27. What do you cry?

1K 76 0
                                    

-HAPPY READING-

Nafika perlahan membuka matanya, membiarkan cahaya matahari yang telah berubah oranye keemasan di ufuk barat memasuki pandangannya. Senja perlahan menyelimuti langit, namun kepalanya masih terasa berat dan pusing, bahkan untuk sekadar bangun terasa sangat sulit.

Ingatan-ingatan sebelum Nafika kehilangan kesadaran mulai kembali membanjiri pikirannya. Setiap potongan kenangan terasa menghantam keras di kepalanya, nyerinya berlipat-lipat lebih parah daripada sakit kepala biasa.

Pandangan Nafika yang masih kabur menangkap sosok cowok yang sedang menyetir di depannya. Meskipun kesadarannya belum sepenuhnya pulih, Nafika langsung tahu dia bersama Reo—jadi, yang menyetir pasti dia.

"Udah bangun?" Reo, yang rupanya sudah menyadari Nafika sadar, melirik sekilas dari kursi pengemudi.

Nafika menggerakkan tubuhnya perlahan, memegangi kepala yang masih terasa berdenyut. "Sakit banget kepala gue."

"Iyalah, lo kepentok lantai," jawab Reo.

"Harusnya lo bawa gue ke tempat yang lebih nyaman! Masa orang pingsan cuma disuruh duduk, seharusnya 'kan gue direbahin dengan nyaman," Nafika mengomel kesal. Entah dari mana energi itu datang setelah baru saja pingsan.

Reo hanya mendesah, lalu menambah kecepatan mobil. "Lo nggak lihat, udah mau malam? Kalau gua biarin lo tidur di kasur empuk, yang ada kita pulang tengah malam."

Benar juga, Nafika mengakui dalam hati. Hari sudah mulai gelap, dan perjalanan pulang bisa memakan waktu lima jam. Jika mereka menunggu lebih lama di sana, mereka pasti akan pulang terlambat.

Nafika merapikan rambut yang jatuh menutupi matanya, menyelipkannya ke belakang telinga. Namun, tiba-tiba dia merasa ada yang kurang. Dia berpikir sejenak, hingga akhirnya menyadari apa yang hilang.

"JEPIT RAMBUT GUE!" Nafika berteriak histeris, seperti ibu-ibu yang kehilangan anak di pasar.

Reo, yang sedang fokus menyetir, kaget mendengar suara cempreng Nafika yang begitu keras. "Berisik amat, Fii!"

"Jepit gue! Jepit gue ketinggalan!" Nafika mulai menggoyang-goyangkan bahu Reo dengan cemas. "Ayo puter balik! Jepit rambut gue ketinggalan!"

"Astaga, tenang dulu! Gua lagi nyetir, bahaya kalau begini." Reo menepuk pelan tangan Nafika agar dia kembali duduk.

Tapi Nafika terlalu panik untuk mendengarkan. Ia bahkan tidak duduk dengan benar, setengah berdiri dengan pantatnya nyaris tidak menyentuh kursi.

"Duduk yang benar, Nafika!" tegur Reo lagi.

"Enggak bisa! Kita harus puter balik sekarang! Harus, Reo!" Nafika memaksa dengan ekspresi serius, seolah tidak menerima penolakan.

Akhirnya, Reo mendesah panjang, lalu merogoh saku celananya. Dari sana, ia mengeluarkan jepit rambut berwarna pink pastel dengan hiasan kepala panda di ujungnya, lalu menyerahkannya kepada Nafika.

"Ini jepit lo."

Nafika langsung bersorak kegirangan, meraih jepit rambut itu dan memeluknya erat. "Jepit gue! Aaa, makasih, Reo!"

Melihat tingkah Nafika yang terobsesi dengan jepit rambut sederhana itu, Reo mengangkat alis. "Lebay. Gua bisa beliin yang lebih mahal, tahu."

Nafika berhenti memeluk jepitnya dan menatap Reo dengan serius. "Asal lo tau aja, jepit ini—"

"Saga yang kasih, kan?" potong Reo sebelum Nafika bisa melanjutkan.

"Bagus kalau lo tau, jadi lo nggak perlu nanya kenapa gue seneng banget sama jepit ini," jawab Nafika sambil memasangkan jepit panda itu ke rambutnya.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang