48. Dinner sebelum ujian

306 39 2
                                    

-HAPPY READING-


Nafika melangkah anggun memasuki restoran mewah yang di bawah naungan keluarga Gautama, gaun putihnya berkilauan dalam cahaya lembut lampu gantung kristal. Setiap langkahnya melintas di atas karpet merah yang lembut, menambah kesan elegan pada penampilannya.

Begitu memasuki restoran, Nafika tak bisa menahan kekagumannya pada interior yang megah—dinding-dinding dihiasi panel kayu yang indah, meja-meja yang didekorasi dengan taplak halus dan ornamen-ornamen klasik yang membuat suasana semakin memukau.

Pelayan dengan sikap sopan segera menarik kursi untuk Nafika, membuatnya duduk di samping Reo Gautama. Meskipun senyuman Reo tampak ceria dan penuh keusilan, Nafika merasakan getaran gugup yang menyelimuti hatinya.

Di hadapannya, dua sosok yang menonjol—Verlaine Gautama dan Rishe Gautama, pemimpin utama Gautama Group Corporation—sedang menatapnya dengan penuh perhatian. Kehadiran mereka membuat Nafika merasa seperti berada di panggung utama dari sebuah drama yang ia tak sepenuhnya mengerti.

"Malam ini, kita hanya makan malam, bukan? Jadi stay calm, Nafika." Nafika mencoba menghibur dirinya sendiri di dalam hati. Namun, rasa gugup yang menyesakkan masih tidak mau beranjak.

Reo, yang peka terhadap perubahan suasana, tak bisa menahan godaan. Dengan senyum nakal, ia menggoda, "Buat apa gugup di depan calon mertua, Fii?"

Nafika menahan diri untuk tidak merespons dengan keras. Ia meremas tangannya di bawah meja, mencoba mengendalikan emosinya. "Kalau bukan di kandang lo, udah lama lo gue gebukin," pikirnya dalam hati, merasa tertekan oleh situasi ini.

Rishe Gautama, yang menyadari ketegangan, dengan lembut namun tegas mengingatkan, "Reo, jangan menggoda Nafika. Kamu membuatnya tertekan."

Nafika tersenyum kikuk, mencoba meredakan ketegangan. "Eh, nggak masalah, Tante. Reo emang sering begitu, jadi nggak apa-apa," ujarnya dengan nada yang penuh usaha agar terdengar santai.

Rishe memberikan senyuman tipis sebelum kembali fokus pada makanannya, sementara Nafika merasa sedikit lebih lega meskipun detak jantungnya masih keras.

Verlaine Gautama, yang selama ini hanya memperhatikan, akhirnya bersuara dengan nada berat dan berwibawa. "Jadi, kamu Nafika?"

Nafika mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Iya, Om."

Verlaine tersenyum tipis. "Senang bertemu dengan putri dari Dirga dan Aira," katanya, membuat Nafika merasa sedikit lebih tenang.

Sebelum Nafika bisa benar-benar merasa lega, Verlaine menatap Reo dan Nafika bergantian, wajahnya menunjukkan ketertarikan yang cukup dalam. "Apa kalian berpacaran?"

"Ya!" Reo menjawab dengan cepat dan penuh semangat, wajahnya berseri.

"Enggak!" Nafika menjawab nyaris bersamaan, suaranya penuh dengan kepanikan.

Verlaine mengerutkan kening, bingung dengan kontradiksi ini. "Jadi, mana yang benar?"

Nafika merasakan wajahnya memerah, sementara Reo menikmati kekacauan kecil ini dengan senyum lebar. Nafika mencoba menjelaskan, namun Reo, dengan kebiasaannya yang nakal, menyela, "Kami memang dekat, tapi belum sampai berpacaran. Tapi kami sudah berciu—"

Nafika segera menginjak kaki Reo dengan keras, berusaha menghentikan ucapannya yang akan membuatnya semakin malu. Wajah Rishe mengerut, menandakan ketidakpahaman. "Apa Reo tadi ingin menyebut kata berciuman?"

"Ya, tiga kali," jawab Reo dengan santai, seolah bangga akan pencapaiannya.

Nafika segera menutup mulut Reo dengan tangan, bersumpah untuk tidak melepaskan tangannya dari bibir lelaki itu. Kesadaran bahwa semua mata tertuju pada mereka membuat Nafika merasa sangat malu.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang