25. Bukan keluarga

823 68 0
                                    

-HAPPY READING-

Nafika membuka pintu rooftop dengan hati-hati, membiarkan suara engselnya yang berderit memecah keheningan. Matanya segera tertuju pada seorang cowok dengan rambut berantakan yang tengah terlentang di lantai, dikelilingi asap rokok yang menggantung di udara seperti kabut tipis.

“Reo?” Nafika memanggil sambil menutup hidung dan mulutnya dengan tangannya. Asap rokok yang menyengat membuatnya sulit bernapas.

Cowok itu—ternyata benar Reo—hanya menoleh tanpa beranjak dari posisi terlentangnya.

“Ngapain ke sini?” tanyanya dengan nada malas.

Nafika tidak segera menjawab. Dia hanya mengibaskan tangannya berusaha mengusir asap rokok yang mengganggu. Nafika memang tidak bisa berbicara dengan baik saat asap itu masih ada di sekitarnya.

Reo, yang rupanya peka terhadap keadaan, segera mematikan rokoknya dan membuang puntungnya sembarangan. Ia kemudian berdiri, menarik lengan Nafika dan membawanya menjauh dari area yang penuh asap rokok itu.

Setelah sampai di tempat yang lebih bersih, Nafika akhirnya menurunkan tangannya dari hidung dan mulut, menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara segar.

“Jadi? Ngapain ke sini?” Reo mengulangi pertanyaannya, kali ini dengan sedikit rasa ingin tahu.

Nafika mencebikkan bibir, kesal. Wajar saja pesannya tidak dibalas, ternyata cowok ini sedang merokok diam-diam di rooftop. "Setidaknya buka chat gue," ucapnya ketus.

“Chat?” Reo patuh. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka room chat Nafika. Bibirnya membentuk huruf O saat ia akhirnya mengerti maksud Nafika.

“Udah dapat apa yang lo mau?” tanya Reo setelah melihat isi chat tersebut.

Nafika menggeleng. “Makanya, gue mau ngajak lo ke rumah lama gue.”

“Rumah lama? Ngapain ke sana?” Alis Reo terangkat, wajahnya penasaran.

Nafika diam sejenak, kemudian menarik napas panjang. Matanya menatap Reo lekat, seolah menimbang-nimbang. “Kalau gue bilang gue curiga sama keluarga gue, lo percaya gak?”

Reo mengangkat bahu santai. “Tergantung.”

“Tergantung gimana?” Nafika menyipitkan matanya, merasa jawaban itu menggantung.

“Tergantung lo curiga soal apa,” jawab Reo dengan nada tanpa beban. “Misal, kalau lo curiga bokap atau nyokap lo selingkuh, ya gua percaya. Tapi kalau lo curiga mereka ikut persugihan, gua—”

Pukulan pelan Nafika mendarat di lengan Reo. “Jawaban lo ngelantur mulu!”

Reo terkikik geli, menikmati ekspresi kesal di wajah Nafika. “Jadi lo curiga apaan?”

Nafika terdiam sesaat, lalu berbicara pelan. "Gue pernah kecelakaan."

“Gua juga pernah. Semua orang pasti punya satu dua kecelakaan kecil,” jawab Reo enteng, seolah cerita Nafika tidak ada yang istimewa.

Nafika mendengus kesal, merasa tidak dihargai. “Gue kecelakaan dan amnesia selama delapan tahun lebih, Reo!”

Reo hanya mengangguk kecil. “Gua tau.”

“Eh?” Nafika membelalak, terkejut mendengar jawaban Reo.

Reo menyeringai jahil, menyentil dahi Nafika dengan jarinya. “Bercanda.”

“Reo!!!”

“Iya, iya. Gua serius. Gua tau lo amnesia,” sahut Reo akhirnya, sambil mengeluarkan permen dari saku celananya.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang