-HAPPY READING-
Langit mulai meredup, warna jingga berganti kelam seiring waktu yang terasa begitu cepat berlalu. Nafika dan Saga menghabiskan sepanjang hari berbicara di atas rooftop, berbagi cerita yang sesekali diiringi angin senja.
Bagi Nafika, momen seperti ini sangat berharga. Meskipun Saga selalu terlihat kaku, ada sesuatu dalam sikap dinginnya yang justru memikat hati.
"Ngomong-ngomong, tumben banget lo ngajak gue bolos. Lo gak takut kena marah Mama Papa?" Nafika bertanya, menoleh pada Saga dengan tatapan penasaran.
Saga, meski bukan anak kandung Aira dan Dirga, dibesarkan dengan tuntutan yang cukup tinggi. Sebagai ahli waris keluarga, dia memikul tanggung jawab besar, termasuk mengelola perusahaan Dirga sampai Nafika mampu mengambil alih. Beban yang tak ringan, namun dipikulnya dengan tenang.
Saga menarik napas dalam-dalam, matanya menatap Nafika dengan pandangan yang sulit diterka. "Gua punya alasan buat lakuin ini, dan gua udah minta izin juga."
"Izin? Sama mereka?"
"Iya, Mama dan Papa tau kita bolos," jawab Saga datar, seolah itu bukan hal besar.
Nafika terbelalak, tidak percaya. "Serius?"
"Buat apa gua bohong?" balas Saga dengan nada yang tenang, namun ada kesan tersirat di balik kata-katanya yang menambah berat suasana.
Nafika terdiam, merasa ada yang janggal. Kenapa Saga sampai meminta izin dari orangtuanya hanya untuk bolos sekolah? Ada sesuatu yang disembunyikan, dan Nafika tahu itu.
"Gua ikut olimpiade besok," kata Saga tiba-tiba, suaranya rendah dan matanya tak lagi menatap Nafika.
"Olimpiade?" Nafika mengulanginya, seolah tak yakin apa yang baru saja didengarnya.
"Iya, sama Karin."
Seperti halilintar di siang bolong, kalimat sederhana itu meruntuhkan semangat Nafika seketika. Wajahnya yang tadi semringah kini mendadak kaku, senyum manis yang biasa menghiasi wajahnya perlahan menghilang, digantikan ekspresi datar yang menyimpan ribuan rasa.
"Fika?" Saga menatapnya dengan ragu, menangkap perubahan sikap yang jelas.
Nafika menghela napas, merapikan seragamnya, lalu berdiri dengan sikap anggun namun dingin. "Jadi, semua perhatian lo hari ini cuma buat itu? Biar gue gak ganggu kalian?"
"Bukan gitu-"
"Udahlah," Nafika memotongnya dengan nada tajam. "Gak usah repot-repot izin sama gue. Gue gak peduli lo sama Karin ada apa. Dia kan memang yang paling dekat sama lo, yang paling bisa bikin lo senyum dan nyaman."
Nafika tersenyum kecut, tatapannya jauh, tak lagi terfokus pada Saga. "Gue kira perhatian lo ke gue itu karena lo mulai buka hati. Tapi ternyata, gue cuma terlalu berharap."
Suasana di rooftop mendadak hening. Angin senja membawa serta langkah kaki Nafika yang menjauh, meninggalkan Saga sendirian, tertinggal di tengah perasaan yang tak terucap.
-dear nafika-
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Nafika Badbaby Sist!
Roman pour Adolescents"Saga, I LOVE YOU!!!" "Lu adek gua, Fika!" "Adek-adek'an gue, mah." *** Bagaimana reaksimu ketika orang yang kamu cintai sejak kecil, tiba-tiba menjadi saudara angkatmu? Move on, atau kamu justru semakin gencar menggodanya? Bagi Nafika, menjadi saud...