar samar. "Orang gila mana yang nolak cinta dari orang yang dia suka?"

"Lo emang terlalu bodoh, Saga," ujarnya, memaki dirinya sendiri dengan perasaan yang campur aduk.

Saga menggenggam knop pintu, mendorongnya perlahan. Kamar itu gelap, penuh dengan keheningan yang begitu pekat. Matanya menyisir setiap sudut ruangan, mencoba menghindari kenyataan yang menanti di dalam kegelapan.

Ketika pandangannya terangkat ke langit-langit, bayangan kelam dari masa lalu kembali menghantui pikirannya. Sosok ibunya yang tergantung di sana, bayangan yang tak pernah bisa hilang, begitu nyata di benaknya.

Tubuhnya melemas, dan dia jatuh terduduk di depan pintu. Tangannya bergetar, memegangi perut dan mulutnya yang terasa mual. Serangan panik itu datang lagi, mengoyak ketenangan yang coba ia pertahankan. Kepalanya berputar, terperangkap dalam ingatan mengerikan dari masa lalu, saat usianya baru 13 tahun.

Hari itu, dia pulang dari sekolah, hanya untuk menemukan dunia yang telah hancur berantakan. Kamar ibunya dipenuhi pecahan kaca dan bercak darah, seperti saksi bisu dari kehancuran hidupnya. Di tengah semua itu, ibunya tergantung, tak lagi bernyawa. Diana, yang tak sanggup lagi menanggung beban hidup, memilih untuk mengakhiri segalanya.

Teriakan Saga memecah keheningan, penuh dengan penderitaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hatinya hancur, seakan-akan dunia yang dia kenal telah hancur dan melemparkannya ke dalam kehampaan yang tak berujung.

Namun, yang membuat luka itu semakin dalam adalah rasa bersalah yang terus menghantuinya. Dia merasa bertanggung jawab atas kepergian ayahnya yang menyusul kematian sang ibu.

Hari itu, langit pun seakan ikut menangis. Hujan deras mengguyur kota, membuat semuanya terasa dingin dan suram. Saga, yang masih kecil dan tak tahu harus berbuat apa, berlari mencari pertolongan. Namun, di rumah itu, hanya ada dirinya sendiri. Tanpa ada yang bisa diandalkan, dia hanya bisa berharap pada telepon di tangannya.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang